Eskalasi Konser Rock Reuni ”Bersubsidi”
Menginjak usia ketiga, laju perhelatan konser musik Jogjarockarta tidak menunjukkan tanda-tanda melambat, tetapi justru sebaliknya. Deretan grup rock papan atas mancanegara terus berdatangan untuk tampil pada ajang di Stadion Kridosono yang bisa dibilang uzur dan jauh dari kata megah di jantung Kota Yogyakarta itu.
Meski tampil di stadion sederhana, para penggawa metalheads selalu pulang dengan hati gembira seusai beraksi pada event tahunan itu. Diawali dengan grup musik metal progresif asal Amerika Serikat, Dream Theater, yang secara mengejutkan tampil hingga dua hari saking membeludaknya penonton pada perhelatan Jogjarockarta pertama tahun 2017.
Grup trash metal legendaris Megadeth dari ”Negeri Paman Sam” hadir sebagai penampil utama pada 2018 di stadion yang sama. Vokalis Dave Mustaine tampil lebih komunikatif di hadapan penonton pada pertunjukan tersebut. Padahal, Dave biasa dikenal sebagai sosok yang irit berbicara saat di atas panggung.
Tahun ini giliran grup Extreme asal Boston, Amerika Serikat, yang hantaran energi dari dentuman musik mereka menggetarkan tembok tua Kridosono beserta ribuan penggemar di dalamnya pada konser yang digelar pada Minggu (3/11/2019) malam. Jika biasanya gitaris Nuno Bettencourt hanya mengunggah satu foto pada akun Instagramnya setelah konser di suatu tempat atau negara, kali ini ia mengunggah hingga tujuh foto yang mengekspresikan kepuasannya atas perhelatan serta respons dari penonton konser di ”Kota Gudeg” tersebut.
Antusiasme Nuno tentu salah satunya berkat tanggapan positif penonton yang terus mengalir meriah selama penampilan Extreme dengan berdurasi sekitar 1 jam 15 menit. Grup yang juga digawangi oleh Gary Cherone (vokal), Pat Badger (bas), dan Kevin Figueiredo (drum) tersebut membuka penampilan mereka dengan lagu berjudul ”It (’s a Monster)” dari album Extreme II, Pornograffitti, dan disambung dengan lagu andalan mereka dari album yang sama yang berjudul ”Get The Funk Out”.
Gary yang telah berusia 58 tahun tampil lincah dan atraktif berjumpalitan ke seluruh sisi panggung dengan kualitas vokal yang masih relatif terjaga. Sebagian kotak speaker yang menjulang tinggi juga tak luput dinaiki oleh vokalis yang pernah bergabung dengan grup Van Halen itu. Nuno juga menjadi salah satu pusat perhatian utama pada setiap konser Extreme. Selain dianggap sebagai salah satu dewa gitar oleh para gitaris, musisi dari Azores, Portugal, itu juga tetap memiliki banyak penggemar setia karena penampilannya yang kalem, tetapi ganas saat bermain gitar.
Memasuki tengah pertunjukan, hujan mulai turun saat Nuno hendak tampil solo dengan gitar akustik memainkan komposisi berjudul ”Midnight Express”. Penonton bergeming, enggan berteduh, karena sebagian besar sudah bisa menebak lagu hits mereka yang berjudul ”More Than Words” akan dibawakan berikutnya.
Koor dari penonton pria berpenampilan rocker bersaing dengan jeritan histeris para penonton perempuan yang sebagian rela menanti sejak siang hari agar bisa memperoleh posisi paling dekat dengan Nuno.
Lagu yang dirilis pada 1990 itu pernah merajai tangga nada musik internasional dan pernah dinyanyikan oleh bermacam artis, mulai dari grup vokal Westlife hingga para juri dari ajang kompetisi menyanyi The Voice yang terdiri dari penyanyi John Legend, Gwen Stefani, Kelly Clarkson, dan Blake Shelton. Lagu tersebut juga menjadi semacam wajib bagi para gitaris muda yang sedang dalam proses belajar.
Lagu berjudul ”Cupid’s Dead” dari album III, Sides to Every Story, dibawakan pada urutan kedelapan. Bagian tengah lagu yang diisi unisono permainan gitar dan bas diselipi potongan komposisi instrumental berjudul ”Eruption” karya grup Van Halen.
Selipan permainan gitaris Eddie van Halen tersebut menggenapi janji Nuno yang disampaikan saat konferensi pers, sehari sebelumnya. Pertunjukan di Yogyakarta dianggap Nuno spesial karena secara geografis dinilai masih satu pulau dengan tempat Eugenia van Beers, ibu Eddie van Halen, dilahirkan dan pernah tinggal saat masa kolonial Belanda. Mengutip dari situs asaloesoel.igv.nl, Euegenia dilahirkan di Rangkas Bitung, Lebak, Banten, pada 21 September 1915, dan menikah dengan Jan van Halen di Jakarta pada 11 Agustus 1950.
”Luar biasa bagaimana seseorang bisa berpindah-pindah dari Indonesia, Belanda, kemudian ke California dan membuat sejarah seperti yang Eddie van Halen lakukan dalam mengubah cara kami bermain gitar. Dia adalah sosok gitaris terbaik bagi saya,” tutur Nuno.
Konser dengan 13 lagu tersebut ditutup dengan lagu ”We Are The Champions” dari grup Queen. Meski sesekali kualitas suara dari sistem tata suara berkekuatan 120.000 watt terdengar kurang maksimal, pertunjukan di atas panggung berukuran 18 x 12 meter itu tetap terasa semarak.
Perubahan konsep
Konsep satu panggung mulai diterapkan pada Jogjarockarta tahun ini. Pada kedua perhelatan sebelumnya, dua panggung didirikan bersebelahan. Panggung di sebelah kanan hanya digunakan oleh penampil utama dari luar negeri.
Menurut pemrakarsa Jogjarockarta sekaligus CEO Rajawali Indonesia Communication Anas Syahrul Alimi, penggabungan panggung merupakan strategi untuk memangkas ongkos produksi sehingga harga tiket bisa ditekan. Efisiensi juga dilakukan dengan menggelar konser selama satu hari saja.
Harga tiket konser dengan bintang utama grup Extreme dan Power Trip serta tujuh grup musik Tanah Air, seperti Edane dan Jamrud, dibanderol Rp 350.000 per lembar. Kemampuan Anas meyakinkan berbagai pihak sponsor untuk mendukung event itu membuat harga tiket relatif terjangkau seperti layaknya tiket bersubsidi.
Eskalasi jumlah grup bintang tamu mancanegara juga dilakukan untuk menambah daya tarik. Bahkan, pada 2020, lanjut Anas, grup mancanegara yang didatangkan ke event Jogjarockarta mencapai tiga grup. Grup legendaris Whitesnake dan Scorpions dipastikan tampil di ajang itu.
Nuansa reuni terus digaungkan sebagai gimik untuk menarik minat pada Jogjarockarta. Sejumlah grup khusus diminta tampil dengan format reuni untuk menyemarakkan suasana dan menghadirkan kembali kenangan lama akan masa jaya mereka. Hal ini seperti salah satunya dilakukan grup NTRL yang mengundang pemain drum Gabriel Bimo Sulaksono alias Bimo untuk turut membawakan sejumlah lagu lama mereka.
Lini penampil yang rata-rata kondang pada era 1990-an tersebut mendorong animo penonton untuk tidak sekadar melihat pertunjukan musik, tetapi juga bereuni dengan rekan sebaya sembari merayakan nostalgia.