Pinggiran di Biennale Jogja
Apa pun yang masih diabaikan, itulah batasan makna pinggiran yang ingin diusung penyelenggara Biennale Jogja XV/2019. Meski terabaikan, adakalanya isu pinggiran itu justru menebar ancaman besar bagi kelangsungan hidup manusia pada masa depan.
Sebuah piramida terbuat dari tumpukan sampah plastik berdiri megah di pelataran Jogja National Museum (JNM). Tingginya tidak kurang dari 6 meter. Di bagian tengah piramida terdapat rongga yang mencipta ruang dan ada jalan masuknya. Made Bayak, seniman lulusan Institut seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, menyuguhkan konsep satir piramida dari sampah plastik itu sebagai jejak dan peninggalan manusia kini.
Karya itu diberi judul, Plastiliticum (Celebrating Homo Ludens Foot Print/Merayakan Jejak Homo Ludens). Made Bayak menggedor pintu hati manusia dalam berkebudayaan telah abai terhadap keselamatan lingkungannya.
Lain lagi, seorang aktivis gerakan literasi di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yakni Muhammad Ridwan Alimuddin. Ia berkolaborasi dengan kolektif TacTic Plastic dari Yogyakarta, membangun instalasi seni yang diberi judul, ”Mengandung Plastik”.
Ada seutas tali yang dikaitkan ke sana kemari. Di beberapa titik tali itu digantungkan beberapa potong ikan kering.
Salah satu kurator Jogja Biennale XV, Arham Rahman, Selasa (5/11/2019) siang yang terik, ketika itu mengatakan, ikan itu dibawa dari perairan Mandar di Sulawesi Barat. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai ikan terbang atau ikan tuing-tuing, yang menjadi salah satu menu favorit kuliner di sana.
Tidak hanya daging ikan tuing-tuing yang diburu untuk dikonsumsi. Pada musim tertentu ada panen tahunan telur ikan tuing-tuing. Telur ikan ini menjadi komoditas ekspor. Menurut Arham, harga dari tangan nelayan bisa mencapai Rp 450.000 per kilogram.
Ridwan menyertakan gumpalan butiran telur ikan tuing-tuing itu untuk instalasi seninya. Gumpalan butiran berwarna kuning kecoklatan itu seperti terikat benang putih. Ridwan menebarnya di beberapa bagian instalasinya. Termasuk di bubu atau perangkap ikan yang terbuat dari bambu itu.
”Dari hasil sebuah riset, menunjukkan sebagian ikan terbang dari Mandar saat ini sudah mengandung mikroplastik,” ujar Arham.
Ketika manusia mengonsumsi ikan yang mengandung mikroplastik, muncul kerentanan tubuh terhadap berbagai penyakit. Jika mikroplastik ditemukan pada ikan yang berada di rantai makanan paling dasar, seperti ikan tuing-tuing, ini tidak tertutup kemungkinan terdapat pula pada jenis ikan besar yang berada di rantai makanan berikutnya. Ini ancaman serius.
Tikar plastik
Masih di seputar plastik. Seniman peserta Biennale Jogja lainnya, Popok Tri Wahyudi, menyuguhkan bermacam gambar dekoratif dari hasil sulaman tali rafia di selembar tikar plastik. Corak atau motif sulamannya beraneka, seperti figur patung penjaga gerbang candi, gambar orang memanah, dan pemandangan gunung. Popok Tri Wahyudi juga merajut tali rafia untuk membentuk lembaran dekoratif.
Beberapa di antaranya dibuat mengikuti bentuk manusia separuh badan. Di situ ada hiasan motif. Popok Tri Wahyudi melahirkan karya tak ubahnya seperti lukisan. Menurut Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika, seniman Popok merespons isu pinggiran untuk menciptakan karya seni rupa dengan media yang tidak konvensional.
”Tali rafia dan tikar plastik ini media seni rupa temporer yang memiliki usia tidak terlalu panjang karena mudah rapuh,” ujar Alia.
Popok Tri Wahyudi merespons isu pinggiran dengan media seni rupa yang selama ini diabaikan. Ia menyinggung pijakannya dalam berkarya adalah falsafah Jawa, ”sedulur papat, lima pancer”. Ini bermakna, di tubuh manusia ada empat unsur alam dan yang ke lima adalah jiwa yang menjadi pusatnya. Jiwa itu mampu mengontrol segala sesuatunya.
