Putusan bebas terhadap Sofyan Basir dinilai mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan. Putusan itu dinilai bertentangan dengan putusan perkara yang sama, tapi dengan berkas dan terdakwa berbeda.
Oleh
Riana Afifah/Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan bebas terhadap mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir dinilai mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul dalam persidangan. Putusan tersebut dinilai bertentangan dengan putusan perkara yang sama, tetapi dengan berkas dan terdakwa berbeda.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Hariono, Senin (4/11/2019), membebaskan Sofyan dari semua tuntutan jaksa. Dalam pertimbangannya, majelis menilai, unsur membantu kejahatan atau tindak pidana tak terbukti.
Ia dinyatakan tidak mengetahui mengenai rencana suap antara pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dengan politisi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham. Sofyan pun dinilai tidak memfasilitasi kejahatan dan membantu percepatan proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
”Terkait pengetahuan terdakwa tentang adanya suap dari Kotjo ke Eni, jaksa penuntut umum telah menyisir dan terdapat sejumlah pertimbangan majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul di persidangan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (5/11).
Dalam berita acara pemeriksaan milik Sofyan saat menjadi saksi dalam perkara Eni, ia pernah mengungkapkan pengetahuan tentang suap yang akan diterima oleh Eni dari Kotjo.
Saat itu, Sofyan mengaku diberi tahu Eni mengenai tugas Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai. Belakangan, keterangan itu dicabut oleh Sofyan sehingga tidak dipertimbangkan hakim.
Selain itu, soal penerapan pasal pembantuan atau Pasal 56 ke-2 KUHP sesuai dengan peran Sofyan yang ditemukan jaksa mengacu pada fakta penyidikan. Adapun pemenuhan Pasal 56 ke-2 KUHP ini tidaklah mensyaratkan pihak yang membantu harus mendapatkan keuntungan langsung.
”Sebagaimana sudah diproses di persidangan sebelumnya, pokok perkara kasus suap ini adalah untuk mempercepat kesepakatan proyek PLTU Riau-1 dan terbukti pada tersangka lain (Idrus dan Eni),” ujar Febri.
Sebaliknya kuasa hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo, menyampaikan pertimbangan hakim telah jelas dan sesuai dengan fakta persidangan dan bukti yang ada. Jika KPK tak setuju dan akan mengajukan kasasi, pihaknya siap menghadapi kasasi itu.
”Tapi, ada yang diingat, pengajuan kasasi itu bukan lagi berbicara soal fakta, melainkan soal penerapan hukum. Apakah penetapan Pasal 56 Ayat (2) KUHP itu sudah sesuai hukumnya,” ujarnya.
Meyakinkan hakim
Terkait putusan bebas Sofyan, pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menyarankan agar KPK mengkaji dan mengurai satu per satu pertimbangan hakim untuk memperkuat memori kasasi.
”KPK dalam kasasinya mesti menunjukkan hal-hal yang berkebalikan dengan pertimbangan hakim. Dalam artian ketika hakim di pengadilan tingkat pertama menyatakan tindak perbantuan tidak terbukti, KPK harus bisa meyakinkan sebaliknya,” kata Akhiar.
Perkara Sofyan ditangani oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang selama ini memutus perkara-perkara korupsi lain yang diajukan jaksa KPK. Mereka adalah Hariono, Ugo, Hastopo, Anwar, dan Saifuddin Zuhri.
Anwar turut menangani rangkaian perkara pengadaan KTP elektronik dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia juga merupakan anggota majelis untuk perkara Eni, Kotjo, dan Idrus.
Sementara itu, Saifuddin dikenal tegas saat menangani perkara Fredrich Yunadi dan hakim Pengadilan Negeri Medan, Merry Purba. Hariono pernah menangani perkara Eddy Sindoro. Saat ini, ia juga bertanggung jawab atas berjalannya kasus M Romahurmuziy.
Hakim Hastopo menangani rangkaian perkara suap DPRD Sumatera Utara. Sementara, Ugo menjadi hakim ad hoc untuk perkara BLBI, suap dan gratifikasi dengan terdakwa Bowo Sidik Pangarso, juga perkara suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga.