Media massa berperan penting merawat identitas bangsa. Pada era prakemerdekaan, para pejuang menggunakan surat kabar untuk menyebarkan ide yang membangun fondasi identitas dan imaji keindonesiaan.
Sebelum Indonesia merdeka, media massa merupakan sarana untuk menumbuhkan kesadaran identitas sebagai sebuah negara-bangsa. Sebagian pejuang dan pahlawan pada era itu juga menggunakan media massa untuk membangun imajinasi sebagai satu bangsa yang sama.
Kesadaran kolektif ini awalnya ditumbuhkan melalui penggunaan bahasa Melayu di surat kabar. Tahun 1861 hingga 1907, ada 33 media berbahasa Melayu yang tersebar di 12 kota, seperti Surabaya, Jawa Timur; Surakarta, Jawa Tengah; Padang, Sumatera Barat; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Manado, Sulawesi Utara (Surjomihardjo dkk, 2002).
Melalui bahasa, media massa kala itu mencoba menggugah semangat persatuan dari orang- orang yang tinggal di sejumlah daerah. Tjaja Hindia, misalnya, sejak terbit di Tangerang pada Juli 1911 kerap mengingatkan pentingnya bahasa sebagai alat untuk mengenal suku bangsa lainnya.
Selain bahasa, semangat untuk memunculkan identitas sebagai sebuah bangsa juga ditonjolkan oleh media lainnya melalui corak yang beragam, seperti yang dilakukan Soeloeh Keadilan. Sejak April 1907, koran besutan Tirto Adhi Soerjo ini menampilkan artikel berupa kritikan kepada hukum ala pemerintah Hindia Belanda yang dinilai menindas rakyat. Pendekatan kritis yang digunakan sekaligus meneguhkan semangat antikolonialisme (Yuliantri, 2007).
Gagasan persatuan
Semangat memunculkan identitas bangsa pada akhirnya bermuara pada kemerdekaan Indonesia. Perjuangan tokoh pers kala itu ternyata masih menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat saat ini. Hal ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 6-7 November 2019. Nama-nama seperti Tirto Adhi Soerjo dan Rosihan Anwar muncul di benak publik sebagai pahlawan dari media massa pada era prakemerdekaan.
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan publik berharap gagasan persatuan dan kesatuan yang sudah digaungkan melalui media massa sejak lebih dari satu abad lalu terus disuarakan.
Hampir semua responden (94,4 persen) menilai bahwa media massa harus berperan dalam menjaga persatuan bangsa. Jika di era sebelum kemerdekaan media massa berperan membentuk identitas bangsa, tugas media saat ini adalah merawat identitas itu melalui semangat persatuan dan toleransi.
Publik menilai, merawat identitas bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa di antaranya ialah menyampaikan informasi yang menyejukkan masyarakat dan tidak melakukan praktik adu domba dalam pemberitaan.
Peran media massa untuk merawat identitas bangsa telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini disebutkan, media massa berperan penting dalam menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, menghormati kebinekaan, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dari sejumlah peran yang harus dilakukan, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran adalah hal utama yang menurut publik harus ditonjolkan media massa. Sebanyak tujuh dari 10 responden menilai bahwa media massa harus terus memperjuangkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dilakukan media di era prakemerdekaan.
Narasi kepahlawanan
Media massa juga perlu menonjolkan sisi humanis dalam konten yang disajikan, salah satunya dengan cara menampilkan kisah kepahlawanan. Sebanyak 83,1 persen responden beranggapan bahwa kisah kepahlawanan perlu ditampilkan sebagai pembelajaran bagi masyarakat luas.
Sebanyak tiga dari empat responden menilai bahwa pahlawan identik dengan perjuangan dan pengorbanan. Artinya, kisah kepahlawanan tentang perjuangan dan pengorbanan dari beragam lapisan masyarakat perlu ditonjolkan media massa sebagai pengingat masih adanya sosok pahlawan di tengah masyarakat saat ini.
Namun, narasi kepahlawanan dalam wujud gagasan persatuan dan kesatuan yang telah lama digaungkan media kini terancam oleh peredaran kabar bohong atau hoaks. Lebih dari separuh responden khawatir bahwa hoaks akan menjadi bagian dari perkembangan media massa saat ini.
Penyebaran hoaks, yang dikhawatirkan oleh 60,2 persen responden, akan memicu perpecahan bangsa dan negara. Pada lingkup yang lebih kecil, kabar bohong juga dikhawatirkan memicu keributan antarkelompok masyarakat.
Publik juga kian antisipatif terhadap bias informasi yang tersebar di media sosial. Sebanyak dua dari tiga responden mengaku melakukan koreksi saat menerima sebuah informasi di media sosial. Koreksi itu dilakukan dengan beragam cara, utamanya melalui konfirmasi kepada pemberitaan media konvensional (41,9 persen).
Tindakan untuk melakukan konfirmasi informasi melalui media massa, seperti televisi, koran, media daring, dan radio, menandakan bahwa publik masih menaruh harapan kepada media konvensional sebagai penyeimbang arus informasi.
Tindakan ini berbanding lurus dengan keyakinan publik terhadap media massa. Sebanyak 75,8 persen responden meyakini bahwa media massa dapat menjadi alat konfirmasi terhadap kabar hoaks yang menyebar di media sosial.
Pekerjaan rumah
Di tengah kepercayaan publik kepada media konvensional, terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Utamanya adalah pada konten yang disajikan. Publik khawatir, perkembangan media massa akan diikuti oleh menurunnya kualitas berita. Konten yang disajikan dikhawatirkan oleh publik tidak lagi dapat mencerdaskan masyarakat dan berdampak pada perpecahan.
Namun, di balik kekhawatiran ini, sebanyak 70 persen responden menilai media massa memiliki citra yang baik. Kepercayaan publik ini tentu menjadi modal sosial bagi media massa untuk terus memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat. Media massa juga perlu tetap melaksanakan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, sesuai dengan amanat Undang-Undang Pers.
Jiwa zaman atau zeitgeist yang dihadapi media saat ini tentu berbeda dibandingkan dengan media era prakemerdekaan. Namun, nilai persatuan, kesatuan, dan toleransi tetap perlu terus disuarakan untuk merawat identitas bangsa, seperti yang juga diperjuangkan oleh para tokoh praktisi media massa di Indonesia lebih dari satu abad silam.(Dedy Afrianto/Litbang Kompas)