Menanti Gebrakan Lanjutan
Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti Rp 477,539 miliar dari terpidana perkara korupsi. Pemulihan kerugian negara perlu dioptimalkan dalam pemberantasan korupsi.
JAKARTA, KOMPAS —Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti Rp 477,359 miliar dari terpidana perkara korupsi pengadaan batubara, Kokos Leo Lim. Ini membuat adanya lonjakan capaian Kejaksaan Agung dalam mengeksekusi pembayaran uang pengganti, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Capaian ini bisa menjadi momentum bagi Kejaksaan Agung untuk membuat gebrakan lanjutan dalam mengusut kasus korupsi dan sekaligus untuk memulihkan keuangan negara.
Pada Jumat (15/11/2019) di Kompleks Gedung Kejaksaan Agung RI, di Jakarta, sebanyak 100 plastik berisikan masing- masing 10 bundel uang pecahan Rp 100.000 disusun rapi di atas enam meja kayu. Sebuah papan bertuliskan ”total Rp 477.359.539.000,-” terpasang di atas tumpukan uang itu.
Namun, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin saat memberi keterangan pers menjelaskan, nominal riil dari uang yang dipamerkan itu hanya Rp 100 miliar. Hal ini hanya untuk kepentingan pemberian keterangan pers. Uang Rp 477,359 miliar yang dieksekusi dari Kokos sudah disetorkan ke kas negara oleh jaksa eksekutor.
”Hari ini kami eksekusi uang pengganti ini. Pekan lalu, pidana badannya sudah dilakukan eksekusi ke Lapas Kelas I Cipinang,” kata Burhanuddin.
Eksekusi terhadap Kokos, yang adalah Direktur Utama PT Tansri Madjid Energi, ini dilakukan kejaksaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3318K/Pid.Sus/2019 tanggal 17 Oktober 2019.
Melalui Ketua Majelis Hakim Krisna Harahap dengan Abdul Latief dan Suhadi sebagai hakim anggota, Kokos dijatuhi pidana pokok berupa penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan sesuai dengan tuntutan jaksa. Kemudian ditambah uang pengganti sebesar Rp 477,359 miliar sebagai pidana tambahan.
Tuntutan pidana penjara yang diajukan jaksa dalam perkara ini adalah tuntutan minimal dari penerapan Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dipakai jaksa dalam perkara ini.
Ancaman hukuman dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No 31/1999 adalah pidana penjara selama 4-20 tahun dan denda Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Sementara pada Pasal 2 Ayat (2) disebutkan, pidana mati dapat dijatuhkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
”Sesuai Pasal 2, kita ajukan tuntutan sebagaimana minimal selama 4 tahun. Pertimbangannya karena yang bersangkutan mengembalikan kerugian negara yang dinikmatinya meski melalui upaya asset tracing dan penyitaan saat proses sidang berjalan,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Warih Sadono.
Konsisten
Dari data Kejaksaan Agung, capaian uang pengganti yang diterima pada tahun ini hingga Juni 2019 adalah Rp 82,34 miliar. Dengan tambahan eksekusi Rp 477,359 miliar, capaian kinerja Kejaksaan Agung terkait eksekusi uang pengganti tercatat paling tinggi sejak 2017. Pada 2018, total uang pengganti yang dieksekusi Rp 56,35 miliar, sedangkan pada 2017 mencapai Rp 173 miliar.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berharap capaian itu menjadi momentum bagi kejaksaan untuk membuat gebrakan selanjutnya dalam pemberantasan korupsi.
Fickar juga mengingatkan Kejaksaan Agung agar dapat lebih konsisten dalam menangani kasus korupsi, baik skala besar maupun skala kecil. Komitmen untuk fokus melakukan perampasan aset dengan tujuan mengoptimalkan pengembalian kerugian negara diharapkan terus berlanjut dan tak tebang pilih pada kasus tertentu saja.
Terkait dengan hal itu, Burhanuddin juga menegaskan, dirinya akan segera mengevaluasi kinerja kejaksaan dan menyusun langkah kerja baru. Salah satunya berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi yang juga mengedepankan pengembalian kerugian negara. ”Tentu konsistensi diperlukan. Lewat raker pada Desember nanti akan dirumuskan dengan lebih jelas,” ujar Burhanuddin.
Pengadaan batubara
Perkara Kokos bermula dari proyek pengadaan batubara untuk PT PLN (Persero) yang dilaksanakan perusahaan milik Kokos, PT Tansri Madjid Energi (TME). Proyek senilai Rp 1,4 triliun itu diperoleh Kokos setelah menang tender dari anak usaha PT PLN, yakni PT PLN Batubara. Namun, selama proses pengerjaannya, PT TME tidak menjalankan proyek dengan baik. Hal ini antara lain kuantitas batubara tidak sesuai dengan kontrak perjanjian. Padahal, PT PLN Batubara telah membayar perusahaan Kokos Rp 477,35 miliar yang dilakukan dua tahap, yakni Rp 30 miliar pada 2011 dan sisanya dilunasi pada 2012. Bahkan, diketahui bahwa lahan seluas 9.000 hektar di Muara Enim yang disebut Kokos untuk pengadaan batubara ternyata hanya kebun karet.
Kokos sempat divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pertengahan Juni 2019. Majelis hakim yang diketuai Faisal Hendri menyatakan, Kokos tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Merespons vonis bebas tersebut, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Kasasi kejaksaan dikabulkan MA.
Perlu dioptimalkan
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, menyampaikan, pidana uang pengganti ialah pengembalian hasil kejahatan yang memang bukan hak terpidana. ”Hal ini sama dengan merampas barang hasil pencurian dari seorang pencuri. Jadi, sesungguhnya itu bukan sanksi karena sekadar mengembalikan harta yang diperoleh dari kejahatan. Pidana uang pengganti juga tidak dapat meringankan hukuman pidana,” katanya.
Kendati demikian, ia tetap menilai, penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti perlu dioptimalkan.
”Bukan semata mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh, melainkan juga ditambahkan kewajiban memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan terpidana,” katanya. (IAN/FAI)