Mengantar ”Muazin” Kebangsaan ke Era 4.0
Di tengah fragmentasi dan kontestasi politik yang tak jarang menyeret pandangan keagamaan dan kekhawatiran ekstremisme, sekelompok santri muda Nahdlatul Ulama mencoba membangun platform di dunia digital dengan tujuan utama menyebarluaskan Islam yang moderat.
Para ”muazin” kebangsaan dari kalangan pesantren menorehkan sejarah mempertahankan kemerdekaan, 10 November 1945. Peristiwa yang dikenal sebagai Hari Pahlawan itu menjadi momentum mempertahankan keindonesiaan.
Resolusi jihad yang dikeluarkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, pada 22 Oktober 1945, dengan mengatakan, ”Membela Tanah Air dari penjajah hukumnya fardu ain atau wajib bagi individu” menjadi bahan bakar peristiwa 10 November. Semangat ”arek-arek” Surabaya mendapatkan legitimasi moral dan dukungan spiritual kalangan ulama.
Setelah 74 tahun, semangat yang sama masih bersemayam di jiwa santri-santri NU. Kali ini, bukan mengangkat senjata, tetapi berkreasi di ruang-ruang digital, yang tak lebih mudah dibandingkan dulu. Tantangan dan pertarungan menjadikan narasi dan wacana kebangsaan sebagai salah satu palagan di tengah fragmentasi, serta kontestasi politik yang tak jarang menyeret pandangan keagamaan dalam polarisasi dukungan. Ekstremisme di satu sisi jadi kekhawatiran.
Dalam kondisi semacam itu, sekelompok santri muda NU mencoba membangun platform di dunia digital untuk tak mau kalah di era disrupsi digital. Robert Edy Sudarman (30) memulainya bersama dua rekannya, Siti Lusianah (27) dan Aan Kurniawan Saputra (26). Mereka mengenalkan aplikasi GreatEdu kepada para staf di Sekretariat Jenderal Pengurus Besar NU, Kamis (7/11/2019).
”Aplikasi ini merupakan marketplace bagi tutor, guru, dan pemilik keahlian vokasi menyediakan layanan masyarakat. PBNU merupakan sumur atau sumber dari guru-guru, tutor, dan ahli agama, yang bisa bekerja sama dengan kami melayani masyarakat,” kata Robert, putra ulama di Pesantren Baiturrohmah, Way Kanan, Lampung.
Sebagai santri, Robert melihat ada kebutuhan masyarakat atas guru agama, atau guru mengaji, terutama di kalangan perkotaan. Kelompok menengah ke atas ini sedang ”haus-hausnya” ilmu agama, dan bahkan boleh dibilang sangat aktif mencari rujukan otoritatif atas pemahaman agama. Kebutuhan akan guru agama yang tinggi ini berusaha difasilitasi aplikasi yang dirintisnya untuk membantu masyarakat mendapatkan guru atau tutor berkompeten.
Lulusan pesantren NU, menurut Robert, harus mengisi ceruk-ceruk tersebut. Selain mengamalkan ilmu, ulama dan kiai NU melalui aplikasi itu juga akan berpotensi lebih besar menyebarluaskan Islam moderat (Islam wasathiyah). ”NU sangat mengutamakan sanad (garis keilmuan) sehingga jelas runtutan ilmu keagamaan santrinya mengikuti ulama dan keturunan siapa, hingga ke Kanjeng Nabi (Muhammad SAW). Dengan para santrinya bergabung dalam platform pendidikan, mereka bisa diakses luas, demikian pula pandangan keagamaan yang moderat,” katanya.
Robert tak memungkiri munculnya fenomena pemahaman agama yang ekstrem. Hal ini, di satu sisi, berpotensi merusak sendi-sendi kerukunan dan kebangsaan jika sikap mudah menyalahkan orang lain yang berbeda terus dipupuk. Sekalipun bukan merupakan faktor tunggal, pemahaman keagamaan yang dangkal, dogmatis, dan tak terbuka pada perbedaan pemikiran berpotensi seseorang terseret dalam pandangan keagamaan yang ekstrem dan intoleran.
Penelitian Wahid Foundation pada 2017 menunjukkan, masyarakat Indonesia masih tergolong toleran, tetapi ada catatan meningkatnya intoleransi dan kurangnya penghargaan pada kelompok berbeda, termasuk kelompok minoritas. Kajian Wahid Foundation juga menyebutkan salah satu yang memicu intoleransi itu ialah kontestasi politik. Pilkada DKI Jakarta pada 2017, salah satunya. Praktik itu perlu terus direplikasi untuk menumbuhkan narasi kebangsaan yang lebih toleran dan damai. Pandangan moderat beragama pun terus didorong untuk menghindarkan masyarakat majemuk mengalami konflik horizontal.
Untuk mengembangkan pandangan moderat keagamaan, media sosial dipandang sebagai wahana ”dakwah” baru menyebarkan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Fakta ini pun tak ditampik NU, organisasi masyarakat Islam di Indonesia.
Berbekal modal sosial sebagai ormas Islam tradisional, NU punya jaringan jamiyah hingga ke akar rumput. Ulama-ulama kampung, sebagaimana kerap disebutkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, turut membangun karakter bangsa. ”Kalau ada kiai kampung memberikan nasihat agar sesama warga tak perlu berselisih atau bertengkar, kelihatannya sederhana, tetapi itu sesungguhnya dia melakukan pendidikan karakter,” katanya.
Jaringan kultural dan spiritual yang berusaha terus dirawat lewat pengajian, tahlilan (pembacaan kalimat tauhid), yasinan (pembacaan Surat Yasin), tambah Said, adalah praktik keagamaan kalangan ”Islam tradisional”. Sejatinya, itu wahana paling murah menjalin kohesivitas sosial. Dengan momen itu, bertegur sapa, lalu berdoa dan memakan ”berkat”, makanan, simbol rasa syukur. ”Kegiatan-kegiatan itu sesungguhnya sarana penyelesaian konflik, dan upaya menjalin relasi sosial antarwarga,” kata Said.
Relasi sosial perkotaan
Di kawasan perkotaan dengan kesibukan padat, kerap kali kegiatan semacam itu sulit muncul. Orang jadi tak saling kenal. Praktik-praktik sederhana, yang tradisional dan kultural tumbuh di kalangan akar rumput, tak lagi mudah ditemui di perkotaan. Medsos yang jadi sarana komunikasi justru tumbuh jadi jembatan.
Di sisi lain, keinginan orang untuk belajar agama kian menggebu. ”Permintaan terhadap guru mengaji sangat tinggi. Melalui platform ini, kami harapkan kebutuhan pasar bisa dipenuhi karena murid bisa mendapatkan guru agama atau mengaji yang sarat keilmuannya dan kompetensinya bisa dipertanggungjawabkan,” kata Robert.
Dari sisi moderasi pemahaman beragama, platform semacam ini tak langsung juga membantu menumbuhkan pandangan beragama yang moderat karena murid bisa bertemu guru agamanya. Murid tak sekadar belajar agama lewat saluran medsos sehingga mereka mendapatkan kesempatan bertanya, berdiskusi, dan berinteraksi. Pertemuan dengan guru pun bisa dijadwalkan di tempat-tempat yang disepakati. Interaksi antara guru agama dan santri atau murid merupakan syarat dasar dari belajar agama yang baik. Belajar agama tak dari medsos akan mengurangi potensi murid terpeleset pada pemahaman intoleran dan ekstrem.
Lusi dan Aan, serta Robert, berlatar belakang NU, punya mimpi membangun perusahaan rintisan yang meneruskan nilai-nilai Islam moderat. Selain menggandeng PBNU, juga ingin menggandeng Muhammadiyah dan organisasi lain.
Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alniezar, mengatakan, kesempatan kerja sama dengan aplikasi pendidikan salah satu sarana yang baik memfasilitasi pembelajar agama dan masyarakat mendapat guru agama. Bagi NU, kolaborasi di dunia digital bernilai positif karena berpotensi menaikkan literasi digital guru dan ulama.
Terkait revolusi 4.0 dan peranan NU dalam zaman digital, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Masduki Baidlowi menegaskan, NU tak boleh tergerus zaman. Nilai-nilai Islam moderat terus digaungkan lewat berbagai platform dan media.
Revolusi digital 4.0 adalah keniscayaan masa kini. Para ulama yang tak lain ”muazin”, sang penyeru panggilan kebaikan bagi bangsa, memanfaatkan fenomena agar tak tergerus, tetapi menjadikannya sarana menjaga lestari kedamaian negeri yang mereka turut perjuangkan.... (Rini Kustiasih)