Sudah Perencanaan Buruk, Tidak Transparan Pula...
Kisruh anggaran janggal DKI Jakarta yang muncul akibat buruknya perencanaan diperparah dengan ketiadaan tranparansi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Keterbukaan justru akan membuat masyarakat turut mengawasi.
Kisruh anggaran DKI Jakarta yang terjadi beberapa pekan belakangan ini menunjukkan hal yang lebih pelik dari sekadar kasus lem aibon dengan alokasi miliaran rupiah. Sebab, perencanaan anggaran yang buruk dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru diperparah dengan ketiadaan transparansi.
Kehebohan anggaran DKI Jakarta berawal dari media sosial. Cuitan dari akun Twitter milik anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PSI, William Aditya Sarana, pada 29 Oktober 2019, membuka temuan anggaran aneh. Salah satunya lem Aica Aibon yang dianggarkan Rp 82,8 miliar dalam rancangan kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara (KUA-PPAS) 2020.
Anggaran dalam sektor Dinas Pendidikan DKI Jakarta itu dianggap tidak wajar. Dengan jumlah anggaran tersebut, pemerintah menyediakan dua kaleng lem aibon untuk setiap murid di Ibu Kota.
Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad menilai, munculnya pos anggaran janggal seperti alokasi lem Aica Aibon tidak akan terjadi jika ada transparansi sejak awal. Masyarakat akan turut mengawal jika ada anggaran yang tidak wajar selama dokumen anggaran diunggah ke situs apbd.jakarta.go.id.
”Misalnya saja zaman Pak Ahok (Gubernur Basuki Tjahaja Purnama). Masyarakat justru ikut mem-backup dia. Jadi, justru eksekutif tidak perlu khawatir karena akan ketahuan nanti di mana anggaran bermasalah dan siapa yang terlibat,” kata Idris, saat ditemui, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Soal Anggaran, Perbaiki Mental Birokrasi
Setelah salah satu mata anggaran janggal diunggah ke medsos, kekisruhan berlanjut. PSI dituding Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Sri Mahendra mengambil dokumen itu dengan cara ilegal. Sebaliknya, PSI membuktikan dokumen itu berasal dari unggahan di situs apbd.jakarta.go.id pada 11 Oktober 2019.
Anggaran semestinya dibuka
Untuk itu, kata Idris, seluruh dokumen anggaran semestinya diunggah di situs sehingga publik dapat mengawasi. Sebagai perbandingan, pada era Basuki dan Djarot Saiful Hidayat, mulai 2015, dokumen rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), rencana KUA-PPAS, dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), selalu diunggah ke situs pemprov. Dokumen anggaran itu bisa dilihat sampai level komponen, bukan hanya di tingkat kegiatan.
Namun, hingga Kamis (14/11//2019), situs apbd.jakarta.go.id yang berisi APBD elektronik DKI Jakarta belum memunculkan dokumen rancangan KUA-PPAS untuk tahun 2020. Padahal, pembahasan KUA-PPAS sudah hampir rampung di tingkat komisi DPRD DKI Jakarta dan segera dibahas dalam Badan Anggaran DPRD. Tidak adanya dokumen di situs membuat masyarakat kesulitan untuk turut mengawasi.
Apalagi, mata anggaran janggal itu tidak hanya lem Aica Aibon. Selain PSI, Fraksi PDI-P juga menemukan ada alokasi anggaran pulpen hingga Rp 633 miliar, tinta printer Rp 258 miliar, kertas F4 sebesar Rp 186,7 miliar di Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan anggaran untuk influencer media sosial sebesar Rp 5 miliar di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Baca juga : Pembahasan KUA-PPAS Belum Memuaskan
Pemprov DKI Jakarta mencoba menjelaskan kejanggalan dalam sejumlah mata anggaran tersebut. Pada Rabu (30/10/2019), Kepala Bappeda DKI Jakarta saat itu Sri Mahendra menyebutkan, alokasi anggaran lem itu merupakan anggaran sementara (dummy). Pos anggaran itu tidak mencerminkan anggaran sesungguhnya sehingga akan diperbaiki.
Dua hari berselang atau Jumat (1/11/2019), Kepala Bappeda DKI Jakarta Sri Mahendra dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Edy Junaedi tiba-tiba mundur dari jabatannya. Hal itu menimbulkan spekulasi karena mereka mundur saat anggaran janggal DKI Jakarta ramai dibicarakan.
Terkait munculnya anggaran janggal itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyalahkan sistem e-budgeting milik gubernur sebelumnya. Menurut Anies, sistem itu masih menoleransi kesalahan manusia. Anies juga membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kesalahan dalam mengunggah anggaran.
Di sisi lain, William Aditya Sarana kini balik menjadi sasaran. Dia diadukan oleh Sugiyanto dari lembaga swadaya masyarakat Maju Kotanya Bahagia Warganya (Mat Bagan) ke Badan Kehormatan DPRD. Tuduhannya melanggar kode etik karena membuat kegaduhan dengan mengunggah anggaran janggal di medsos.
Namun, kondisi itu tidak menyurutkan sejumlah pihak untuk turut mengungkap anggaran janggal Pemprov DKI Jakarta. Selain PSI, terdapat fraksi lain, seperti PDI-P dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), turut mengungkap anggaran yang dianggap janggal di rancangan KUA-PPAS.
Ketika menyisir KUA-PPAS, Fitra menemukan anggaran janggal lain seperti buku folio untuk program wajib belajar sebesar Rp 78,8 miliar, tenis meja Rp 8,9 miliar, jasa petugas penanganan penanggulangan kebakaran di Jakarta Timur Rp 18,9 miliar dan gunting rumput RP 491 juta.
Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan menyebutkan, perbaikan perencanaan anggaran diperlukan dengan adanya anggaran janggal tersebut. Tapi, perbaikan itu jangan lantas membuat informasi e-budgeting ditutup.”Karena itu merupakan akses informasi bagi masyarakat,” ujar Misbah, Kamis (7/11/2019).
Perencanaan
ICW pun menemukan anggaran bermasalah dalam pengadaan lem Aica Aibon. Namun, temuan ICW lebih besar daripada yang diungkapkan oleh PSI. Mereka menemukan 15 pos pengadaan lem aibon sebesar Rp 126 miliar.
Peneliti ICW Almas Sjafrina, mengatakan, komponen dan jumlah anggaran yang kontroversial itu bukan jatuh dari langit. Hal itu seharusnya telah melewati proses perencanaan karena telah masuk ke tahap rancangan KUA-PPAS.
Menurut Almas, perencanaan yang kurang baik menjadi penyebab masalah anggaran ini. ”Kalau perencanaan bagus, di-entry secara baik, ada pengawasan untuk verifikasi entry data, tidak terjadi yang sekarang menjadi polemik,” ujar Almas.
ICW menilai Jakarta perlu memperbaiki transparansi dalam pembahasan anggaran. Sebelumnya, Jakarta dikenal sebagai provinsi yang baik dalam menerapkan prinsip transparansi dengan membuka pembahasan anggaran ke masyarakat pada masa 2015-2019 melalui situs pemprov. Namun, transparansi itu tidak terlihat pada pembahasan anggaran 2020.
”Seharusnya tetap mengedepankan asas transparansi dan terus memperbaiki anggaran saat ini. Dokumen (untuk penelitian ini) tidak didapatkan langsung dari Pemprov DKI, tetapi dari laporan masyarakat,” ucap Almas.
Anggota Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta Fraksi PDI-P, Ima Mahdiah, menilai, anggaran sementara seperti dalam kasus lem Aica Aibon merupakan hal yang biasa. Hal itu juga dilakukan pada zaman gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Bedanya, anggaran sementara hanya digunakan sampai pembahasan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).
”Pak Ahok juga menggunakan anggaran sementara atau yang sekarang disebut dummy, tetapi hanya di tingkat RKPD. Setelah itu dia yang menyisir sampai tingkat komponen sehingga KUA-PPAS sudah jelas semua anggarannya,” kata mantan staf Basuki tersebut.
Baca juga : Perencanaan Anggaran DKI Buruk
Ima menegaskan, keberadaan anggaran sementara di rancangan KUA-PPAS menunjukkan perencanaan yang buruk. Hal tersebut memperlihatkan anggaran tidak disisir sebelum diberikan ke DPRD.
