Menjadi Pekerja Lepasan untuk Menambah Bekal Masa Depan
Meraup pengalaman kerja selagi berstatus mahasiswa, tidak hanya bisa diperoleh dari magang di perusahaan. Dengan bekal ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah, banyak mahasiswa yang percaya diri menawarkan jasa untuk mengerjakan sejumlah proyek yang tidak jauh-jauh dari bidang ilmu yang digeluti. Alhasil, tak hanya menambah uang jajan, pengalaman, jaringan, serta portofolio pun sudah ada di tangan yang kelak berguna jika sudah lulus kuliah.
Berbekal keinginan menambah nilai jual sebagai desainer grafis, mahasiswa semester tujuh jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Universitas Multimedia Nusantara, Pierre Ang, memberanikan diri mengambil pekerjaan sebagai desainer lepasan di awal dirinya masuk berkuliah.
Proyek pertamanya datang dari tidak jauh-jauh yakni dari kawan baiknya sendiri. "Proyek pertama itu dulu ngerjain branding bussiness suatu universitas di BSD dari temen baik. Aku ngerjain mulai dari logo, nama, hingga kemasannya. Setelah itu,jadi rutin dapat tawaran atau lebih berani menawarkan diri sebagai desainer grafis,” ujar Pierre yang sempat terlibat sebagai volunter event di Museum Macan ini.
Pengalaman menangani berbagai klien dan proyek diakui Pierre turut melatih mentalitasnya sebagai desainer grafis. Statusnya yang masih mahasiswa kadang sering jadi alasan dirinya dipandang sebelah mata oleh klien. Ketika menghadapi situasi seperti ini, Pierre biasanya tak mau ambil pusing. Ia hanya tinggal menunjukkan usaha terbaiknya sebagai seorang desainer seperti kualitas desain, ketepatan waktu penyerahan hasil, hingga hasil revisi yang presisi.
Semakin lama, klien-kliennya juga datang dari latar belakang yang beragam yakni mulai dari ibu-ibu pemilik usaha catering hingga manajer restoran profesional. Namun, Pierre beranggapan klien tersulit bukan dilihat dari latar belakang usahanya melainkan dari wawasan si klien terhadap dunia desain. Semakin mengerti si klien terhadap dunia desain, semakin jelas keinginan dan deskripsi kerja yang diberikan.
"Pernah di-hire jadi desainer grafis, tapi diminta untuk mural di tembok. Itu kan butuh kemampuan yang beda. Banyak sih yang masih enggak ngerti desainer grafis itu profesi macam apa,” tuturnya.
Bagi Saskia Rachelly Yahya, mahasiswi Universitas Pelita Harapan, Tangerang, pekerjaan freelance desain yang ia lakukan menjadi sarana mengasah kemampuan sekaligus menambah portofolio. Dimulai dari belajar desain otodidak di bangku sekolah, teman-teman SMA Rachel banyak yang lanjut memintanya mendesain beragam proyek saat kuliah.
Berawal dari referensi temannya, mahasiswi semester akhir ini terus mendapatkan pekerjaan lepas. Menyukai seni secara umum membuatnya tidak pilih-pilih dalam mengambil pekerjaan. Beragam proyek ia kerjakan, mulai dari membuat desain presentasi, konten media sosial, hingga menyusun konsep branding design.
“Tidak pilah-pilih pekerjaan karena gue melihatnya sebagai satu paket, apapun yang klien minta gue akan coba lakukan yang gue bisa. Dengan mencoba beragam jenis pekerjaan selama kuliah gue bisa tahu jago di mana dan punya lebih banyak pengalaman,” ceritanya di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Tidak hanya uang tambahan, dari pekerjaannya Rachel bisa memiliki jaringan dengan klien dari latar belakang berbeda. Memiliki klien yang bervariasi mulai dari mahasiswa hingga instansi pemerintah membuatnya pernah merasakan rapat santai di kafe hingga pertemuan formal di hotel. Memiliki koneksi adalah hal yang sangat penting baginya karena bisa memiliki banyak partner bisnis dan teman baru dari pekerjaannya ini.
“Salut sama klien yang lebih tua tapi sangat menghargai pendapat anak muda termasuk gue. Cara berfikir mereka menarik,” ujar Rachelly.
