Minyak Sawit dan Minyak Jarak, Alternatif Utama Energi Baru dan Terbarukan
›
Minyak Sawit dan Minyak Jarak,...
Iklan
Minyak Sawit dan Minyak Jarak, Alternatif Utama Energi Baru dan Terbarukan
Energi baru dan terbarukan merupakan sektor strategis yang harus dikembangkan. Kementerian Riset dan Teknologi tertarik dengan pengembangan katalis pengubah minyak sawit menjadi biodiesel dan biogasolin.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Energi baru dan terbarukan merupakan sektor strategis yang harus dikembangkan. Beberapa sektor yang menarik perhatian Kementerian Riset dan Teknologi adalah mengembangkan katalis pengubah minyak sawit menjadi biodiesel dan biogasolin serta meninjau ulang kemungkinan pemakaian minyak jarak (jathropa) untuk menjadi bahan bakar pengganti energi fosil.
Gagasan tersebut diungkapkan oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro ketika menjadi narasumber dalam diskusi bulanan ikatan alumni Sekolah Pangudi Luhur (SPL) Jakarta, Rabu (6/11/2019). Tema untuk bulan ini adalah ”Bincang-bincang dengan Tiga Profesor tentang Arah Kebijakan Riset dan Inovasi dengan Memanfaatkan Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim”.
Selain Bambang, turut hadir sebagai narasumber Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dan Menteri Pertambangan periode 1978-1988 Subroto. Mereka bertiga merupakan lulusan Sekolah Pangudi Luhur.
Bambang menjelaskan, pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak mengharuskan Indonesia mengimpor dari negara-negara lain yang memberatkan neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Akibatnya, stabilitas ekonomi makro nasional ikut terganggu sehingga menyulitkan Indonesia memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat.
”Katalis untuk mengubah minyak sawit menjadi biodiesel dan biogaolin ini sudah ada, tetapi memiliki hambatan untuk memproduksinya secara massal. Salah satu dugaannya karena jika Indonesia bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar sendiri akan berpengaruh kepada perdagangan BBM dunia,” kata Bambang.
Katalis untuk mengubah minyak sawit menjadi biodiesel dan biogasolin ini sudah ada, tetapi memiliki hambatan untuk memproduksinya secara massal.
Ia menerangkan, dari segi penggunaan, pembangkit-pembangkit tenaga listrik sebenarnya bisa mengganti batubara sebagai sumber bahan bakar menjadi minyak sawit mentah. Masalahnya, pembangkit listrik belum mau mengeluarkan biaya untuk mengganti sebagian peralatannya agar bisa mengakomodasi pemakaian sawit.
”Ini masalah persepsi tidak mau mengeluarkan biaya saat ini karena dinilai mahal. Padahal, dari segi keuntungan finansial dan manfaat di masa depannya besar sekali,” ujarnya.
Selain itu, Bambang menyatakan ingin meninjau lagi riset dan pengembangan minyak jarak untuk bahan bakar. Alasannya, jika bergantung pada sawit, meskipun sistem perkebunannya dibenahi, negara-negara lain enggan untuk mengakui dan berkolaborasi.
Akan tetapi, minyak jarak memiliki potensi besar sebagai energi terbarukan yang minim konflik, apalagi pohon jarak merupakan tanaman rakyat. Perlu dicari pokok permasalahan yang mengakibatkan minyak jarak berhenti dikembangkan. Kemungkinan dari aspek teknologi terlalu mahal, belum bisa diproduksi secara massal, ataupun prosesnya belum efisien.
Menurut dia, sejatinya pemerintah juga mengembangkan sumber-sumber energi lain, seperti sinar matahari, angin, dan air. Namun, tidak semua daerah memiliki cukup pasokan energi alam tersebut sehingga penggunaan biodiesel, biogasolin, dan biomassa dari sampah menjadi alternatif.
Dorong listrik
Bambang mengatakan, pihaknya juga akan mengembangkan pemakaian motor listrik. Indonesia sudah bisa meluncurkan motor listrik Gesits di tahun 2018. Dari segi baterai litium, ternyata bisa diproduksi dengan menggunakan nikel yang kini tengah dibangun pabriknya di Morowali, Sulawesi Tengah.
”Sedang dikembangkan pula pembuatan baterai litium dari natrium ampas garam,” ujarnya.
Untuk pengaliran listrik masih menjadi tantangan karena belum stabil. Bambang menekankan pentingnya membuat kisi listrik pintar yang bisa menyimpan listrik dalam jumlah besar dan mengalirkannya dengan efisien. Ia mencontohkan, di Denmark, kisi listrik pintar bisa menyalurkan 100 persen listrik dari angin ketika embusan angin sangat kencang dan saat suplai listrik berlebih bisa diekspor ke negara-negara tetangga.
Sementara itu, Suahasil Nazara menerangkan tentang perlunya pembenahan sistem harga. Semestinya harga tidak ditentukan oleh pemerintah, tetapi oleh sistem penawaran dan permintaan. Ia mencontohkan, harga tarif dasar listrik yang tidak sesuai dengan suplai mengakibatkan pemerintah harus menutupi selisihnya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Padahal, bisa disesuaikan agar kuintil teratas di masyarakat membayar biaya listrik sedikit lebih mahal dari lainnya,” tuturnya.
Jejaring
Panitia diskusi bulanan ikatan alumni SPL, Raezha Schambach, mengatakan, topik energi baru dan terbarukan merupakan hal yang menarik. Sejumlah alumnus PL tergabung dalam komunitas PL Energy yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan pengusaha di bidang energi.
”Selain membuka wawasan, diskusi-diskusi ini merupakan ajang membangun jejaring kolaborasi antaralumnus agar ada tindakan konkretnya,” ujarnya.