Di sinilah titik kritis Popok Tri Wahyudi yang ingin mengingatkan manusia sebagai sentral kebudayaan. Manusia semestinya mampu mengontrol diri dan lingkungannya demi kebaikan, termasuk mengontrol plastik yang makin mencemari kehidupan di darat dan di laut.
Karya Popok ini ditampilkan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Menurut Alia, Biennale Jogja ke-15 tahun ini diikuti 33 seniman dari Tanah Air dan 19 seniman dari wilayah Asia Tenggara.
Pameran karya dilangsungkan selama 40 hari, 20 Oktober-30 November 2019. Lokasi pamerannya di Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, dan Ketandan 17.
Tim kurator Biennale Jogja meliputi Arham, Akiq AW, dan Penwadee Nophaket asal Thailand. Mereka menyusun catatan kuratorial yang diberi judul, ”Usaha untuk Mengartikulasikan yang Pinggiran di Asia Tenggara”.
Tema resmi yang diusung, ”Do We Live in The Same Playground?” Tema ini sebagai upaya mempertanyakan ruang hidup bersama, tetapi masih saja ada yang diabaikan atau dipinggirkan.
Kurator Penwadee Nophaket mengungakapkan, saat membicarakan tentang kaum pinggiran, pokok bahasan utamanya adalah relasi kuasa. Ada pihak yang begitu kuat di satu sisi. Di sisi lainnya terdapat kelompok orang yang tersudutkan. Kondisi ini terjadi di beberapa tempat. Cara berdialektika dari mereka yang tersudutkan ini menjadi hal yang menarik untuk disoroti.
Sementara itu, Alia Swastika mengatakan, ”Kalau bicara perspektif pinggiran, dalam konteks geopolitik atau geografi, bagaimana pusat kesenian tidak selalu di kota besar. Mungkin di Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, Saigon, dan Hanoi, itu di kota-kota besar yang disebut pusat. Biennale kali ini kita ingin melihat apa yang terjadi di pinggiran. Itu dimanifestasikan lewat program residensi kelana. Jadi, upaya melihat kembali seniman-seniman dan praktik kebudayaan di wilayah lain.”
Serpihan tripleks
Alia Swastika menunjukkan representasi media pinggiran lainnya digunakan seniman Wisnu Ajitama, lulusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Yogyakarta. Wisnu memanfaatkan serpihan tripleks dari bedeng-bedeng usang tempat tinggal kaum marjinal perkotaan atau tukang-tukang suatu proyek di perkotaan.
Serpihan tripleks itu dikumpulkan dan digunakan untuk membuat instalasi seni berukuran besar, dengan konsep menyerupai usus dua belas jari. Bangunan instalasinya menyerupai lorong-lorong pipa yang menembus dinding-dinding beton. Usus di dalam perut menjadi cerminan masyarakat pinggiran yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu makan.
Perupa Nasirun lain lagi. Ia menyuguhkan beberapa lukisan yang dikenal sebagai lukisan ”girlan” alias pinggir jalan. Lukisan yang dimaksud, lukisan pemandangan yang telah menjadi lukisan pasaran. Nasirun menambahkan sedikit goresan di atas beberapa lukisan ”girlan” itu.
Seniman dari Kamboja, Anida Yoeu Ali, menyuguhkan tarian dengan gaun menjuntai menutup sebidang tanah di sawah. Melalui tarian yang disuguhkan ke dalam video ini, Anida mengkritisi ruang pameran eksklusif ”white cube” atau kubus putih.
Seniman Ling Quisumbing asal Manila, Filipina, menyuguhkan instalasi ruang perpustakaan. Namun, koleksi bukunya digantikan dengan sepotong kayu yang dibuat menjadi mirip buku. Ternyata potongan-potongan kayu yang dibentuk buku itu memiliki narasi tersendiri.
Ling mengumpulkan potongan-potongan kayu itu dari bongkaran bangunan-bangunan bersejarah atau tradisional di beberapa tempat, termasuk dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, ataupun dari tempat asalnya.
Tampilan karya seni lain tidak kalah serunya. Karya-karya dari isu pinggiran di Biennale Jogja memberi nilai reflektif.