KPK Tetapkan Penyuap Bupati Cirebon sebagai Tersangka
›
KPK Tetapkan Penyuap Bupati...
Iklan
KPK Tetapkan Penyuap Bupati Cirebon sebagai Tersangka
Penyidik terus mengembangkan perkara suap perizinan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Hasil penyidikan sementara, aparat menetapkan dua tersangka yang diduga sebagai penyuap mantan Bupati Cirebon.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam pengembangan perkara kedua pada perkara suap terkait perizinan dan properti di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dua tersangka yang diduga sebagai penyuap. Kedua tersangka diduga menyuap mantan Bupati Cirebon 2014-2019, Sunjaya Purwadisastra hingga Rp 10,04 miliar.
KPK menemukan sejumlah bukti dugaan penyuapan terhadap Bupati Cirebon terkait perizinan PT Cirebon Energi Prasarana Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2 di Kabupaten Cirebon dan perizinan PT King Properti. Kedua tersangka, yakni General Manager Hyundai Enginering Construction, Herry Jung dan Direktur PT King Properti, Sutikno.
“Dua orang tersangka ini diduga memberi hadiah atau janji kepada SUN selaku Bupati Cirebon Periode 2014-2019 terkait dengan perizinan,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Herry Jung diduga memberi suap sebesar Rp 6,04 miliar kepada Sunjaya terkait dengan perizinan PT Cirebon Energi Prasarana PLTU 2 di Kabupaten Cirebon. Pemberian suap diberikan secara bertahap dan tunai melalui perantara dari janji awal Rp 10 miliar.
Pemberian dilakukan dengan cara membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif dengan PT Milades Indah Mandiri. Dengan begitu, seolah-olah ada pekerjaan jasa konsultasi pekerjaan PLTU 2 dengan kontrak sebesar Rp 10 miliar.
Sementara Sutikno diduga memberi suap sebesar Rp 4 miliar kepada Sunjaya terkait dengan perizinan PT King Properti. Pemberian uang diduga disetorkan secara tunai melalui ajudan Sunjaya pada 21 Desember 2018. “STN (Sutikno) diduga membawa uang secara tunai dari Karawang untuk kemudian disetorkan di Cirebon,” jelas Saut.
Penyidikan pengembangan perkara dilakukan KPK sejak 14 Oktober 2019. Selama proses penyidikan, kata Saut, penyidik telah memeriksa total 32 saksi dengan unsur Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, pejabat di satuan kerja perangkat daerah Kabupaten Cirebon, dan pengusaha.
Kasus ini berawal dari kegiatan tangkap tangan pada 24 Oktober 2018. Saat itu, KPK mengamankan barang bukti uang tunai Rp 116 juta dan bukti setoran ke rekening total Rp 6,4 miliar. Dalam perkara ini, selain Sunjaya, KPK juga menetapkan Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon, Gatot Rachmanto sebagai tersangka dan keduanya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung.
Pengembangan kasus ini juga merupakan pengembangan perkara kedua. Sebelumnya pada 4 Oktober 2019, KPK menetapkan Sunjaya menjadi tersangka dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dengan total penerimaan sekitar Rp 51 miliar.
Saut kembali mengingatkan agar para kepala daerah tidak melakukan korupsi dan menolak segala bentuk pemberian yang berhubungan dengan jabatan. Sikap ini akan membantu kepala daerah untuk dapat memimpin secara profesional dan bebas dari konflik kepentingan atau pengambilan kebijakan karena pengaruh keuntungan pribadi.
“Namun jika masih melakukan korupsi, maka penegakan hukum akan dilakukan secara tegas. Selain itu, KPK juga mengingatkan pada pihak swasta, baik pelaku usaha dalam negeri atau pun korporasi yang terafiliasi dengan perusahaan di luar negeri agar melaksanakan prinsip binis secara bersih dan antikorupsi,” tutur Saut.
Hingga saat ini, data KPK menunjukkanada 122 orang kepala daerah yang diproses KPK, 49 di antaranya dari kegiatan tangkap tangan atau sebesar 40,2 persen. Selain melalui tangkap tangan, KPK juga menetapkan tersangka lewat case building.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi menilai, memang belum ada komitmen penuh dari para kepala daerah yang korupsi untuk memajukan daerahnya. Bukan hal yang mengherankan karena tingginya biaya pemilihan kepala daerah telah membuat “tiket” menjadi mahal.
“Ketika pencalonan, dia (calon kepala daerah) membeli tiket, kemudian dalam proses pemilihan juga masih harus beli tiket untuk membeli suara, belum lagi biaya saksi yang per orang bisa mencapai Rp 200.000. Bayangkan saja jika dibutuhkan 5.000 saksi,” ujar Endi.
Meski begitu, sebenarnya jika ada kemauan dan komitmen elite partai politik, biaya-biaya tersebut tidak diperlukan. Inilah tantangannya bagaimana membuat biaya pilkada menjadi efisien.