Soal Desa Fiktif, Kemendagri Akui Tak Ada Verifikasi Faktual
›
Soal Desa Fiktif, Kemendagri...
Iklan
Soal Desa Fiktif, Kemendagri Akui Tak Ada Verifikasi Faktual
Kementerian Dalam Negeri mengakui proses verifikasi pembentukan desa diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing. Pemerintah pusat tidak mengecek ke lapangan seluruh pembentukan desa baru.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri enggan disalahkan atas persoalan dugaan adanya desa fiktif penerima alokasi dana desa. Kementerian menyalahkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tempat desa berada karena lemahnya pengecekan dan tidak melakukan verifikasi faktual.
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan, di Jakarta, Selasa (12/11/2019), mengatakan, selama ini Kemendagri sebatas memverifikasi dokumen pengajuan pemekaran desa dari pemerintah kabupaten yang telah lolos proses verifikasi oleh pemerintah provinsi. Selama dokumen yang diajukan itu memenuhi syarat, Kemendagri akan memberikan kode dan data wilayah desa.
Tidak ada verifikasi faktual atau pengecekan langsung ke desa baru itu selama proses verifikasi administrasi. Alasannya, hal itu tak memungkinkan untuk dilakukan.
”Kita, kan, ada 74.000 desa. Kalau turun semua ke desa, ya, tidak bisa seperti itu. Apalagi, kan, ada banyak usulan pemekaran desa,” kata Nata di Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Dengan demikian, proses verifikasi faktual seharusnya sudah dilakukan pemerintah kabupaten ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saat menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) pembentukan desa baru.
Kemudian, ketika raperda sudah disahkan, pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat bertugas mengecek. Jadi, jika ditemukan persoalan, seperti dugaan desa fiktif, artinya pengecekan dan pengawasan oleh pemerintah provinsi tak berjalan baik.
Persoalan desa fiktif muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutnya di DPR, beberapa hari lalu. Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, terungkap ada 34 desa bermasalah. Di 31 desa, meskipun keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur sebelum kebijakan moratorium pembentukan desa dari Kemendagri. Adapun tiga desa lainnya fiktif.
Dari hasil pengecekan sementara tim Kemendagri yang ke Konawe, menurut Nata, secara mekanisme, pengajuan pencatatan desa oleh Pemerintah Kabupaten Konawe dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sudah benar.
Namun, isi dari perda itu masih akan diteliti kebenarannya bersama perwakilan pemerintah kabupaten, provinsi, perwakilan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Polri.
Jika kelak ditemukan tindak pidana di dalamnya, aparat penegak hukum akan mengusutnya. Namun, jika yang ditemukan kekeliruan administrasi, Kemendagri bisa mencabut keberadaan desa itu. ”Kalau secara administrasi ada yang keliru, kami yakinkan desa itu akan kami cabut,” kata Nata.
Hingga kini, tim dari Kemendagri masih berada di Konawe untuk menyelidiki keberadaan sejumlah desa yang diduga bermasalah. Hasilnya akan dipublikasikan pada Jumat (15/11/2019).
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah kembali menyampaikan, lembaganya siap membantu kepolisian dalam mengusut dugaan korupsi dalam penyaluran dana desa di Konawe.
KPK berharap persoalan dugaan desa fiktif di Konawe tersebut mendorong pemerintah melihat kondisi di desa lain. Ini penting agar penyaluran dana desa betul-betul tepat sasaran.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, juga mendorong investigasi menyeluruh. Dari hasil investigasi itu, pemerintah bisa memperketat pengawasan penyaluran dana desa.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia yang juga mendorong pemerintah untuk melakukan investigasi menyeluruh mengatakan, tidak tertutup kemungkinan persoalan di Konawe terjadi pula di daerah lain.
Komisi II DPR akan memanggil Kemendagri untuk menggali persoalan dugaan desa fiktif tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasodjo mengusulkan penguatan fungsi pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Penguatan diarahkan untuk memperkuat fungsi pengawasan pemerintah provinsi atas pemerintah kabupaten/kota.