Beralasan Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu Terhambat, Jaksa Agung Dikritik
›
Beralasan Penyelesaian Kasus...
Iklan
Beralasan Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu Terhambat, Jaksa Agung Dikritik
Jaksa Agung ST Burhanuddin beralasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu sulit karena terkendala alat bukti dan belum terbentuknya pengadilan hak asasi manusia.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung ST Burhanuddin tak berbeda dengan jaksa agung sebelumnya dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Dia beralasan, penyelesaian sulit karena terkendala alat bukti dan belum terbentuknya pengadilan hak asasi manusia. Komisi III DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengkritik sikap Burhanuddin tersebut.
Dalam rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/11/2019), Burhanuddin mengungkapkan, masih ada 12 perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditangani kejaksaan, tetapi belum mampu diselesaikan. Menurut dia, masih ada sejumlah kendala yang membuat kasus tersebut mandek di kejaksaan.
”Kami telah mempelajari dan meneliti hasil penyelidikan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Hasilnya, baik persyaratan formil maupun materiil, belum memenuhi secara lengkap,” katanya.
Selain itu, penyelesaian sejumlah perkara terkendala karena pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk.
Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengamanahkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutus kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum undang-undang tersebut lahir. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.
Kasus yang terjadi sebelum terbitnya UU No 26/2000 adalah peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti-Semanggi I-Semanggi II 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Talang Sari 1989, peristiwa Simpang KKA 1999, peristiwa Roemah Geodong 1998, dan peristiwa dukun santet di Banyuwangi 1998.
”Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sifatnya pro justitia. Hal ini perlu izin dari ketua pengadilan dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk,” ujarnya.
Selain itu, ada pula peristiwa yang terjadi setelah tahun 2000, yaitu peristiwa Waisor 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Jambo Keupok 2002, dan peristiwa Paniai 2014. Sama seperti kasus sebelum tahun 2000, kejaksaan kesulitan mengumpulkan bukti-bukti terkait.
”Sulit memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena alat bukti sulit diperoleh, telah hilang, atau tidak ada,” lanjutnya.
Utang presiden
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan, seharusnya Jaksa Agung yang baru bisa mencari solusi dari kendala teknis penyelesaian kasus HAM. Dia pun mendesak agar kasus segera diselesaikan karena menjadi salah satu utang Presiden Joko Widodo.
”Jangan sampai setiap masa sidang, kami hanya disuguhkan terkait angka-angka jumlah kasus HAM yang belum mampu diselesaikan oleh Jaksa Agung. Lagi pula, penyelesaian kasus HAM merupakan utang dari pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode sebelumnya,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Ichsan Soelistio, juga mendesak kejaksaan untuk tidak berlarut-larut menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. ”Kasus-kasus tersebut akan semakin sulit dicari bukti-buktinya jika kejaksaan berlarut-larut untuk menyelesaikannya,” ucapnya.
Jika memang ada hambatan regulasi, Ichsan melanjutkan, sebaiknya perlu ada revisi undang-undang untuk memudahkan kejaksaan.
Kemauan politik
Kritik terhadap sikap kejaksaan juga disampaikan Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, penyelesaian kasus HAM perlu menjadi prioritas Jaksa Agung dalam 100 hari kerja setelah dilantik oleh Presiden. Jika Burhanuddin tak mampu menyelesaikannya, ada baiknya Presiden mengganti Jaksa Agung dengan sosok lain yang lebih kredibel.
”Selain itu, perlu ada political will dari Presiden yang perlu memerintahkan agar Jaksa Agung bisa memprioritaskan penyelesaian kasus HAM. Jika Presiden saja tidak memiliki keinginan, hal tersebut akan sulit direalisasikan oleh Jaksa Agung yang baru,” katanya.
Menurut komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, kejaksaan sebenarnya tinggal melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ke tingkat penyidikan. Sayangnya, selama ini, kejaksaan tidak pernah mau menggunakan wewenang penyidikan tersebut.
Wewenang Komnas HAM hanya bisa merekonstruksi peristiwa dan menemukan bukti permulaan yang cukup sehingga bisa kami jadikan dasar untuk menilai apakah sebuah peristiwa merupakan kasus pelanggaran HAM atau bukan,” ujarnya.
Beka mengatakan, Komnas HAM siap diajak masuk dalam tim penyidik gabungan jika kejaksaan benar-benar berniat menyelesaikan.
Komnas HAM pun berencana bertemu dengan Jaksa Agung untuk menyelesaikan sejumlah kasus HAM. ”Waktunya sedang kami sesuaikan dan kami juga akan mempersiapkan sejumlah pokok pemikiran terkait kasus-kasus yang perlu ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung,” katanya.