”Sihir” Beong, Primadona Ikan Kali Progo
Beong, ikan dari Kali Progo yang melintasi lembah Perbukitan Menoreh, Jawa Tengah, belakangan kian tenar. Dari sekadar jenis ikan air tawar, beong berkembang menjadi merek. Olahannya menjadi komoditas ekonomi baru di sekitar Candi Borobudur.
”Saya baru nyoba bikin resep baru. Beong bakar dan pepes beong. Sebentar saya ambilkan, ya, gratis. Nanti tolong diberi masukan,” ucap Sari Wahyuningsih (37) sambil berlalu ke dapur. Dia baru menyajikan menu mangut beong dan belut di salah satu meja warung Mangut Pintjoek di Desa Pagersari, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Rabu (16/10/2019).
Sejenak, Sari kembali membawa dua menu yang dijanjikan. Dua resep unik beong, mengingat hampir semua sajian ikan sungai ini diolah dengan teknik memasak mangut. ”Saya juga mau nambah menu beong goreng. Sudah ketemu caranya supaya tidak langu dan amis,” kata Sari.
Sari membuka warung yang terletak sekitar 2 kilometer arah timur pertigaan Blabak tersebut sembilan bulan terakhir. Ia tak menampik ikut membuka warung karena popularitas kuliner ikan beong yang tengah naik daun. Namun, ia ingin sedikit berbeda dengan menyajikan makanan di atas pincuk daun pisang.
Selain beong, Sari mencoba mengolah sejumlah ikan air tawar lain, seperti tombro, melem, palung, mangur, bader, balar, tawes, hingga jeler. Menurut dia, Kali Progo dan Elo yang melintasi Magelang merupakan habitat beragam ikan air tawar. ”Bukan hanya beong. Saya juga ingin mengenalkan ikan-ikan air tawar lain, tapi bintang utama memang beong,” katanya.
Hal serupa dilakukan Endang Setyorini (43), pemilik Warung Mangut Beong Borobudur Asli di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur. Meski sudah mengenal beong lebih dari 10 tahun lalu, ia baru membuka warung sejak tiga tahun terakhir, seiring ”demam beong”. ”Semuanya jual. Tidak hanya di warung, saya pun pernah ditawari nasi mangut beong oleh pedagang nasi bungkus di Pasar Borobudur,” ujarnya.
Karena permintaan beong dari pedagang dan pemilik warung meningkat, Endang maklum ketika pasokan beong tak sebanyak dan selancar saat ia memulai usaha. Jika pada musim panen beong 2016 ia bisa menyimpan stok hingga satu ton beong, kini maksimal 60-70 kilogram.
Semakin mahal
Tingginya permintaan membuat harga beong 2-3 tahun terakhir melejit. ”Dulu, beong sangat murah. Kadang sampai dibagi-bagikan. Sekarang harganya paling murah Rp 50.000 per kilogram,” tutur Sari.
Adapun harga mangut beong di warung makan dan restoran berkisar Rp 30.000-Rp 70.000 per porsi. Keterbatasan pasokan beong membuat Endang bersiasat. Dua bulan belakangan, ia menyajikan menu baru, yakni bubur beong yang butuh bahan baku lebih minim.
Tak hanya warung kecil, sejumlah kafe mulai menyuguhkan beong sebagai menu andalan. Setelah berhenti bekerja di Jakarta, Sutikno Setiadi (60) menjalankan Bukit Menoreh Resto and Coffee di Kecamatan Salaman. Di restoran itu, ia suguhkan mangut beong non-MSG. ”Saya berharap, ke depan setiap wisatawan merasa wajib mencicipi beong atau membawanya sebagai oleh-oleh seusai berkunjung ke Magelang,” ujarnya.
