Pascagempa Berpotensi Tsunami, Pulau Tifure Putus Komunikasi
›
Pascagempa Berpotensi Tsunami,...
Iklan
Pascagempa Berpotensi Tsunami, Pulau Tifure Putus Komunikasi
Pascagempa berkekuatan M 7,1 yang mengguncang wilayah Maluku Utara dan Sulawesi Utara, Jumat (15/11/2019) pukul 01.17 WIT, komunikasi dengan warga di Pulau Tifure, pulau di tengah Laut Maluku belum tersambung.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pascagempa berkekuatan M 7,1 yang mengguncang sejumlah wilayah Maluku Utara dan Sulawesi Utara pada Jumat (15/11/2019) pukul 01.17 WIT, komunikasi dengan warga di Pulau Tifure belum bisa tersambung. Pulau tersebut berada di tengah Laut Maluku, titik paling dekat dengan pusat gempa yang berada pada koordinat 1.63 Lintang Utara dan 126.39 Bujur Timur. Gempa itu berpotensi menimbulkan tsunami.
Di salah satu pulau terdekat lainnya, yakni Mayau, berdasarkan data sementara, dua orang mengalami luka akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Selain itu, dua rumah milik warga rusak berat, dan delapan rumah rusak sedang. Pendataan di pulau yang terdiri atas empat kelurahan itu hingga kini masih dilakukan relawan bencana dari Gereja Protestan Maluku. Fasilitas umum dan rumah ibadah yang rusak sedang didata.
Pendeta Imel dari Gereja Protestan Maluku yang dihubungi Kompas pada Jumat pagi menuturkan, getaran terasa sangat kuat. ”Kami seperti terlempar. Getarannya sangat kuat selama sekitar 10 detik. Semua orang langsung berlari mencari dataran tinggi karena khawatir terjadi tsunami. Sampai pagi ini masih gempa terus,” katanya.
Mayau dan Tifure merupakan pulau yang berada di tengah Laut Maluku, titik terjadi gempa yang terasa hingga di sebagian wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dua pulau itu masuk Kecamatan Batang Dua, Kota Ternate, Maluku Utara. Dari Ternate, waktu tempuh dengan kapal ke Mayau sekitar 9 jam kemudian ke Tifure sekitar 4 jam.
Menurut Imel, pihaknya belum tersambung dengan warga di Tifure. Di Tifure tidak ada jaringan telekomunikasi. Komunikasi antara warga Tirufe dan Mayau mengandalkan radio single side band (SSB). Di Mayau terdapat empat kelurahan, sedangkan di Tufure terdapat dua kelurahan. ”Kami berharap tim dari Ternate bisa bergerak menggunakan kapal SAR ke Tifure,” katanya.
Komunikasi antara warga Tirufe dan Mayau mengandalkan radio single side band (SSB).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Agus Wibowo, lewat rilis yang diterima Kompas, mengatakan, gempa itu menimbulkan tsunami di sejumlah titik. Gelombang tsunami dengan ketinggian masing-masing 0,06 meter di Kota Ternate dan tsunami dengan ketinggian 0,09 meter di Jailolo terjadi pada waktu bersamaan, yakni 01.43 WIT. Tsunami juga terjadi di Bitung, Sulawesi Utara, dengan ketinggian 0,10 meter.
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ternate, jarak antara titik gempa dengan Pulau Mayau dan Tifure berkisar 30-40 kilometer. Jarak tersebut termasuk paling dekat. Getaran gempa diperkirakan di atas IV MMI. Sebab, di dua titik lainnya, yakni Jailolo yang berjarak 138 kilometer dan Ternate yang berjarak 143 kilometer, getaran terasa hingga III MMI.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ternate Kustoro Hariyatmoko mengatakan, hingga pukul 10.25. WIT telah terjadi 49 kali gempa susulan. Beberapa kali kejadian, getarannya terasa di beberapa titik terdekat. Menurut dia, Laut Maluku merupakan wilayah di Maluku Utara yang sering dilanda gempa.
Menurut catatan Kompas, pada Juni 2016, gempa bermagnitudo 6,6 yang berpusat di Laut Maluku merusak sejumlah bangunan di Pulau Mayau dan Tifure. Tak ada korban jiwa. Minimnya akses telekomunikasi dan transportasi membuat daerah itu terisolasi. Gempa itu tak berpotensi tsunami. Kerusakan bangunan di dua pulau terdiri dari 28 bangunan rusak ringan dan 7 rusak berat.