Demokrasi di Masa Darurat
”Indonesia memasuki darurat terorisme,” kata Ketua DPR Bambang Soesatyo sebagai respons atas bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018. Indonesia juga mengalami ”darurat hoaks” sebelum dan selama Pilpres 2019. Begitu juga ”darurat radikalisme”, ”darurat narkoba”, ”darurat korupsi”, ”darurat bencana”, dan ”darurat farmasi”.
Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: I, April 2019
Tebal: xxx + 326 halaman
ISBN: 978-979-1260-86-2
Sebagai warga negara, betapa mengkhawatirkan hidup dalam keadaan darurat terus-menerus. Padahal, kita tinggal di negara demokrasi konstitusional yang seharusnya melindungi warganya. Mengapa situasi darurat begitu mudah dikumandangkan di negara demokrasi? Apa ada yang salah dengan tata kelola pemerintahan demokratis?
Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben (2019) terbit pada momentum yang tepat. Buku ini merupakan pengembangan dari disertasi Agus Sudibyo untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, pada 9 Desember 2017. Agus menggali kekhawatiran banyak orang atas pemberlakuan ”situasi darurat” di banyak negara demokrasi Barat.
Bertolak dari pemikiran filsuf Italia kontemporer, Giorgio Agamben, ia menguraikan dengan cermat kritik Agamben terhadap praktik kekuasaan rezim demokrasi. Kritiknya menarik untuk disimak karena radikal, aktual, dan tajam.
Bagi Agamben, ada kecenderungan rezim demokrasi membuat keadaan-darurat tampak sebagai hal yang normal, bahkan menjadi fondasi penyelenggaraan kekuasaan. Hal ini berdampak serius. ”Kekuasaan eksekutif dapat mengambil alih wewenang kekuasaan legislatif dan yudikatif untuk menangguhkan hukum positif dan membenarkan tindakan kekerasan” (hlm 7).
Pemikiran Agamben menunjuk pada kandasnya cita-cita ideal rezim demokrasi modern. Alih-alih semakin matang, demokrasi justru tunduk pada ”logika penyelenggaraan kekuasaan dalam keadaan-darurat”. Logika demokrasi seperti ini tidak hanya terjadi pada saat ”krisis politik, namun juga dalam keadaan normal” (hlm 142).
Demokrasi yang seharusnya menegakkan hukum secara adil (non-diskriminatif) justru membenarkan penggunaan kekerasan terhadap warganya. Mereka seakan-akan telanjang dan tanpa perlindungan hukum. Oleh Agamben, warga negara yang terlucuti hak-hak demokratisnya ini disebut Homo sacer. Pada titik ini, negara demokrasi tidak ada bedanya dengan negara totaliter.
Agamben mengamati bahwa negara demokrasi tidak mendorong perluasan ruang publik politis, melainkan pembentukan kemah (camp), ”suatu keadaan di mana individu tanpa perlindungan hukum” (hlm 180). Implikasinya, kekerasan yang dilakukan negara-negara demokrasi terus dibiarkan terjadi sampai sekarang. Misalnya, pada bangsa Kurdi di Turki, Iran, Suriah dan Irak, pada masyarakat Kashmir di India dan Pakistan, pada Muslim Rohingya di perbatasan Myanmar dan Thailand, serta pada warga Ahmadiyah dan penghayat aliran kepercayaan di Indonesia.
Hak asasi manusia
Agamben mengkritik pelembagaan HAM dalam negara demokrasi modern. Baginya, keberadaan instrumen HAM tidak sanggup melindungi nasib terlunta-lunta Homo sacer. Konsep HAM sedemikian universal dan abstrak sehingga justru gagal menjadi payung pelindung bagi individu.
Kampanye pemajuan HAM secara global memang ramai didiskusikan, tetapi efektivitasnya sebagai tameng pelindung individu dari kesewenang-wenangan negara diragukan. Negara demokrasi masih menerapkan kebijakan yang diskriminatif terhadap pengungsi, pencari suaka politik, atau tersangka teroris.
Untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, negara cenderung berlindung di balik argumen ”korbankan nasib sedikit orang demi kebahagiaan lebih banyak orang”. Selain itu, terkait isu kebebasan beragama, berekspresi, dan politik identitas, negara condong bertindak pragmatis. Kaum minoritas dikorbankan demi menghindari gejolak lebih besar dan perlawanan dari kelompok mayoritas.
Lalu, bagaimana posisi etis Agamben berhadapan dengan situasi ”normalisasi keadaan-darurat” ini? Agus mengajukan tesis kritis menanggapi pemikiran Agamben. Menurut dia, keadaan-pengecualian (state-of-exception) bukan sesuatu yang otomatis menjadi normalitas, juga bukan hal yang serta-merta negatif.
Keadaan-pengecualian atau keadaan-darurat dapat dilihat sebagai kritik bagi upaya perwujudan gagasan tentang kebebasan dan demokrasi (hlm 244-245). Persis di sini tesis Agus melampaui pemikiran Agamben.
Demokrasi ”zaman now”
Kritik Agus terhadap pemikiran politik Agamben terangkum dalam empat hal pokok. Pemikiran Agamben terlalu radikal dan jatuh pada perangkap esensialisme berpikir. Ia juga melakukan generalisasi berlebihan tentang aspek negatif pemberlakuan hukum, padahal hukum juga punya aspek positif, yaitu memelihara tatanan.
Selain itu, Agamben juga mengabaikan perkembangan konsep maupun praktik kedaulatan dalam rezim demokrasi sekarang. Terakhir, Agamben kurang gamblang menjelaskan posisi etisnya. Penulis menyoroti kebaruan pemikiran Agamben untuk menganalisis aspek-aspek negara demokrasi kontemporer. Secara khusus, ada tiga asumsi dasar keberlangsungan penyelenggaraan negara yang diperbarui.
Pertama, hubungan asali negara dan warga-negara. Kedua, kapasitas dan keterbatasan hukum untuk melindungi warga negara secara setara dan berkeadilan. Ketiga, hubungan yang identik antara rezim totaliter dan rezim demokratik. Penulis berupaya merevisi pemikiran Agamben agar lebih mencerminkan kenyataan pelaksanaan demokrasi, yang menyangkut empat hal. Pertama, penghargaan atas keberagaman identitas warga negara. Kedua, keadaan-darurat bukan gambaran ajek dari negara demokratis.
Ketiga, pemerintah yang mengatasnamakan demokrasi ”sebaik apa pun” tetap perlu dikritik karena selalu ada potensi berlaku sembrono ketika menerapkan pembagian kekuasaan. Keempat, penentuan diri dan nasib warga negara perlu terus didukung karena itulah perwujudan kebebasan politik. Pemikiran Agamben mengajak pembaca ikut berbela rasa terhadap kelompok minoritas, imigran, dan pengungsi, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia.
Sebagai produk disertasi filsafat, buku ini mensyaratkan daya abstraksi pembaca yang tinggi, paham sejarah maupun tesis-tesis kunci filsafat politik Barat. Tanpa ini, pembaca akan teralienasi dengan istilah-istilah asing yang bertaburan dalam setiap bagian buku. Penulis mengabaikan aspek sejarah dan budaya demokrasi pembentuk bukan hanya negara, melainkan juga identitas keindonesiaan yang khas.
Agamben lahir dan besar dalam tradisi Barat. Padahal, asal-usul kelahiran dan berkembangnya demokrasi di Indonesia lebih kuat dipengaruhi aneka ragam tradisi, budaya, dan kearifan lokal atau local wisdom Nusantara.
Pengaruh agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen, agama-agama asli, ataupun budaya penduduk asli Indonesia, misalnya Jawa, Batak, Minang, Sunda, dan seterusnya, dalam perjalanan sejarah mengkristalisasi menjadi landasan filosofis (philosophische grondslag) khas Indonesia yang oleh Soekarno dinamai Pancasila.
HENDAR PUTRANTO, Alumnus STF Driyarkara; Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara