Band Tashoora yang terbentuk di Yogyakarta tahun 2016 merilis album studio perdana berjudul Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya. Sembilan lagu di dalamnya mengandung isu sosial-politik yang tidak sepuitik judul albumnya. Mereka mau menjadi corong agar sengkarut masalah tersebut diperhatikan lebih banyak orang.
Judul album itu merupakan petikan dari lirik lagu “Sabda” yang ditulis gitaris Danang Joedodarmo. Lagu itu, kata Danang, berangkat dari sengketa lahan yang melibatkan pedagang kaki lima di salah satu ruas jalan utama di Yogyakarta pada 2015 lalu. Kasus bernuansa diskriminatif itu memicu perdebatan “pribumi” dan “nonpribumi”.
“Lagu ‘Sabda’ itu merepresentasikan orang yang fanatik pada ideologi tertentu. Ketika sudah rekat dengan suatu ideologi, orang cenderung dibutakan,” kata Danang di Jakarta, Selasa (5/11/2019). Landasan itu merupakan benang merah bagi lagu-lagu yang ada di album, walau dengan latar peristiwa berbeda-beda.
Lagu “Agni”, misalnya, berlatar kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi kampus negeri. Penyintasnya justru disalahkan. “Kemarin hampir nangis waktu bawakan lagu itu di aksi Reformasi Dikorupsi (pada 28 Oktober, di Jakarta). Bukan nangis sedih, tapi nangis marah, gitu,” kata Gusti Arirang, basis.
Pemain kibor dan akordion, Dita Permatas menambahkan, mereka tak cuma membicarakan isu yang terjadi di masa kini, melainkan juga dari masa lampau. "Kami membahas peristiwa yang mungkin orang sudah tahu, tapi menutup mata. Lagu \'Surya\' itu soal pembungkaman ilmu pengetahuan karena fanatisme agama yang pernah terjadi tahun 1950-an. Fanatisme sudah ada, kok, dari dulu, bukan terjadi sekarang saja," kata Dita.
Isu-isu itu, kata Danang, bukanlah topik yang bisa dibicarakan dengan santai sembari ngopi. Makanya, Tashoora memilih mengangkatnya melalui musik pop. “Sulit membicarakan isu-isu ini, jadi harus cari cara lain. Salah satunya pakai musik sebagai corong,” kata Danang.
Untuk itu, mereka memerlukan lebih banyak panggung, juga jaringan yang lebih luas. Jakarta dianggap lebih banyak memberikan hal itu. Makanya, mereka pindah dari Yogyakarta ke ibukota sejak tiga pekan lalu.
"Dilihat dari data, pendengar kami ada di Jakarta, trennya naik terus. Juga ada lebih banyak acara (seperti festival musik) di sini yang bisa jadi ajang amplifikasi isu. Kami sering kehilangan momen amplifikasi itu karena bertahan di sana," kata Danang.
"Iya, menyesal tidak pindah dari dulu," lanjut Dita.