Meskipun tak serius betul menerima jasa penerjemahan dari bahasa indonesia ke bahasa inggris, Bedu Hafidz, mahasiswa semester lima program studi pendidikan bahasa inggris di Universitas Bandar Lampung, merasa puas sudah bisa memiliki pengalaman menawarkan jasa penerjemahan. Ia awalnya diminta untuk membantu menerjemahkan abstrak penelitian salah satu dosen di kampusnya.
"Ada dosen pembimbing di unit kegiatan mahasiswa yang mau masukin tulisan ke jurmal ilmiah. Karena Pak dosen tahu aku dari program studi bahasa inggris, ia mita bantuan aku untuk menerjemahkan abstraknya,” ujar Bedu yang aktif dalam kegiatan sosial di bidang pendidikan dan lingkungan hidup ini.
Bedu pun bersedia untuk menerjemahkan abstrak penelitian dosennya ke dalam bahasa inggris. Beberapa kali sang dosen memakai jasa Bedu untuk menerjemahkan tulisan ke dalam bahasa inggris. “Saya sekedar membantu saja, sekaligus menerapkan ilmu yang didapat. Akhirnya, dosen sendiri yang ngasih, ya sekadar uang jajan. Saya sih enggak pernah matok, karena niatnya membantu,” kata Bedu.
Keahlian Bedu berbahasa inggris juga dimanfaatkan kepala desa di daerahnya untuk mendampingi pihak Desa Tarahan, kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, presentasi kepada sebuah perusahaan asing. Bedu pun diminta membuat presentasi dalam bahasa inggris dan mempresentasikannya saat kepala desa meminta dukungan program corporate social responbility untuk membangun bank sampah di desa.
"Saya senang saja bisa membantu supaya menambah pengalaman. Apalagi saya sekarang menggagas Sahabat Laut Indonesia setelah ikut program IYMDS 2019 di Jakarta yang mengajak anak-anak muda dari seluruh Indonesia peduli soal isu sampah laut,” kata Bedu yang baru-baru ini terpilih mengikuti pelatihan kewirausahaan sosial tingkat nasional di Subang, Jawa Barat
Menyiasati Kesibukan
Keputusan untuk menjadi freelancer sambil kuliah, tentu butuh komitmen yang kuat agar kuliah dan proyek pekerjaan sama-sama bisa berjalan. Kesibukan memang tidak terhindarkan, namun kemampuan menyiasati waktu jadi kunci untuk menjalani kuliah dan kerja tetap bisa selesai sesuai waktu.
Dengan segudang tugas kampus, Pierre harus berjuang membagi waktunya untuk berkuliah dan menyelesaikan proyek-proyeknya. Ia pantang menunda pengerjaan sebuah tugas atau proyek supaya bisa berdamai dengandeadline tugas atau proyek itu sendiri.
"Kadang aku suka nyicil proyek freelance sebelum tidur atau sela jeda perkuliahan. Efektivitas waktu itu wajib,” tutur Pierre.
Bertahun-tahun menekuni pekerjaan lepas tentu tidak mudah, beragam proyek dikerjakan dengan permintaan yang berbeda. Dalam satu bulan, Rachel bisa mendapatkan dua hingga empat proyek sekaligus.
Untungnya ia pandai mengatur waktu sehingga tidak merasa kesulitan melakukan kegiatannya sambil kuliah. Apabila ada tugas kuliah yang bertabrakan dengan pekerjaan, ia akan mendahulukan tugas kuliahnya dan meminta tenggat waktu pekerjaan untuk menyesuaikan.
“Kalau jadwal sedang padat pasti dibagi per jamnya, diorganisir setiap hari dengan detail sampai waktu makan dan mandi. Karena sudah terjadwal dengan rapih dan ada tujuan, jadi lebih mudah untuk mengontrol antara tugas dan pekerjaan,”terangnya yang pernah memiliki proyek bersama Kantor Staf Presiden ini.
Meskipun jadi lebih sibuk, jadi freelancer saat kuliah ternyata nikmat juga. Tidak hanya dapat uang jajan, koneksi dan portofolio pun sudah ada dalam genggaman. Nah, tertarik mencoba? (*)