Menengok Tuah di Likupang Timur
Tidak mengherankan jika kawasan ekonomi khusus pariwisata dibentuk di Likupang Timur. Keindahan pantai, bukit, dan sabana menyatu dengan keramahan warga. Namun, di manakah peran warga kelak ketika proyek hotel dan resor berdiri di KEK pariwisata?
Biru laut menyambut di Pantai Pulisan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Makin dekat ke daratan, warnanya semakin lembut, bergradasi menjadi turquoise, lalu biru muda. Ombak biru menyapu hamparan pasir putih di pantai lalu menyeretnya kembali ke laut. Lelah perjalanan 58 kilometer dari Manado selama hampir 2 jam terbayar lunas.
Sabtu (9/10/2019) pagi, pantai di Kecamatan Likupang Timur itu berangsur ramai. Warung-warung di tepi pantai bersiap menyambut tamu, tak terkecuali warung milik Ale (35). ”Saya Ale yang hitam manis, soalnya tidak ada orang putih manis,” canda pria itu saat mengenalkan dirinya.
Ale tak segan mempromosikan obyek wisata di desanya, salah satunya Bukit Pulisan. Ketinggian bukit itu menawarkan pemandangan 360 derajat Laut Sulawesi, pantai, serta perbukit batu di sekitarnya ”Pemandangan dari atas indah sekali. Harus naik sendiri ke sana, jangan cuma dengar dari cerita orang lain,” katanya, memotivasi setengah menantang.
Bisa saja ke sana dengan mobil atau sepeda motor. Bahkan, sampai puncak bukit. Namun, perjalanan dengan perahu kayu menuju kaki bukit—ditambah pendakian singkatnya—jauh lebih berkesan. ”Antar-jemput cuma Rp 20.000 per orang,” kata Ale.
Aso, teman Ale, siap mengantar ke kaki Bukit Pulisan. Perahu kayu bercadik sepanjang 4 meter dan lebar 70 sentimeter miliknya telah siaga di tepi pantai. Melihat ada tamu yang akan diantar, beberapa nelayan lain dan dua anak kecil membantu mendorong perahu ke laut. Mesin diesel menyala, kapal melaju. ”Dekat, cuma lima menit perjalanan,” kata Aso.
Rupanya, lokasi kaki Bukit Pulisan jauh lebih indah dari dugaan awal. Setelah lebih dari lima menit perjalanan, perahu Aso menepi di sebuah pantai yang diapit dua bukit. Airnya jernih dan bening, pasirnya putih. Hampir seperti pantai milik pribadi, tiada orang lain di sana.
Di sisi belakang pantai, jalur pendakian ke bukit telah menanti. ”Nanti saya kembali 1,5 jam lagi,” kata Aso, lalu kembali ke Pantai Pulisan.
Pendakian cenderung singkat, hanya sekitar 15 menit. Tantangannya ada pada jalur terjal berbatu serta terik matahari. Namun, keindahan jua yang direngkuh di puncak. Owhh..., sungguh membebaskan.
Hamparan laut biru semakin jernih di pantai. Terumbu karang dan batu di dasar air tampak kebiruan. Pasir putih panati dirindangi pepohonan hijau. Di puncak Bukit Pulisan, warna-warni alam menari, menghiasi pertemuan bukit dan lautnya.
Dari puncak Bukit Pulisan pula, tampak hamparan sabana hijau kekuningan dikelilingi hutan lindung menyambut. Konturnya bergelombang, mengingatkan pada dunia Teletubbies.
Dengan segala kecantikannya, puncak Bukit Pulisan seperti menahbiskan dirinya sendiri menjadi titik wajib swafoto bagi wisatawan. Sayangnya, sabana itu sedang kering karena kemarau panjang. Pun, pepohonan di sekelilingnya. Bahkan, salib kayu di puncak bukit habis terbakar panas matahari.
Ketersediaan listrik
Warung Petrus (64) dan Dortji (63) adalah satu-satunya tujuan berteduh sambil melepas dahaga. Melihat pelanggan, Dortji berhenti memotong sayuran untuk bergabung dengan Petrus, seakan menyambut tamu di rumah sendiri.
Warung mereka buka pagi hingga pukul 19.00 Wita. ”Orang-orang datang buat foto prewedding. Pagi mereka cari sunrise, sore cari sunset. Kalau sudah gelap, pakai lampu sendiri,” kata Dortji.
Bertahun berjualan di puncak, listrik dari genset jadi andalan mereka meski saat ini sedang rusak. Mereka tak ikut menikmati daya dari tiang listrik di dekat warung. ”Di bawah bukit, ada bungalo punya orang Jerman dan punya Sintesa (perusahaan hotel) di tepi pantai. Tiang listrik ini ada setelah itu dibangun,” katanya.
Salah satu bungalo terletak di tepi pantai tujuan perahu Aso tadi. Tiang-tiang kayu yang tersambung memisahkan bungalo itu dari bagian pantai lainnya. Fungsinya sebagai pagar yang tak boleh dilewati warga sekitar ataupun turis.
Tak masalah bagi Petrus dan Dortji. Letak warung mereka yang strategis terus mengalirkan pemasukan. Solar tetap terbeli. Mereka juga menyediakan air di kamar mandi demi kenyamanan turis. Petrus mengatakan, 1.200 liter air dibeli dari Desa Pulisan di bawah bukit dengan biaya kirim Rp 100.000.
Tepat 1,5 jam, Aso menjemput. Kembali di Pantai Pulisan tengah hari, ikan bakar bertabur rica bakar dan tumis kangkung yang gurih menanti di warung Ale.
Pantai semakin ramai. Ratusan orang dewasa dan anak-anak bermain ombak. Tiap pondok bambu heboh dengan keramaiannya masing-masing. Seakan adu keras: ada yang bermusik akustik, memutar lagu disko tanah, ada pula yang menggelar ibadah.
Rupanya, semua amplifier itu dapat berbunyi karena pasokan dari genset. Warung-warung hingga toilet juga mengandalkan genset. Listrik pun kadang ada, kadang tidak.
Mungkinkah ada perubahan jika nanti KEK pariwisata seluas 197,4 hektar terbentuk dari investasi Rp 7,1 triliun?
”Saya dengar, wilayah Pulisan tidak akan dibangun segera. Anggarannya tidak langsung turun. Jadi, kami tidak tahu apa akan ada perubahan,” kata Ale.
Berdasarkan peta rencana PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD), Grup Sintesa) sebagai pengembang KEK pariwisata, wilayah sekitar Pantai Pulisan, Bukit Pulisan, dan Pantai Paal akan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH). Bentuknya tidak akan diubah karena letaknya dekat hutan lindung.
General Manager Sintesa Group I Putu Anom Dharmaya mengatakan, investasi awal Rp 2 triliun pada 2020 hingga tiga tahun berikutnya dikhususkan untuk membangun kawasan saja. PT MPRD juga sudah meneken kerja sama dengan PT PLN untuk meningkatkan pasokan listrik. ”Pasokan dari panel surya di Likupang Timur masih kurang,” katanya.
Tantangan kini
Di tengah RTH dekat Pantai Pulisan akan dibangun kawasan vila, sedangkan pusat komersial di barat. Memang, tak terlihat penginapan sama sekali di sekitar Pantai Pulisan. CasaBaio Resort di Desa Maen adalah yang terdekat.
Pengembangan KEK Likupang seakan sebuah misi mustahil. Area calon KEK, terutama di Desa Pulisan, Marinsow, dan Kinonang, sangat jarang penduduk. Ketimbang permukiman, lebih banyak semak dan pepohonan di kanan dan kiri jalan aspal. Stasiun pengisian bahan bakar untuk umum terdekat pun entah berapa belas kilometer dari calon area KEK.
Sumber air entah berasal dari mana. Sinyal internet hanya sampai 2G, tak cukup kuat untuk membuka peta digital. Putu mengatakan, itu akan diatasi juga lewat kerja sama dengan PDAM, Telkom, hingga PT Perusahaan Gas Negara.
Area rural itu akan disulap menjadi area wisata dengan hotel, vila, dan resor berbasis pelestarian lingkungan. ”Dasarnya sustainable tourism. Menjaga alam, melibatkan masyarakat lokal, dan mengangkat ekonomi daerah,” kata Putu.
Putu melanjutkan, PT MPRD akan mengembangkan desa wisata dan kampung nelayan. Kemampuan masyarakat membuat oleh-oleh serta seni pertunjukan tradisional akan dikembangkan demi menghibur wisatawan. Tantangannya, warga di sana tak punya pusat-pusat kebudayaan.
”Nelayan bisa pakai perahunya untuk mengantar tamu. Seni tradisi akan dikembangkan di desa wisata supaya setiap malam ada pertunjukan. Kami akan gandeng CSR (tanggung jawab sosial korporasi) bank pemerintah untuk mengembangkannya,” katanya.
Rencana pengembangan KEK Likupang membawa angin segar bagi warga. Wati (32), pemilik warung makan ikan bakar dan pom bensin mini di Desa Maen, telah membuktikan keuntungan dari keberadaan CasaBaio Resort yang telah berdiri bertahun-tahun.
”Kalau KEK nanti sudah ada, warung saya bisa lebih ramai. Selama ini, karyawan CasaBaio sering makan di sini. Warga yang pergi ke pantai juga sering mampir. Semoga makin banyak pembeli,” katanya.
Optimisme Wati beralasan. Perkiraan PT MPRD, KEK Likupang akan diisi 7.430 kamar hotel dan resor serta 1.313 vila. Pembangunan penginapan kelas atas itu akan dimulai 2020.
Warga pun berbenah. ”Kepala desa sudah minta warga ikut jaga kebersihan,” katanya.
Dalam 10 tahun, KEK Likupang akan tuntas dan menjanjikan keuntungan bagi warga Kecamatan Likupang, PT MPRD, serta semua investor nantinya. ”Investor sudah ngantre,” kata Putu.
Data Penelitian dan Pengembangan Kompas, jumlah wisatawan mancanegara ke Sulut tumbuh dari 20.074 wisatawan pada 2011 menjadi 122.100 wisatawan pada 2018. Pemasukan sektor akomodasi pada produk domestik regional bruto (PDRB) Rp 115 miliar per tahun.
Bagi Minahasa Utara, sumbangan sektor akomodasi hotel dan restoran bagi PDRB-nya masih sekitar 1 persen. Itu setara Rp 83 miliar dari total PDRB Minahasa Utara sebesar Rp 7,8 triliun. Meski begitu, tren pertumbuhannya baik, sekitar 8,8 persen per tahun.
Pengembangan KEK pariwisata hampir pasti akan kian mendongkrak ekonomi Sulut dan Minahasa Utara. Namun, angka yang fantastis tak selamanya berarti baik, di antaranya jika dikaitkan dengan distribusi kesejahteraan.
Kini, sebagian masyarakat Likupang Timur siap menyambut wisatawan. Jika semua rencana berjalan lancar dan dikelola secara profesional, keindahan alam dan keramahan warga di sana adalah tuah, yang membawa kesejahteraan nyata bagi banyak pihak. Semoga.