Andang Nugroho (42), wisatawan asal Jakarta, mengakui, meski hampir setiap tahun berwisata ke Candi Borobudur, baru tiga tahun terakhir ia mengenal kuliner ikan beong sebagai makanan khas sekitar Borobudur. Ia juga sering berpesan kepada kawan-kawannya yang melancong untuk menikmati mangut beong. ”Sekarang, setiap ke sini, paling tidak harus sekali makan beong. Sudah jadi kekhasan,” ujarnya.
Ikan beong atau baung (Hemibagrus nemurus) memiliki bentuk kepala pipih dan berkumis seperti lele. Siripnya berselaput, bentuk badannya seperti ikan bandeng. Jika sekadar digoreng, daging ikan ini liat dan keras. Untuk itu, banyak warung makan mengolah beong dengan resep mangut, masakan bersantan berbumbu aneka rempah. Dalam rendaman bumbu berkuah, daging ikan beong terasa lembut, nikmat dan sedap.
Purnomo (43), pedagang ikan air tawar di Desa Candirejo, Borobudur, yang 25 tahun berdagang ikan, mengatakan, ikan beong sebenarnya dikenal sejak ia SMP, sekitar 1990. ”Waktu itu, ikan beong dikenal sebagai ikan air tawar yang paling enak dari Kali Progo,” ujarnya.
Ketika itu, ia beserta teman sekolahnya antusias menangkap ikan beong pada malam hari. Penangkapan dengan menebar jala yang dipasangi umpan. Jala dipasang memanjang di tepian batu-batu di sungai dan keesokan harinya beramai-ramai diambil.
Beong KW
Namun, menurut Purnomo, ikan beong awalnya hanya dikenal dan diolah sebagai masakan rumahan. Sekitar 15 tahun lalu, nama beong makin populer setelah salah satu warung makan di Desa Kembanglimus, di Kecamatan Borobudur, mulai memasang menu mangut beong sebagai menu utama. Dengan cita rasa khasnya yang pedas, mangut beong jadi menu yang terkenal dan memiliki banyak peminat.
Bermula dari satu warung tersebut, kini banyak warung dan rumah makan baru bermunculan, berlomba-lomba menawarkan beong. Menu ikan itu bahkan ada di warung dan rumah makan yang sebenarnya tidak secara khusus menawarkan menu ikan.
Seiring lonjakan permintaan, pasokan ikan beong kian sulit diperoleh dari kawasan Borobudur. Dua tahun terakhir, Purnomo terpaksa mendatangkan beong dari Wonogiri, setidaknya tiga kali seminggu. Kendati demikian, pasokan ikan itu tak pernah mencukupi kebutuhan empat rumah makan yang ia pasok.
”Kebutuhan ikan beong untuk setiap rumah makan sekitar 1 kuintal per hari. Kami hanya mampu sediakan beong 12 kilogram per dua hari,” ujarnya. Beong seperti komoditas yang diperebutkan. Bahkan, beberapa rumah makan pernah memintanya memberikan seluruh beong dari para pencari ikan. Mereka siap membayar lebih tinggi. Namun, itu tidak dipenuhi.
Sari membenarkan, sejumlah pedagang memasok ikan beong dari Wonogiri. Namun, ikan yang dikirim berasal dari waduk atau dibudidayakan, bukan ikan sungai. ”Rasanya beda. Saya pernah ditawari juga, tapi saya tolak. Jelas lebih enak ikan beong yang hidup di sungai,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan suplai, beberapa rumah makan mulai mencari alternatif. Salah satunya mengganti ikan patin. Secara fisik, bentuk patin hampir menyerupai beong. Bedanya, beong berkumis panjang. Para pedagang ikan menyebut patin dengan beong londo atau beong KW.
Biasanya, kata Purnomo, beong londo dimasak bersama beong asli. Namun, penikmat fanatik akan tahu itu. ”Pemalsuan” itu setidaknya membuktikan beong telah jadi komoditas berharga yang mengangkat ekonomi warga. (XTI/EGI/GRE)