Kendati pertumbuhan ekonomi China melambat, potensi perdagangan Indonesia-China masih besar. Pemerintah Indonesia terus berupaya mendekati China guna menjaga perdagangan dan Investasi kedua negara.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati pertumbuhan ekonomi China melambat, potensi perdagangan Indonesia-China masih besar. Pemerintah Indonesia terus berupaya mendekati China guna menjaga perdagangan kedua negara, baik secara bilateral maupun melalui kerja sama regional.
Pada triwulan III-2019, ekonomi China tumbuh 6,0 persen. Pertumbuhan ekonomi itu lebih rendah dari periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 6,2 persen. Pertumbuhan pada triwulan III-2019 itu merupakan laju pertumbuhan terlemah pada hampir tiga dekade terakhir.
Kinerja pertumbuhan ekonomi itu berada pada target minimal terbawah Pemerintah China yang berkisar 6 persen-6,5 persen. Perang dagang China dengan Amerika Serikat menjadi penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi itu.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dody Edward, Kamis (14/11/2019), mengatakan, potensi perdagangan Indonesia dengan China masih besar. Pemerintah Indonesia terus menjaga perdagangan dengan negara-negara tujuan ekspor tradisional, termasuk China.
Pada China International Import Expo (CIIE) 2019 di Shanghai, China, pada 5-10 November, Indonesia membukukan nilai transaksi sebesar 4,1 miliar dollar AS atau Rp 5,7 triliun berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia. Transaksi itu berasal dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pembelian produk biji plastik daur ulang, sarang burung walet, oleo chemical (salah satu minyak nabati/hewani), dan batubara.
”Peluang pasar China masih terbuka lebar. Selain itu, nilai tersebut masih ada kemungkinan untuk bertambah,” katanya.
Peluang pasar China masih terbuka lebar. Selain itu, nilai tersebut masih ada kemungkinan untuk bertambah.
Selain itu, lanjut Dody, masih ada potensi transaksi perdagangan produk lain yang ditindaklanjuti. Beberapa di antaranya produk biskuit, kopi, jus, sarang burung walet, dan produk turunan kelapa sawit. Khusus sarang burung walet, Indonesia juga meluncurkan produk turunan sarang burung walet Yan Ty Ty di China.
Produk buatan PT Anugerah Citra Walet Indonesia itu diharapkan dapat menjadi gambaran kualitas produk Indonesia di China. ”Indonesia merupakan pemasok pasar dunia untuk produk sarang burung walet. Dari total pasokan untuk pasar dunia, sekitar 80 persennya diekspor ke China,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Indonesia juga turut menghadiri China Coal Import Summit 2019. Ini menjadi bagian dari upaya Indonesia meningkatkan ekspor batubara ke sejumlah negara, terutama China.
China merupakan tujuan utama ekspor batubara Indonesia. Ekspor batubara Indonesia ke China terus meningkat selama dua tahun terakhir dan berpotensi tumbuh pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2018, ekspor batubara Indonesia ke China sebesar 6 miliar dollar AS atau hampir 25 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia.
”Ekspor batubara Indonesia ke China berpeluang untuk terus ditingkatkan mengingat masih banyak potensi sumber daya yang dapat dikelola. Kami juga membuka peluang bagi investor China untuk menanamkan modal di sektor industri batubara Indonesia,” kata Dody.
Pengusaha batubara Indonesia bersama pengusaha batubara negara-negara produsen batubara turut menandatangani MoU pembelian batubara oleh perusahaan China. Total volume pembelian itu sebesar 82,2 juta ton. Dari total volume tersebut, batubara asal Indonesia tercatat sebanyak 40,56 juta ton dari 19 perusahaan Indonesia.
China merupakan mitra dagang Indonesia selama delapan tahun terakhir. Pada 2018, total perdagangan kedua negara sebesar 72,6 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke China sebesar 27,1 miliar dollar AS. Produk ekspor utama Indonesia ke China adalah gas bumi, batubara, minyak kelapa sawit, dan bubur kayu. Sementara produk impor Indonesia dari China adalah produk elektronik, bawang putih, mesin, besi, dan baja.
Indonesia-Kolombia
Selain menjaga pasar ekspor tradisional, Indonesia juga terus melakukan penetrasi pasar ke negara-negara nontradisional. Salah satunya adalah menjalin kerja sama perdagangan bilateral dengan Kolombia. Kerja sama itu masih dalam tahap studi kelayakan atau penjajakan pendalaman pasar sejumlah produk Indonesia ke Kolombia.
Kesepakatan studi bersama Indonesia-Kolombia itu terjadi dalam Pertemuan Persiapan Perjanjian Perdagangan Masa Depan (Preparatory Meeting of Indonesia-Colombia Future Trade Agreement) Indonesia-Kolombia di Bogota, Kolombia, pada 12 November 2019.
Indonesia diwakili Direktur Perundingan Bilateral Direktorat Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Made Marthini. Perwakilan Kolombia adalah Wakil Menteri Bidang Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Industri, dan Pariwisata Laura Valdivieso Jimenez.
”Studi kelayakan bersama dilakukan untuk menjajaki pendalaman akses pasar untuk sejumlah produk Indonesia ke Kolombia,” kata Made dalam keterangan pers.
Selain itu, lanjut Made, untuk melakukan studi kelayakan bersama, Indonesia dan Kolombia juga menyepakati Kerangka Acuan Kerja (ToR) Studi Kelayakan Bersama. Kedua negara menargetkan Studi Kelayakan Bersama selesai pada Juni 2020.
Hasil studi ini akan memberikan rekomendasi kepada menteri perdagangan Indonesia dan Kolombia untuk proses pembuatan perjanjian dagang. Kerja sama ini merupakan langkah positif dalam rangka membuka pasar tradisional di wilayah Amerika Latin.
Upaya menjaga pasar tradisional dan penetrasi pasar nontradisional itu merupakan salah satu cara memperbaiki defisit neraca perdagangan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-September 2019 defisit sebesar 1,945 miliar dollar AS. Nilai defisit itu memang tidak setinggi periode yang sama pada 2018 yang sebesar 3,815 miliar dollar AS.
Namun, defisit neraca perdagangan itu memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan II-2019, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen, terendah dalam empat tahun terakhir. Adapun sepanjang Januari-September 2019, ekonomi tumbuh 5,04 persen.
Pada triwulan III-2019, pertumbuhan investasi, ekspor, dan konsumsi pemerintah terkontraksi cukup dalam dibandingkan dengan periode yang sama 2018. Secara khusus, ekspor tumbuh melambat dari 8,08 persen pada triwulan III-2018 menjadi 0,02 persen pada triwulan III-2019. Kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto sebesar 18,75 persen.