Menjaga Gaung Suara Alternatif
Dengan dominannya jumlah anggota DPR dari partai-partai politik koalisi pendukung pemerintah, kekuatan kritis alternatif makin dibutuhkan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Masyarakat sipil berperan penting sebagai suara alternatif.
Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
(Sajak Suara – Widji Thukul)
Lirik puisi karya Widji Thukul yang hilang tahun 1998 menggema dalam lagu yang dinyanyikan putra bungsunya, Fajar Merah. Diapit gedung-gedung pencakar langit, pertengahan Oktober lalu, sebuah halaman luas dengan atap langit di Karet Pedurenan, menjadi saksi anak-anak muda yang siap menjadi suara oposisi di tengah ancaman meredupnya suara kritis dari parlemen.
Dalam konser dan diskusi bertajuk "Mendesak Tapi Santuy", Fajar yang juga dikenal sebagai musisi tak sendiri. Ada Rara Sekar yang pernah menjadi anggota grup musik Banda Neira, Bagus Dwi Danto dari Sisir Tanah, Iksan Skuter, Jason Ranti, Melanie Subono, dan Cholil dari Efek Rumah Kaca. Sekitar 1.000 anak muda berdesakan di halaman berdaya tampung hanya 350 orang.
Tak hanya menyanyikan lagu-lagu terkini dengan lirik terkait kondisi negara, mereka juga memantik diskusi dengan tema aktual yang mengacu pada tagar #reformasidikorupsi. Ribuan orang yang hadir, dari anak SMA hingga pekerja, duduk menyimak diskusi itu.
Sebagian orang yang hadir dalam acara itu juga turut turun ke jalan pada aksi unjuk rasa besar 23-24 September dan 30 September 2019. Aksi massal itu muncul di berbagai kota seperti Aceh, Medan, Pekanbaru, Makassar, Papua, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Padang, dan lain-lain.
Unjuk rasa itu membawa sejumlah tuntutan besar, misalnya pembahasan beberapa rancangan legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, revisi Undang-undang KPK, RUU Pertanahan, Revisi UU Minerba, serta isu lain yang perlu diperhatikan pemerintah seperti kebakaran hutan dan konflik di Papua.
Gelombang aksi unjuk rasa akhir September 2019 memang sudah berakhir, tetapi, semangatnya tidak benar-benar pergi. Di setiap sudut jalan, pada dinding gedung dan pembatas jalan, masih bisa ditemukan bekas coretan dan kritikan, ekspresi kekecewaan dan protes rakyat terhadap pemerintah dan DPR.
Baca juga: Ruang Dialog tetap Harus Dibuka
Anak muda yang selama ini sering diasosiasikan sebagai golongan yang apolitis dan apatis menyuarakan kepedulian mereka melalui berbagai cara. Gerakan mahasiswa yang sudah lama seolah tenggelam, kembali menunjukkan taringnya. Apalagi, masih ada tuntutan publik yang sampai detik ini belum dipenuhi.
Kritik pada pemerintah disampaikan melalui banyak cara, salah satunya melalui medium seni, seperti Mendesak Tapi Santuy. Demonstrasi juga terpaksa dilakukan karena jalur komunikasi formal di parlemen dinilai buntu. Dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi kembali turun ke jalan menyuarakan tuntutan mereka.
Mahasiswa bersama buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) berunjuk rasa dan menyuarakan diri mereka sebagai gerakan alternatif yang akan mengawal jalannya pemerintahan ke depan.
Aksi unjuk rasa itu berlangsung kondusif. Tepat pukul 18.00, atas arahan dari koordinator lapangan, mahasiswa mundur ke belakang mobil komando dan satu per satu pulang.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Manik Marganamahendra menyatakan, setelah melihat ‘dagelan’ politik usai pemilu, ketika "oposisi" bertransformasi menjadi kawan dan kritik melemah, publik mau tidak mau harus menjadi garda terakhir yang mengawasi jalannya pemerintahan.
“Kami mau menunjukkan bahwa rakyat dapat menjadi gerakan alternatif yang mengawal kekuasaan, karena kekuasaan tidak bisa dibiarkan begitu saja,” katanya.
Ivan (21), mahasiswa Universitas Pakuan Bogor, Jabar, yang ikut berunjuk rasa Oktober lalu mengatakan, mahasiswa tidak akan diam lagi ketika situasi sedang tidak baik-baik saja. Meski kelak tuntutan unjuk rasa sudah dipenuhi pemerintah, mahasiswa akan tetap menjalankan perannya sebagai wadah intelektual untuk mengawasi berjalannya pemerintahan.
