TOKYO, SELASA —Perusahaan konstruksi Jepang menaruh investasi yang besar pada teknologi. Ini bertujuan mengatasi berkurangnya pasokan tenaga kerja sejak 1970-an dan bertambahnya populasi warga lansia. Inilah yang, di luar dugaan, ternyata mampu menyelamatkan perekonomian Jepang dari dampak perang dagang Amerika Serikat-China.
Industri di Jepang melihat kecerdasan buatan dan robot, yang secara otomatis bisa beroperasi sendiri, sebagai solusi masa depan mereka atas berkurangnya tenaga kerja.
Dampaknya adalah ketika dunia menghadapi resesi, perusahaan konstruksi harus menaruh investasi yang tidak sedikit pada teknologi. Perusahaan konstruksi Shimizu Corp yang membelanjakan sekitar 3 miliar yen (27,7 juta dollar AS) untuk robot dalam tiga tahun adalah contohnya.
Dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan terbaru, kamera, dan sensor, mesin bekerja memindahkan material bangunan dan baja las untuk memasang langit-langit.
Untuk saat ini, Shimizu memperkirakan, penghematan dari penggunaan robot dalam pekerjaan konstruksi menjadi 1,1 persen, masih jauh dari target Kementerian Pertanahan yang sebesar 20 persen pada pertengahan dekade mendatang.
Akan tetapi, Manajer Umum Divisi Teknologi Konstruksi Shimizu Masahiro Indo mengatakan, perusahaannya berharap akan dapat mengotomatisasi tiga perempat proses produksi dengan menambah fungsi pada robot.
”Ketika panas, pekerja butuh istirahat dan minum. Robot tidak butuh. Mereka juga tidak lelah, jadi ini bagus,” katanya. ”Begitu robot menjadi semakin pintar, kami ingin menambah pekerjaan yang bisa mereka lakukan.”
Contoh lain, dengan bantuan teknologi, kompleksitas renovasi Stasiun Metro Tokyo, khususnya untuk jalur Ginza yang berada di pusat perbelanjaan Shibuya, oleh Tokyu Construction Co dapat disimulasikan dengan program komputer sebelum renovasi fisik dikerjakan. Dulu, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa menghentikan kegiatan operasional kereta pada akhir pekan dan pelatihan bagi pekerja.
Kini, proses itu bisa dikerjakan dengan simulasi tiga dimensi oleh para insinyur sehingga potensi masalah dapat diidentifikasi.
Investasi pada teknologi untuk menggerakkan ekonomi juga tak terelakkan ketika populasi lansia berusia 60 tahun ke atas di Jepang terus bertambah. Satu dari empat pekerja terampil sektor konstruksi sudah lansia. Sementara jumlah tenaga kerja berusia di bawah 30 tahun hanya sepersepuluh dari jumlah tenaga kerja yang ada atau turun dari seperlima pada akhir 1990-an. Artinya, semakin banyak yang menganggur dan semua perusahaan berebut tenaga kerja terampil yang kian langka.
Ada 5,1 juta pekerja konstruksi di Jepang pada akhir Agustus 2019 atau menurun 27 persen daripada 20 tahun yang lalu. Oleh karena itu, menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja sambil tetap mempertahankan produktivitas, terutama untuk proyek infrastruktur besar, menjadi penting.
Abenomics
Pekerjaan konstruksi telah berkembang di bawah stimulus ekonomi Abenomics Perdana Menteri Shinzo Abe dan menjelang perhelatan Olimpiade Tokyo 2020.
Pemerintah juga membelanjakan banyak anggaran untuk pemulihan pascabencana setelah dihantam topan dan banjir beberapa waktu lalu.
Belanja modal di sektor konstruksi naik 7,7 persen pada periode April-Juni 2019 atau jauh lebih besar daripada kenaikan sektor industri lain yang hanya 1,9 persen.
Perusahaan konstruksi juga berencana untuk meningkatkan belanja penelitian dan pengembangan sebesar 15,5 persen pada akhir tahun fiskal Maret 2020 nanti. Kenaikan itu merupakan yang tertinggi di antara semua sektor yang menurut rencana secara total hanya naik 3,3 persen.