Tren hijrah atau transformasi ke arah kehidupan lebih baik sesuai syariah Islam di kalangan masyarakat Muslim berdampak positif bagi sektor ekonomi nasional.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren hijrah atau transformasi ke arah kehidupan lebih baik sesuai syariah Islam di kalangan masyarakat Muslim berdampak positif bagi sektor ekonomi nasional. Hal ini juga dibarengi momentum kebangkitan ekonomi syariah yang didukung pemerintah.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Suhaedi dalam konferensi pers Indonesia Sharia Economic Festival ke-6 di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (7/11/2019), mengatakan, tren hijrah tersebut tidak hanya terjadi pada sebagian umat Muslim. Namun, dampaknya juga dapat dirasakan masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini ditunjukkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi dalam produk domestik bruto (PDB) yang berkaitan dengan syariah. Ia mencatat, pertumbuhan indikator-indikator itu selalu di atas 6 persen dalam empat triwulan terakhir. Pertumbuhan itu disumbang sektor pertanian, mode, dan manufaktur makanan-minuman halal. Nilai itu melampaui angka pertumbuhan ekonomi nasional yang rata-rata 5 persen.
Dari sisi konsumsi, produk industri halal dibelanjakan sampai lebih dari 200 miliar dollar AS atau sekitar 36 persen dari total konsumsi rumah tangga tahun 2017. Kontribusi industri halal itu sekitar 20 persen PDB Indonesia.
”Dampak hijrah bagi pertumbuhan ekonomi syariah ini kita harapkan tidak dilihat karena halal dan haramnya, tetapi jadi pilihan karena efisien dan punya daya saing,” ujarnya.
Dari sisi perbankan, Direktur Eksekutif Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Ventje Raharjo menilai, tren hijrah juga memicu lonjakan pada pembukaan rekening di bank syariah. Lonjakan itu terjadi dalam tiga tahun terakhir.
”Tanpa ada promosi besar-besaran, pembukaan dan aliran dana di rekening syariah juga besar. Ini juga terlihat pada pertumbuhan rekening keuangan syariah digital, seperti yang ada di Tokopedia atau Bukalapak,” tuturnya.
Dampak hijrah bagi pertumbuhan ekonomi syariah ini kita harapkan tidak dilihat karena halal dan haramnya, tetapi jadi pilihan karena efisien dan punya daya saing.
Indonesia kini memiliki 14 bank syariah dengan pangsa pasar 5,8 persen. Namun, jumlah itu terbilang cukup rendah dibandingkan negara Muslim lain, seperti Pakistan yang memiliki lima bank syariah dengan pangsa pasar mencapai 15 persen (Kompas, 17/10/2019).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2019 menyebutkan, total aset keuangan syariah (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp 1.359 triliun atau bertumbuh sekitar 5 persen secara year to date dari Desember 2018. Dari total aset keuangan nasional, pangsa pasarnya baru 8,7 persen.
Ventje mengatakan, Indonesia saat ini memiliki momentum baik untuk menggenjot ekosistem syariah nasional. Pasalnya, pemerintah sangat mendukung tren sebut dengan berbagai upaya, salah satunya dengan menghadirkan KNKS yang dibentuk awal 2019.
”KNKS berfungsi mengonsolidasi, fasilitasi, kami di tengah-tengah kementerian dan lembaga negara dan pelaku usaha untuk mempercepat dan memperluas potensi ekonomi syariah,” katanya.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mendukung lewat pembentukan Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Rencana besar itu dibuat untuk penguatan rantai nilai halal, sektor perbankan, UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), serta pengembangan ekonomi digital berbasis syariah.
Tahun ini, Indonesia pun diakui sebagai negara dengan pasar keuangan syariah terbaik dunia berdasarkan laporan tahunan perbankan dan keuangan syariah global atau Global Islamic Finance Report 2019. Indonesia berada pada peringkat pertama di antara 48 negara berpenduduk Muslim. Indonesia mampu melampaui Malaysia yang selalu berada di posisi teratas sejak 2011 (Kompas, 17/10/2019).
Kolaborasi global
Ventje menilai, prestasi dan dukungan pemerintah berguna untuk meningkatkan daya saing Indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi syariah global.
Ia mengatakan, sebagai gambaran, perdagangan produk halal di dunia saat ini diperkirakan mencapai 2,2 triliun dollar AS. Pada 2024, nilai perdagangan itu diproyeksikan akan tumbuh menjadi 3 triliun dollar AS sampai 2024.
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Achmad Rizal Purnama pada kesempatan yang sama mengatakan, Indonesia perlu lebih banyak mendorong kolaborasi negara Islam lain dan pemain industri halal atau syariah.
Apalagi, industri ini sudah banyak dilirik negara-negara mayoritas non-Muslim, sebut saja Inggris yang diakui sebagai pusat keuangan syariah, kemudian Thailand, Jepang, dan Korea yang diklaim sebagai pusat dapur halal dunia.
”Di industri halal, kita jangan hanya jadi penonton, tetapi harus pemain. Oleh karena itu, kita harus bisa duduk bersama dengan negara lain,” ujarnya.
Upaya tersebut dalam waktu dekat akan dilangsungkan dalam ajang Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-6 pada 12-17 November 2019 di Jakarta.
Acara yang diselenggarakan Bank Indonesia itu akan mengundang mitra strategis, antara lain Islamic Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), Organization for Islamic Cooperation (OIC), dan World Halal Association.
ISEF 2019 tidak hanya akan menjadi ajang forum dan konferensi global, tetapi juga untuk menarik investasi langsung dari peserta luar negeri kepada pengembang produk halal atau syariah di Indonesia.