JAKARTA, KOMPAS - Kekuatan kelompok kapitalis dan politik yang cenderung membentuk struktur di sejumlah daerah berpotensi menimbulkan gangguan dalam Pilkada serentak 2020. Perubahan sumber anggaran dan penguatan pengawasan hingga kemungkinan perubahan sistem dapat mengemuka sebagai tawaran solusinya.
Hal itu mengemuka dalam dialog bertema “Pilkada Serentak dan Tantangan Membangun Daerah” yang diadakan Rabu (6/11/2019) di Gedung DPR, Jakarta. Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Anggota Komisi II DPR Kamrussamad, dan dosen komunikasi politik Universitas Mercu Buana Maksimus Ramses Lalongkoe hadir sebagai pembicara.
Maksimus dalam paparannya mengatakan bahwa ada kecenderungan kekuatan kapitalis memengaruhi pilkada dan menciptakan oligarki politik di daerah-daerah. Struktur politik dan modal yang turut berperan dalam praktik perebutan kekuasaan di sejumlah daerah itu, menurut Maksimus, cenderung dapat menyebabkan keributan tertentu.
Pada tingkatan tertentu, hal ini membuat pembangunan tidak bisa berjalan. Pasalnya, imbuh Maksimus, selama periode tertentu jabatan bupati harus diemban pelaksana tugas yang tidak bisa mengambil keputusan strategis.
Maksimus mengatakan mekanisme pengawasan oleh penyelenggara pemilu, dengan demikian mesti diperkuat dan lebih berperan aktif mengawasi praktik politik uang. Hal lain yang diusulkan ialah dengan menganggarkan APBN guna menyelenggarakan pilkada. Hal ini alih-alih praktik saat ini dengan dana APBD serta dana pribadi kandidat bersangkutan saat mencalonkan diri.
Menanggapi hal tersebut Nono mengatakan bahwa usulan penaanggaran APBN untuk pilkada bergantung pada kecukupan uang negara. Dalam kesempatan itu ia lebih menyoroti tugas DPD untuk turut mengawasi jalannya Pilkada serentak 2020.
Menurut Nono, berdasarkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di periode sebelumnya, terdapat sejumlah persoalan yang belum ditemukan jalan keluarnya. Berdasarkan pengalaman sebelumnya itu, terdapat sejumlah praktik yang terjadi, seperti dugaan jual beli dalam proses pencalonan antara calon partai politik tertentu. Selain itu, imbuh Nono, munculnya nama-nama calon bermasalah yang memiliki modal dan kekuatan politik.
Selain itu, berdasarakan evaluasi dari lapangan diketahui pula ada risiko cukup besar jika calon petahana tidak mundur pada saat pencalonan. Pasalnya, dengan kekuatan yang dimiliki, yang bersangkutan bisa menggerakkan birokrasi, aparat, hingga guru untuk kepentingan politik.
Hanya mengambil cuti pada saat proses tersebut dinilai relatif tidak cukup. Berdasarkan catatan yang dilakukan pada saat turun ke lapangan, imbuh Nono, diketahui terjadi kecenderungan politisasi birokrasi serta terjadinya dugaan manipulasi dana kampanye.
Oleh karena itulah, ia mulai mengajukan gagasan agar pilkada dengan pilihan langsung rakyat hanya dilakukan pada tingkat gubernur saja. Pemilihan di tingkat bupati atau walikota, diusulkan dilakukan DPRD setempat.
"Saya merasakan masyarakat terkotak-kotak sampai tiga lapis, tiga tingkat (pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati.walikota). Ini luar biasa, pasti terganggu," sebut Nono.
Revisi UU Pilkada
Sementara Kamrussamad, pada kesempatan itu lebih menekankan tentang rencana revisi UU Pilkada dan Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan dalam rangkaian Pilkada serentak 2020. Ia mengatakan, sejauh ini revisi UU Pilkada belum menjadi usulan resmi. Prosesnya saat ini baru terjadi antara Komisi II DPR dan KPU.
Karena itulah yang lebih disoroti adalah PKPU Pencalonan yang di dalamnya berisikan usulan untuk memasukkan kembali larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri. Ia menilainya sebagai aspirasi besar tentang keadilan sosial dari masyarakat yang perlu diserap dan diadopsi. “Kita respon positif,” sebut Kamrussamad.
Hal ini menyusul fokus perhatian publik pada isu pemberantasan korupsi yang titik episentrumnya dalam beberapa waktu terakhir ada di DPR. Terutama setelah revisi UU KPK disahkan. Kamrussamad menyebutkan, hal itu membuat DPR berada di titik terendah dalam kaitannya dengan persepsi masyarakat.
Mengomentari Pilkada serentak 2020, Kamrussamad menyoroti efisiensi pemerintahan yang akan terbentuk kelak. Hal ini menyusul, dari 270 daerah yang akan menggelar pilkada, tidak satupun calon yang akan terpilih kelak bakal menjabat selama lima tahun. Kamrussamad mengatakan, rentang jabatannya hanya berada di kisaran 3,5 tahun hingga empat tahun.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.