Investasi Anjlok, Konsumsi Jadi Andalan
Konsumsi rumah tangga masih jadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi RI. Pada triwulan III-2019, konsumsi masyarakat tumbuh 5,1 persen secara tahunan, naik dari triwulan III-2018 yang 5 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi rumah tangga masih jadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi RI. Pada triwulan III-2019, konsumsi masyarakat tumbuh 5,1 persen secara tahunan, naik dari triwulan III-2018 yang 5 persen.
Sebaliknya, investasi yang akan dibidik sebagai sumber pertumbuhan baru ekonomi justru merosot. Investasi yang pada triwulan III-2018 tumbuh 6,96 persen secara tahunan, pada triwulan III-2019 tumbuh 4,21 persen.
Pada triwulan III-2019, produk domestik bruto (PDB) RI sebesar Rp 4.067,8 triliun.
Perekonomian Indonesia per triwulan III-2019 tumbuh 5,02 persen secara tahunan. Konsumsi masyarakat menyumbang 2,69 persen, investasi 1,38 persen, dan komponen lainnya 0,95 persen.
Angka pertumbuhan per triwulan pada triwulan III-2019 ini merupakan yang terendah, setidaknya sejak triwulan III-2017. Pada triwulan III-2017, pertumbuhan PDB 5,06 persen dan pada triwulan III-2018 sebesar 5,17 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III ini merupakan yang terendah pada 2019. Pada triwulan I, ekonomi tumbuh 5,07 persen dan pada triwulan II tumbuh 5,05 persen secara tahunan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi RI sampai dengan akhir September 2019 sebesar 5,04 persen.
Rektor Universitas Indonesia Jakarta Ari Kuncoro berpendapat, pertumbuhan investasi triwulan III-2019 yang lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya turut dipicu kekhawatiran akan resesi di Amerika Serikat. Meski demikian, menurut Ari, investasi bisa meningkat pada triwulan IV-2019 sejalan dengan kondisi perekonomian global yang mulai menunjukkan titik terang dan perang dagang AS-China yang berpeluang berakhir.
Meski demikian, lanjut Ari, pemerintah perlu melakukan sejumlah terobosan untuk menarik investasi besar dengan mengoptimalkan peran Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi serta Kementerian Luar Negeri. Selain itu, tanpa strategi yang jelas, investor berpotensi beralih ke Vietnam.
”Strategi menawarkan prospek investasi sudah tidak lagi cukup. Kita perlu memperlakukan investasi seperti pergi tur, yakni (calon investor) ditunjukkan sampai ke tempat tujuan (investasi). Pendekatan dari pintu ke pintu seperti sales marketing,” katanya di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Pemerintah perlu melakukan sejumlah terobosan untuk menarik investasi besar.
Dalam kesempatan terpisah, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko memperkirakan, sulit mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen tahun ini. Menurut dia, pemerintah perlu menurunkan target pertumbuhan ekonomi.
Prasetyantoko menambahkan, konsumsi rumah tangga merupakan penyokong terbesar pertumbuhan. Untuk menambah konsumsi rumah tangga, perlu mendorong pengeluaran kementerian/lembaga. Potensi pada triwulan IV-2019 perlu dioptimalkan dengan mendorong belanja pemerintah.
”Pengeluaran pemerintah yang memuncak pada triwulan terakhir bisa menstimulasi pergerakan ekonomi,” ujarnya.
Di sisi lain, investasi yang berorientasi pada pasar dalam negeri perlu didorong.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia pasti berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi RI.
Rosan menambahkan, Kadin Indonesia sudah memberi masukan kepada pemerintah agar memanfaatkan situasi ini untuk memperbaiki manufaktur sebagai bagian dari rantai nilai global. Masukan lain adalah mengoptimalkan konsumsi domestik yang berperan besar dalam perekonomian RI.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan mengatakan, saat ini upaya meningkatkan kontribusi sektor industri terhadap perekonomian sedang digiatkan.
”Peningkatan nilai tambah menjadi penting. CPO dan nikel, misalnya, jangan langsung diekspor, tetapi bisa diproses satu dua tahap lagi sehingga nilai tambahnya lebih tinggi,” kata Johnny.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, kontribusi manufaktur yang tidak sampai 20 persen terhadap PDB harus diwaspadai.
”Teori adanya deindustrialisasi secara prematur benar adanya ketika angka tidak stabil atau naik, tetapi malahan turun terus. Sejak krisis 1998 sampai hari ini, kita tidak pernah berhasil mengembalikan peran manufaktur dalam pembangunan,” kata Bambang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari lapangan usaha, industri pengolahan berperan 19,62 persen terhadap PDB triwulan III-2019.
Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa, menyebutkan, ada industri yang tumbuh kuat, tetapi ada juga yang melambat. Industri yang tumbuh kuat, antara lain makanan dan minuman, yang ditopang peningkatan produksi minyak sawit yang sejalan dengan konsumsi domestik. Sebaliknya, industri batubara melemah karena permintaan luar negeri yang melemah.
Pengangguran
Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, Indonesia juga berhadapan dengan persoalan kualitas penduduk bekerja dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Berdasarkan data BPS, ada 133,56 juta angkatan kerja di Indonesia per Agustus 2019. Dari jumlah ini, sebanyak 126,51 juta orang bekerja dan 7,05 juta orang menganggur.
Secara persentase, tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2019 yang sebesar 5,28 persen lebih baik dibandingkan dengan per Agustus 2018 yang sebesar 5,34 persen. Akan tetapi, ditilik dari jumlahnya, penganggur per Agustus 2019 bertambah 50.000 orang dibandingkan dengan Agustus 2018.
”Hal ini bisa dimaknai penciptaan lapangan pekerjaan belum masif,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, Selasa.
Menurut Suhariyanto, struktur lapangan kerja pada Agustus 2019 bergeser. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 1,12 juta orang atau 1,45 persen. Mereka beralih ke sektor perindustrian dan jasa.
Sementara Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan aturan ketenagakerjaan merupakan keniscayaan.
Berkaca dari data BPS, sebanyak 50,18 juta orang atau 39,66 persen dari jumlah penduduk bekerja berpendidikan sekolah dasar ke bawah. (LKT/MED/CAS/KRN)