Dana Desa Fiktif Ditengarai karena Persoalan Tertib Administrasi
›
Dana Desa Fiktif Ditengarai...
Iklan
Dana Desa Fiktif Ditengarai karena Persoalan Tertib Administrasi
Persoalan desa-desa fiktif menyita perhatian publik. Kementerian Dalam Negeri menengarai akar persoalan ini karena masalah administrasi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan tertib administrasi dinilai menjadi akar masalah dalam dugaan penyelewengan keuangan negara melalui pengalokasian dana desa, termasuk ke desa-desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Persoalan ini terjadi karena ditengarai tidak adanya proses verifikasi sebelum mengeluarkan peraturan daerah guna membentuk desa.
Data Kementerian Dalam Negeri hingga Kamis (7/11/2019) menunjukkan, jumlah desa di Indonesia hingga saat ini mencapai 74.957 desa. Sementara pada 1999, jumlahnya sebanyak 59.834 desa, artinya dalam kurun waktu 20 tahun ada penambahan desa sekitar 25 persen atau 15.123 desa.
Pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menjelaskan, jumlah desa yang terus bertumbuh, termasuk karena pemekaran, dikarenakan adanya alokasi dana desa. Setiap desa dialokasikan mendapat dana sekitar Rp 1 miliar setiap tahun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Dalam pembentukan desa yang lebih fokus pada pemekaran, itu rentan terjadi berbagai macam distorsi atau penyimpangan-penyimpangan. Ini yang kemudian memunculkan adanya desa fiktif karena gegabah dalam pembentukan desa,” ujar Djohermansyah.
Misalnya, terkait dengan jumlah penduduk yang menjadi salah satu syarat pembentukan desa. Dalam Pasal 8 Ayat (3b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan, pembentukan desa harus memenuhi syarat jumlah penduduk wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 jiwa atau 400 keluarga.
Sementara yang terjadi di Sulawesi Tenggara, hasil pengusutan polisi, ada tiga desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, yang disebut desa fiktif penerima dana desa. Dua desa diketahui tanpa warga, yakni Desa Ulu Meraka, Kecamatan Lambuya, dan Desa Uepai di Kecamatan Uepai.
Djohermansyah menyampaikan, sebenarnya sudah ada pagar-pagar dalam Undang-Undang Desa bahwa dalam membentuk suatu desa maka harus mendapat persetujuan dari gubernur. Ini merupakan mandat bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk menjamin pembentukan desa.
Dalam membentuk desa, bupati harus mengajukan usulan kepada gubernur dengan segala persyaratan pembentukan desa sudah terpenuhi. Kemudian, gubernur yang bertanggung jawab untuk menyetujui atau menolak.
Jika disetujui, gubernur akan mengeluarkan nomor registrasi dan Kementerian Dalam Negeri akan mengeluarkan kode desa. Kedua nomor ini nantinya yang akan menjadi dasar terbitnya peraturan daerah untuk pembentukan desa.
”Jadi, kalau bisa tembus semua proses ini, ’dibobol’ semua oleh orang tak bertanggung jawab, berarti ada persoalan dalam tertib administrasi. Artinya, ada hal-hal yang tidak dicek di lapangan oleh gubernur khususnya,” kata Djohermansyah.
Namun, memang untuk mengecek ke lapangan, gubernur sebagai wakil pusat tidak diberikan dana oleh pemerintah pusat meski sudah diamanatkan dalam UU Desa. Ini juga menjadi salah satu kendala untuk memverifikasi desa karena terbatas dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
”Gubernur seharusnya memang turun ke bawah untuk mengecek, tapi kalau ada 100 desa yang dimekarkan, maka untuk mengeceknya juga memerlukan pendanaan. Gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pusat, tetapi pusat kurang memberikan dukungannya,” ujar Djohermansyah.
Data KPK menunjukkan, diduga ada 34 desa yang bermasalah, 3 desa di antaranya fiktif, sementara 31 desa lainnya, meski keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur atau back date. Saat desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kementerian Dalam Negeri sehingga untuk mendapatkan dana desa, tanggal pembentukannya harus dibuat mundur.
Juru Bicara KPK menyampaikan, KPK terus memberikan dukungan bagi Polda Sulawesi Tenggara, salah satunya dalam menghadirkan ahli pidana untuk membantu menilai apakah dari hasil pemeriksaan saksi, persoalan ini termasuk pelanggaran administratif saja atau sudah masuk pidana.
”KPK tentu berharap masyarakat setempat juga mengawal dan mendukung pengungkapan perkara ini. Kenapa? Karena masyarakat-lah yang akan dirugikan kalau ada korupsi dana desa,” ujar Febri.