Komisi Pemilihan Umum menyatakan tetap konsisten memasukkan larangan bagi bekas narapidana tindak perkara korupsi dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menyatakan tetap konsisten memasukkan larangan bagi bekas narapidana tindak perkara korupsi dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU. KPU akan mengirimkan draf PKPU ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pekan depan.
”KPU masih konsisten untuk memasukkan larangan bagi mantan napi korupsi (dan bandar narkoba serta pelaku kejahatan seksual terhadap anak) ke dalam rancangan PKPU kita. Mudah-mudahan minggu depan kami bisa masukkan draf PKPU ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham),” ujar anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Melalui rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (11/11/2019), Pramono menyampaikan, ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung gagasan KPU. Khususnya gagasan terkait pelarangan bekas napi korupsi maju dalam pilkada.
Pilkada Serentak 2020 akan digelar di 270 daerah. KPU bertekad meningkatkan kualitas kepala daerah terpilih melalui aturan larangan bekas napi korupsi maju sebagai calon kepala daerah.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mendukung sikap KPU untuk tetap melarang bekas napi korupsi maju dalam kontestasi politik. Terlebih, sudah ada novum atau bukti baru terkait kasus korupsi yang menjerat kepala daerah.
Bupati Kudus M Tamzil menjadi contoh nyata. Tamzil terjerat perkara korupsi saat menjabat periode 2003-2008. Pada saat itu, Tamzil terbukti melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tahun 2004, yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus. Setelah menjalani masa hukuman pidana 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp 100 juta, Tamzil kembali bebas.
Pada 2018, Tamzil kembali terpilih sebagai Bupati Kudus. Namun, pada 26 Juli 2019, Tamzil tertangkap tangan oleh KPK dan ditetapkan sebagai tersangka terkait transaksi jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.
”Ruang publik itu ruang yang sakral sehingga siapa pun yang masuk, harus dipastikan memiliki etika dan moral yang baik,” ujar Mardani.
Memang dalam rapat tersebut Komisi II DPR meminta KPU tidak menciptakan norma dalam PKPU yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Khususnya tentang larangan pencalonan bekas napi korupsi.
Dalam Pasal 7 Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ditetapkan bahwa seorang bekas napi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah asal telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik rekam jejaknya.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2002 ada 122 kepala daerah yang diproses KPK, 49 orang di antaranya dari kegiatan tangkap tangan atau 40,2 persen. Selain melalui tangkap tangan, KPK juga menetapkan tersangka lewat pengembangan kasus.
Prasangka baik
Pramono menyampaikan, setelah rapat dengan Komisi II DPR, KPU memerlukan waktu untuk merapikan rancangan PKPU. Persiapan ini juga termasuk untuk memasukkan usulan yang muncul selama rapat atau mencoret ketentuan-ketentuan yang memang disepakati selama rapat Komisi II DPR.
”Nanti di Kemenkumham akan dilakukan proses harmonisasi sebelum diundangkan. Tentu draf yang akan kami ajukan masih mengatur soal larangan bagi mantan napi koruptor tersebut,” ujar Pramono.
Dalam prosesnya, KPU tetap berprasangka baik, yakni sikap Kemenkumham akan sama dengan KPU dalam hal pengaturan larangan bagi bekas napi korupsi. Sebelumnya, memang saat menyusun PKPU Pencalonan dalam Pemilihan Legislatif, KPU dan Kemenkumham sempat berbeda pendapat karena KPU mengatur larangan itu sebagai syarat tambahan bagi calon.
”Tapi, akhirnya disepakati bahwa pengaturan tersebut menjadi syarat pencalonan sehingga yang dilarang adalah partai politik untuk mencalonkan bekas napi korupsi. Mudah-mudahan nanti juga akan dicapai kata sepakat bagaimana pengaturan soal ini dalam PKPU Pencalonan Pilkada,” ucap Pramono.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola menyampaikan, larangan bekas napi korupsi maju dalam pilkada seharusnya menjadi semangat bersama untuk memberikan pilihan terbaik bagi rakyat. Bahwa ada kepastian latar belakang para calon kepala daerahnya bersih dari kasus korupsi.
Meski begitu, kata Alwan, pendekatan yang digunakan jangan menggunakan pendekatan reaksional. Artinya, meski ada larangan bekas napi korupsi untuk maju pilkada, dari partai politik tetap memproduksi bahkan mengusung bekas napi korupsi untuk mengikuti kontestasi.
”Nah, kalau begini, kan, menjadi persoalan hulu dan hilir tidak bertemu. Maka, kita juga berharap selain peraturan yang dibangun dalam PKPU untuk melarang bekas napi korupsi, parpol juga seharusnya lebih selektif dalam mengusung,” kata Alwan.
Namun, jika memang tetap diizinkan bagi bekas napi korupsi maju dalam pilkada, harus ada sanksi sosial, setidaknya dengan menempelkan nama-nama calon kepala daerah yang sebelumnya pernah menjadi napi korupsi. ”Ini penting untuk memberikan informasi yang jelas bagi pemilih,” ucap Alwan.