Kekuatan alternatif
Kehadiran masyarakat sipil dan mahasiswa yang kuat semakin dibutuhkan di tengah kondisi saat ini. Dengan peta politik DPR saat ini, dibutuhkan poros kekuatan lain yang bisa jadi kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah dan partai-partai politik di DPR.
Pemerintahan Jokowi-Amin saat ini mengontrol 427 kursi atau 74,26 persen dari total kursi di DPR. Enam dari sembilan partai politik di DPR adalah anggota koalisi parpol pendukung pemerintah.
Dampaknya, menjadi sulit untuk mengandalkan partai-partai itu untuk menjalankan check and balance terhadap pemerintah. Hanya Partai Keadilan Sejahtera yang tegas menyebut diri sebagai kekuatan oposisi, sementara sikap Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional abu-abu dan menyebut diri sebagai ‘mitra kritis’ pemerintah.
Menurut Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, perkembangan gerakan aktivisme masyarakat menjadi harapan di tengah kuatnya kekuatan politik pendukung pemerintah di DPR dan minimnya check and balance.
Baca juga: Kekuatan Oposisi Dibutuhkan
Sejarah menunjukkan, ketika kekuatan oligarki semakin kuat dan elite minim pengawasan, gerakan ekstra-parlementer selalu menjadi kekuatan alternatif.
“Selain menjadi kekuatan ketiga untuk kontrol dan penyeimbang kekuasaan, ini juga bisa sekaligus sebagai pendidikan politik yang membuat masyarakat sadar akan peran dan tanggung jawabnya dalam demokrasi,” kata Firman.
Indonesia tidak sendiri. Fenomena kebangkitan gerakan masyarakat sipil ini bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Indeks Demokrasi 2018 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit menunjukkan, kepercayaan terhadap demokrasi dan institusi politik menurun di banyak negara. Namun, harapan dan semangat perlawanan dari rakyat tidak pupus.
Partisipasi politik meningkat signifikan. Publik tidak serta-merta menjadi apolitis dan memisahkan diri dari demokrasi. Sebaliknya, "amarah" dan keresahan itu justru menggerakkan masyarakat sipil untuk bersikap kritis dan bertindak ketika merasa nilai-nilai dan haknya mulai digerus oleh negara.
Di Indonesia, itu ditunjukkan melalui bangkitnya gerakan aktivisme dan unjuk rasa mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil. Di Hong Kong, unjuk rasa selama lima bulan terakhir yang awalnya untuk mengkritik Undang-Undang Ekstradisi kini berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi. Di Lebanon, unjuk rasa berlangsung sejak September untuk memprotes korupsi oleh elite pemerintah dan perekonomian yang kacau.
Di Perancis, berbagai kelompok memprotes kebijakan pemerintah dengan aksi ‘rompi kuning’ atau gilets jaunes. Para peserta aksi ini menuntut keadilan ekonomi.
Tantangan
Meski demikian, jalan ke depan tidak mudah. Menurut Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar, di tengah kepungan kekuatan oligarki, tantangan berikutnya adalah menjamin ruang dan akses yang bebas bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan kritik di ruang publik secara aman.
Berbagai indeks untuk mengukur kualitas demokrasi, seperti Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Badan Pusat Statistik, Indeks Demokrasi 2018 oleh The Economist Intelligence Unit, serta data dari Freedom House 2018, menunjukkan, kebebasan berekspresi dan kualitas demokrasi substansial Indonesia terancam.
Data terbaru, Lembaga Survei Indonesia mencatat, dalam survei nasional 8-17 September 2019, dari 1.550 responden, 43 persen mengaku makin takut bicara tentang politik. Itu meningkat signifikan dibandingkan survei 2014. Saat itu, hanya 17 persen responden yang takut bersuara. Sebanyak 38 persen responden juga menyatakan semakin takut dengan penangkapan oleh aparat hukum, naik dari sebelumnya pada 2014, yakni 24 persen.
“Ketika oposisi mengecil, harapannya adalah kontrol datang dari publik. Tetapi itu baru bisa dipastikan ketika publik punya kebebasan untuk mengontrol pemerintahan, mendapat akses atas informasi, dan diberi rasa aman untuk menyampaikan pendapatnya,” kata Wahyudi.
Jalan ke depan memang tidak mudah. Namun, harapan masih ada. Sebagaimana bunyi Sajak Suara oleh Widji Thukul, suara rakyat tidak bisa diredam, dibungkam, dan dipenjarakan. Apalagi, ketika alarm ancaman berdemokrasi sudah berbunyi kencang, bertalu-talu.