Fraksi PDI-P mendorong Pemprov segera mengunggah rancangan anggaran ke situs. Keterlibatan masyarakat dinilai akan sangat vital dalam mengawasi pembahasan anggaran. Apalagi, anggaran perlu perhatian khusus karena hingga saat ini DKI Jakarta mengalami defisit anggaran.
Menurut Ima, tanpa pengawasan masyarakat, DPRD kurang efektif karena waktu pembahasan anggaran cenderung singkat untuk membahas lebih dari 20.000 mata anggaran . ”Seharusnya buka saja ke publik. Kalau mendukung transparansi tidak perlu insecure. Jangan malah mengalihkan isu dan menyalahkan sistem,” tutur Ima.
Masih mentah
Pendapat berbeda disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta asal Fraksi Partai Gerindra, M Taufik. Menurut dia, tidak ada kewajiban mengunggah rancangan anggaran yang belum final. Anggaran yang masih mentah justru akan menjadi masalah jika diunggah.
”Kan, belum ada pegangan hukumnya justru menurut saya kalau mau mendiskusikan di forum. Saya kira transparansi itu ukurannya seperti apa? Menurut saya, transparansi ukurannya dalam proses pembahasan. Kalau misalkan pimpinan komisi mengatakan rapat ini tertutup, itu boleh diserbu, berbahaya kalau tertutup bisa kongkalikong,” kata Taufik.
Taufik menilai, proses saat ini sudah mengedepankan transparansi. Masyarakat masih bisa terlibat dengan datang ke rapat pembahasan anggaran. Rapat itu terbuka untuk umum.
Sebelumnya, Anies menjelaskan, Pemprov DKI mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kecerdasan sistem. Untuk menyempurnakan itu, Pemprov sedang menyiapkan sistem anggaran baru yang bisa dilihat dan dikomentari masyarakat.
”Nanti publik bukan hanya bisa melihat, melainkan bisa memberi komentar. Ini sudah kami kerjakan. Sistemnya akan mulai digunakan Januari 2020,” ucap Anies.
Krisis
Survei terbaru Populi Center tentang kebijakan Pemprov DKI Jakarta pada Oktober 2019 memperlihatkan masyarakat membutuhkan transparansi yang lebih di era Anies. Survei itu dilakukan kepada 600 responden dengan metode sampel acak bertingkat.
Sebanyak 47 persen responden menilai kebijakan Basuki Tjahaja Purnama yang mengunggah rekaman rapat ke Youtube lebih baik. Sementara keberpihakan Anies yang tidak mengunggah rekaman rapat dengan alasan ingin menghindari perdebatan publik dinilai lebih baik oleh 38 persen responden.
”Survei kebijakan itu dilakukan tanpa nama atau no treatment. Jika dengan nama, hasilnya kebijakan Ahok tetap dinilai lebih baik, dipilih 43 persen dibandingkan dengan Anies yang 40,7 persen,” kata peneliti Populi Center, Nona Evita.
Baca juga: Fitra : Keterbukaan Informasi Anggaran DKI Menurun
Dalam pertanyaan lain, transparansi dan akuntabilitas pemerintah tidak masuk dalam 10 besar kebijakan yang dinilai memuaskan masyarakat. Kedua aspek itu berada di peringkat ke-18 dari 23.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, munculnya mata anggaran janggal pada dokumen rancangan KUA-PPAS DKI Jakarta terjadi akibat tidak matangnya perencanaan. Untuk itu, publik perlu mengawasi sampai anggaran itu kemudian disahkan.
Namun, kisruh soal anggaran janggal itu malah diperparah dengan dihapusnya dokumen rancangan KUA-PPAS dari situs apbd.jakarta.go.id. Artinya, sudah perencanaan buruk, pemerintah malah tidak transparan.
”Jika Gubernur Anies tidak transparan dalam masalah anggaran justru akan merugikan dia sendiri karena rakyat tidak akan membela jika Anies harus berhadapan dengan birokrasi dan politisi saat ada anggaran yang bermasalah,” ujar Robert, Rabu (13/11/2019).
Ketidakterbukaan justru memunculkan spekulasi lain dari persoalan anggaran janggal tersebut. Jika Pemprov DKI Jakarta memiliki semangat untuk membenahi anggaran bersama-sama dengan legislatif dan masyarakat, transparansi semestinya menjadi keharusan.