Jika semata bertumpu pada penindakan, teroris baru berpotensi terus bermunculan. Maka, pendekatan penegakan hukum perlu diimbangi dengan pendekatan humanis.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan terorisme tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan penegakan hukum. Tanpa diimbangi pendekatan lain, hal itu justru bisa memunculkan teroris baru. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan humanis. Tidak hanya kepada mereka yang telah terpapar radikalisme, tetapi juga keluarga dari para teroris.
Sejak 10 tahun terakhir ada pergeseran target serangan teror dari yang semula kepada musuh dari negara-negara Barat menjadi menyasar polisi. Hal tersebut dianggap janggal lantaran doktrin Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tak secara spesifik menyebut polisi sebagai sasaran.
Pergeseran target itu dipengaruhi anggapan bahwa polisi merupakan musuh yang harus diperangi. Anggapan ini muncul karena selama ini, Detasemen Khusus 88 Antiteror gencar menangkap para pelaku teror. Tindakan penindakan hukum itu lantas memicu retaliasi atau tindakan balasan dari para teroris.
”Sejak 2010, lebih dari 70 persen serangan teroris menyasar aparat polisi dan kantor-kantor polisi. Hanya sekali menyerang tempat peribadatan. Sebagian besar polisi-polisi di jalan raya,” kata pengamat gerakan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak, dalam diskusi bertajuk ”Mengapa Teror pada Polisi Terjadi Lagi?” yang digelar Smart FM dan Populi Center, di Jakarta, Sabtu (16/11/2019).
Zaki menyebut, sebagian besar pelaku teror di Indonesia berkomunikasi dengan NIIS. Sebanyak 80 persennya punya hubungan dengan Jamaah Ansharut Daulah, baik secara struktural maupun fungsional.
Kini, sebagian pelaku teror yang memiliki keterampilan tinggi sudah pergi berperang ke Irak dan Suriah. Adapun tokoh teroris yang berideologi kuat sudah berada di dalam penjara. Yang kemudian tersisa, hanya sempalan-sempalan yang tidak memiliki keterampilan.
Namun, kekosongan ruang yang ditinggalkan oleh para pelaku teror berketerampilan tinggi dan yang telah dipenjara itu membuat para simpatisan ”naik kelas”. Padahal, simpatisan itu dulunya tak begitu kuat dari sisi keterampilan merakit bom dan juga ideologi.
Simpatisan yang naik kelas itu kemudian menjadi ”jihadis” yang menyerang polisi. Naiknya para simpatisan itu, kata Zaki, juga bisa menjelaskan mengapa kecenderungannya kini jenis bom yang diledakkan para pelaku teror rata-rata merupakan bom berdaya ledak rendah.
”Kebanyakan pelakunya satu atau dua orang dengan senjata ala kadarnya. Ini susah dideteksi karena jejaknya hampir tak ada,” ujarnya.
Atas alasan itu pula kini muncul banyak pelaku tunggal atau lone wolf. Menurut Zaki, pelaku tunggal itu sulit diatasi dan dideteksi karena jejaknya hampir tidak ada. Pelaku tunggal itu menyasar titik-titik yang dianggap lemah dan kurang diantisipasi polisi.
Diskriminasi penindakan
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar melihat kebencian teroris kepada polisi bisa juga terjadi karena mereka melihat ketidakadilan. Ketidakadilan dimaksud, polisi bertindak tegas dan keras kepada teroris, tetapi tak sebaliknya kepada koruptor, bahkan pemberantasan korupsi disebutnya masih tebang pilih.
Terkait pendekatan penegakan hukum oleh kepolisian, Haris berpendapat upaya penindakan harus diimbangi pula dengan upaya pemberdayaan ekonomi para mantan teroris. Jika tidak, setelah mereka keluar dari penjara, mereka rentan kembali menjadi teroris.
Selama ini, peran tersebut diemban oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Namun, hal itu dinilai kurang tepat. Peran untuk menempatkan mantan teroris menjadi aktor-aktor ekonomi seharusnya diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi.
”Kalau memberantas teroris jangan main pada stigma dan ekspresi. Harus inklusif dan merangkul,” ujar Haris.
Senada dengan Haris, Zaki berpendapat pendekatan merangkul tetap perlu dilakukan. Program Polri yang turun ke masyarakat setiap Ramadhan, yaitu Safari Ramadhan, menjadi contoh baik yang hendaknya digelar secara kontinu, tak terbatas selama Ramadhan. Lewat safari seperti itu, kepolisian bisa sekaligus mengampanyekan bahwa mereka yang ditindak Densus 88 bukanlah umat Islam, melainkan ”jihadis” yang mengatasnamakan Islam.
Hal lain yang juga penting, pendekatan kekeluargaan atau strategi humanisasi tidak hanya kepada para napi teroris (napiter), tetapi juga keluarganya.
Menurut Zaki, selama ini banyak keluarga napiter yang berantakan setelah pelaku teror ditangkap atau tewas. Kondisi itulah yang berpotensi memicu siklus dendam sehingga terus-menerus menghasilkan sumber daya teroris baru.
”Pada sisi lain, kelompok ’jihadis’ sadar betul hal ini. Mereka justru membantu keluarga napiter yang ditinggalkan. Ketika tidak ada yang memberikan penghidupan, kelompok ’jihadis’ menyisihkan uangnya untuk membantu. Tujuannya agar keluarga napiter masih dalam jangkauan mereka,” kata Zaki.
Deputi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan, kegiatan deradikalisasi memang mesti berkesinambungan dan holistik dari hulu hingga ke hilir.
Pendekatan yang dilakukan BNPT pun, kata dia, bermacam-macam. Mulai dari pendekatan kearifan lokal, psikologi, hingga kekeluargaan. Selain itu, BNPT juga aktif mendampingi keluarga pelaku teror dan membantu mereka untuk memulai usaha.
Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang menyiapkan desain besar strategi yang lebih komprehensif untuk menangani terorisme. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat rapat terbatas membahas terorisme, Jumat (15/11/2019).
Disinggung terkait hal itu, Irfan mengatakan masih perlu pembahasan lebih lanjut untuk merumuskan desain tersebut. Namun, intinya strategi harus komprehensif. ”Strategi komprehensif itu dari hulu ke hilir melibatkan semua komponen bangsa. Kita tidak bisa bekerja sendiri,” ucap Irfan.