Gempa bumi beruntun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah pengingat. Bagi sebagian orang, kejadian itu menyisakan pilu. Namun, hal itu menghalangi sejumlah warga mengabadikan momen itu sebagai nama buah hatinya.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
Bagi sebagian orang, gempa bumi beruntun Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah pengingat, salah satunya akan kejadian dahsyat nan pilu. Namun, hal itu tak menghalangi sejumlah warga mengabadikan momen itu sebagai nama buah hati. Ke depan, mereka berharap pemerintah memperhatikan nasib ibu-ibu hamil hingga mereka membesarkan anak-anak di tengah suasana bencana.
Trauma mulai reda dari wajah Ana (35), warga Dusun Baret Desa, Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Dia mulai kembali beraktivitas. Namun, kali ini, tanggung jawabnya ganda. Ada Muhammad Alihter (1,6 tahun), yang harus diasuhnya.
Nama Alihter jelas tak biasa. Bisa jadi hanya dia yang punya nama itu atau setidaknya punya sejarah nama yang sama di baliknya. Ana mengatakan, Alihter diambil dari istilah skala Richter, salah satu indikator pengukur kekuatan gempa.
Alihter lahir pada Rabu (31/7/2018) pagi atau dua hari setelah gempa bermagnitudo 6,4 mengguncang Pulau Lombok. Kecamatan Sembalun, adalah salah satu kawasan terdampak parah. Banyak rumah dan kantor yang rusak digoyang gempa.
”Saat kejadian, saya mengungsi di Kantor Camat Sembalun. Waktu itu, saya tinggal menunggu hari melahirkan. Saya bingung, panik, dan tidak tenang,” kata Ana.
Hari yang diprakirakan pun tiba. Perempuan buruh tani ini kemudian melahirkan bayinya dengan selamat di bawah tenda pengungsian dibantu, antara lain, beberapa perawat warga negara asing.
Atas saran beberapa perawat, Ana, suaminya dan keluarganya sepakat memberikan nama lengkap bayinya Muhammad Alihter. Nama itu diberikan sebagai pengingat dirinya yang menjalani proses persalinan di bawah tekanan mental khawatir terjadi gempa susulan.
”Selain jadi pengingat gempa, mudah-mudah, anak kami kelak memiliki ahlak terpuji sesuai nama depannya,” ujar Ana.
Jannatul Laskia (23), warga Dusun Baret Desa, Desa Sembalun Lawang, juga pernah mengalami hal sama. Dia bahkan bersalin lebih dari waktu yang ditentukan. Dari prakiraan semula 22 November 2018, Laskia melahirkan pada 11 Agutus 2018, pukul 19.15 Wita.
”Saya trauma gempa. Mungkin itu yang membuat saya melahirkan lebih cepat,” ujarnya.
Tiga hari sebelum melahirkan, gempa magnitudo 6,9 membuatnya ketakutan. Saat itu, Jannatul sedang shalat Isa di tenda pengungsian Kantor Camat Sembalun yang dijadikan Puskesmas Darurat.
Saya trauma gempa. Mungkin itu yang membuat saya melahirkan lebih cepat
”Masuk rakaat kedua, selagi membaca surah Al Fatihah, tiba-tiba gempa, Saya jatuh karena kerasnya guncangan gempa. Lutut ini agak lebam akibat terjatuh. Alhamdulillah, bayi saya tidak apa-apa,” katanya.
Proses persalinan Laskia berjalan di bawah tenda pengungsian. Bayinya lahir dengan sehat. Atas saran ustaz di kampungnya, bayi itu diberi nama Fayyad Zalzala Richter. Kurang lebih, nama itu berarti anak yang pernah terkena guncangan keras, tapi tetap baik, dermawan, hingga murah hati.
Akan tetapi, kondisi kesehatan Fayyad masih butuh banyak perhatian. Sembilan bulan mengungsi ke berbagai tempat, termasuk di tengah sawah, Fayyad harus rutin dibawa ke posyandu untuk mendapat makanan tambahan. Dia juga butuh pengobatan intensif karena menderita infeksi saluran pernapasan akut.
Ada lagi Zalfiah (27), warga Dusun Jelateng, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, juga melahirkan anaknya di tenda pengungsian. Proses kelahiran yang terjadi enam hari setelah gempa itu magnituro 6,5 itu dilakukan dengan operasi sesar. Zalfiah memberikan nama anaknya Gempita Alesya Zahra.
Ke depan, semua mimpi orangtua penyintas bencana itu serupa. Mereka tak ingin bencana alam kembali menguji ibu yang tengah mengandung. Saat semua unsur mitigasi berjalan dengan baik, baik saat bencana maupun tidak, ibu hamil bisa mendapatkan perhatian yang sama.
Selain sebelum melahirkan, proses pasca-melahirkan juga harusnya diperhatikan. Membesarkan anak di tengah suasana dan kondisi bencana alam jelas bukan pilihan yang baik untuk masa depan penerus bangsa itu. Membesarkan anak di tenda sempit atau pematang sawah jelas bukan pilihan yang ideal.