Hasil Investigasi Manipulasi Ekspor Nikel Segera Diumumkan
›
Hasil Investigasi Manipulasi...
Iklan
Hasil Investigasi Manipulasi Ekspor Nikel Segera Diumumkan
Pemerintah tengah menginvestigasi adanya manipulasi ekspor nikel yang diindikasikan melebihi kuota ekspor tahun ini. Hasil investigasi akan segera diumumkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menginvestigasi manipulasi ekspor nikel yang diindikasikan melebihi kuota ekspor tahun ini. Hasil investigasi, yang dikerjakan pasca-keputusan mendadak terkait penghentian ekspor bijih nikel pekan lalu, akan segera diumumkan.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mengikuti arahan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, 28 Oktober 2019, mengumumkan pemberlakuan penghentian ekspor bijih nikel sehari setelah informasi tersebut disampaikan.
Keputusan itu dua bulan lebih cepat dari kebijakan yang disepakati, yaitu 1 Januari 2020. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pelaksana Tugas Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot, dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (6/11/2019), mengatakan, keputusan itu dibuat karena adanya sejumlah indikasi manipulasi ekspor nikel.
”Diindikasikan, ada perusahaan pemilik tambang yang memiliki izin smelter (pabrik pemurnian) memanfaatkan celah peraturan dengan mengambil bijih nikel kuota dari perusahaan lain,” ujar Yuliot.
Ia memaparkan, pada September 2019, ditemukan 100 juta ton nikel siap diekspor melalui pelabuhan-pelabuhan dalam negeri. Jumlah itu melebihi kuota ekspor tahun ini yang hanya 26 juta ton. Kemudian, pada Oktober 2019, ada indikasi 150 kapal yang mengangkut nikel dengan kadar lebih dari 1,7 persen untuk ekspor.
Padahal, Permen ESDM No 11/2019 mengatur ekspor nikel dengan batasan kurang dari 1,7 persen. Aturan dibuat agar nikel dalam negeri memenuhi ketersediaan bahan baku nikel untuk smelter yang diperkirakan habis dalam waktu tujuh tahun setelah 2022. Perkiraan itu didasarkan pada cadangan terbukti sebesar 698 juta ton bijih nikel pada 2019.
Investigasi dan evaluasi pada sekitar 30 dari 37 perusahaan yang masih membangun smelter nikel pun dilakukan. Adapun tim yang terlibat dalam investigasi antara lain Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, serta PT Surveyor Indonesia.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak mengatakan, hasil investigasi akan terlebih dahulu disampaikan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kamis (7/11/2019) ini.
”Saya kira besok akan ditentukan keputusannya seperti apa dalam rapat dengan Kemenko Kemaritiman dan Investasi,” kata Yunus pada kesempatan yang sama.
Sementara itu, ia juga mengharapkan agar percepatan penghentian ekspor dikomunikasikan kembali dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Hal itu karena keputusan tidak berdasarkan aturan tertulis yang dibuat dalam Permen ESDM No 11/2019. Permen itu dibuat untuk merevisi larangan ekspor bijih nikel kadar rendah pada 2022.
Perbaikan tata niaga
Selain keputusan percepatan penghentian ekspor, pembangunan smelter nikel pun masih menuai kontroversi. Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) pun meminta pemerintah untuk mengutamakan perbaikan tata niaga nikel.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey, yang ditemui pada kesempatan sama, berharap koordinasi yang dilakukan pemerintah dapat sekaligus membicarakan penerbitan aturan harga tata niaga nikel domestik, yang sudah diharapkan keluar sebelum pergantian kabinet.
”Jadi, mau ekspor atau tidak, kalau harga nikel sudah layak, kami tidak akan ekspor. HPM (harga patokan mineral) bagi kami sudah cukup, tapi smelter mau terima enggak?” ujarnya.
Selain itu, tidak terserapnya bijih nikel dari petambang juga disebabkan ketidakkonsistenan surveyor yang mengecek kualitas nikel di pelabuhan muat dan bongkar.
Menurut dia, hasil pengecekan kadar nikel di pelabuhan bongkar kerap turun dari pengecekan sebelumnya. Akibatnya, bijih nikel dari petambang ditolak oleh smelter yang kerap meminta bijih nikel dengan kadar 1,8 persen.
”Kalau barang kita dari sini kadarnya 1,7 persen, tapi penilaian di sana jadi 1,6 persen atau lebih rendah,” ujarnya.
Kerugian juga menimpa pasca-pelarangan ekspor secara mendadak, pekan lalu. Meidy menaksir, petambang rugi sampai Rp 500 miliar akibat banyak kapal pengangkut nikel tertahan dalam sepekan. Sementara Indonesia masih memiliki kontrak ekspor dengan China sampai akhir 2019.
APNI pun meminta pemerintah bertanggung jawab dan segera menerbitkan aturan terkait tata niaga nikel. Untuk mendorong hal itu, APNI juga akan mengambil langkah ekstrem dengan memboikot pengiriman bijih nikel ke smelter yang tidak terikat kontrak hingga enam bulan ke depan.