Kawasan industri membutuhkan pengelolaan terpadu sebagai daya tarik bagi investor. Pengelolaan terpadu memberikan jaminan dan kepastian kepada investor yang menanamkan modalnya.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawasan industri membutuhkan pengelolaan terpadu sebagai daya tarik bagi investor. Pengelolaan terpadu memberikan jaminan dan kepastian kepada investor yang menanamkan modalnya.
Menurut Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, industri merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Pertumbuhan industri mesti berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Perindustrian memberikan nilai tambah bagi sejumlah sektor, termasuk tenaga kerja. Nilai tambah ini menjaga daya beli tenaga kerja. Dengan (siklus) ini, pertumbuhan industri dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia berkelanjutan,” tuturnya dalam forum bisnis yang diadakan oleh Himpunan Kawasan Industri, di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Badan Pusat Statistik mendata, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen secara tahunan (year on year). Jika diperinci berdasarkan lapangan usaha, pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan III-2019 mencapai 4,15 persen secara tahunan.
Secara fundamental, Enny mengatakan, pertumbuhan perindustrian bergantung pada kawasan industri. Saat ini, kawasan industri membutuhkan pengelolaan terpadu oleh sebuah badan otoritas, seperti Malaysian Industrial Development Authority dan Industrial Estate Authority of Thailand.
Enny menyatakan, adanya pengelolaan terpadu melahirkan prosedur yang sederhana, kepastian, jaminan pengelolaan risiko yang rendah, serta kemudahan dalam menanamkan modal dan menjalankan bisnis di kawasan industri. Hal ini menjadi magnet bagi investor. ”Kalau dikelola sendiri-sendiri oleh swasta, orientasinya hanya laba, bukan hal-hal yang menyentuh ekonomi makro,” ujarnya.
Dalam hal keterpaduan, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Sanny menyatakan, kawasan industri membutuhkan infrastruktur yang mengintegrasikan aset dan akses kawasan industri. Saat ini, terdapat 93 kawasan industri dengan pengelola sebanyak 93 pihak dan total luas kawasan industri mencapai 90.000 hektar.
Dalam laporan daya saing global 4.0 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum, daya saing infrastruktur Indonesia menempati posisi ke-72 dari 141 negara. Secara terperinci, infrastruktur transportasi Indonesia menduduki peringkat ke-55 dan infrastruktur utilitas berada di posisi ke-89.
Salah satu infrastruktur yang dibutuhkan ialah listrik. ”Kami berkomitmen untuk menawarkan tarif listrik murah bagi industri. Pada posisi Oktober 2019 lalu, tarif listrik tegangan tinggi Indonesia berada di posisi kedua termurah di Asia Tenggara setelah Mayalsia,” kata Senior Executive Vice President Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Yuddy Setyo Wicaksono dalam kesempatan yang sama.
Berdasarkan laporan Ease of Doing Business 2019, kemudahan mendapatkan listrik di Indonesia mendapatkan nilai 86,38 poin dan berada di posisi ke-33. Pada tahun sebelumnya, nilai Indonesia sebesar 83,87 poin dan menduduki peringkat ke-38.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengharapkan setiap kawasan industri memiliki pusat data. ”Tujuannya, untuk memadukan rantai industri atau kawasan. Jadi, setiap kebutuhan dan hasil produksi tiap kawasan industri dapat terdata,” katanya.
Secara umum, Doddy menyatakan, orientasi pengembangan kawasan industri di Jawa dan luar Jawa berbeda. Pengembangan kawasan di luar Jawa berorientasi pada peningkatan efisiensi logistik, pembukaan sumber pertumbuhan ekonomi baru, dan hilirisasi, sedangkan di Jawa berorientasi pada pemanfaatan teknologi tinggi serta industri padat karya dan hemat air.