Berebut Gula di Borobudur
Aktivitas wisata di kawasan Candi Borobudur, ibarat gula menarik banyak semut. Masyarakat sekitar berlomba-lomba mengais remah manis dari kunjungan wisatawan, sementara para investor adu cepat menanam modal di sana.
Setelah merantau selama lima tahun, Kelik Dwi Jatmiko (34) memutuskan pulang ke kampung halamannya di kawasan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 2009. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai kepala toko minimarket di Semarang, lalu memilih kerja ”serabutan” di Borobudur. Namun, ternyata hasilnya tak mengecewakan.
”Setelah balik ke kampung, saya kerja serabutan, misalnya jadi calo parkir untuk mencarikan tempat parkir mobil wisatawan yang datang ke Candi Borobudur. Kadang juga nyariin hotel untuk wisatawan yang mau menginap,” kata Kelik, Rabu (6/11/2019), di Borobudur.
Kelik adalah warga Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, Magelang. Sejak tahun 2004-2009, ia merantau ke Semarang dan sempat menjajal beberapa pekerjaan, misalnya staf pemasaran di bank dan karyawan di minimarket. Posisi Kelik bahkan sempat naik menjadi kepala toko di minimarket tempatnya bekerja. Namun, lelaki lulusan SMA itu memilih pulang ke Borobudur supaya bisa mengurus orangtuanya.
Setelah beberapa tahun menjadi calo parkir dan calo hotel di kawasan Borobudur, Kelik sedikit ”naik pangkat”. Mulai tahun 2016, ia diminta seorang temannya membantu mencarikan tanah di kawasan Borobudur untuk para investor dari luar. Maka, sejak saat itu, Kelik ”resmi” menjadi calo tanah.
”Sejak tahun 2016 sampai sekarang, sudah ada enam hektar lebih tanah yang berhasil dibeli investor melalui jasa saya,” ujar Kelik.
Selama beberapa tahun terakhir, jual-beli tanah memang marak terjadi di kawasan Borobudur. Seiring meningkatnya aktivitas wisata di Candi Borobudur dan sekitarnya, para investor pun berdatangan untuk membangun hotel dan restoran di kawasan Borobudur.
Kelik menyebut, kebanyakan lahan yang dibeli para investor itu merupakan lahan tidak produktif yang berada di kawasan perbukitan Menoreh di sekitar Borobudur. Meski tak produktif dan lokasinya di perbukitan, lahan di kawasan Borobudur itu memiliki harga cukup mahal.
Kelik menuturkan, harga lahan di kawasan Borobudur itu berada di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per meter persegi. Di lokasi-lokasi tertentu, memang masih ada lahan yang dijual dengan harga Rp 500.000 per meter persegi. ”Tapi yang harganya murah sudah jarang sekarang,” tuturnya. Dari tiap transaksi jual-beli tanah yang dibantunya, Kelik mendapat komisi sebesar 2,5 persen dari harga jual. Dengan begitu, ia memperoleh penghasilan cukup besar dari jasa jual-beli tanah itu.
”Kalau dapat komisi dari jual beli tanah, hasilnya sudah cukup untuk hidup enam bulan,” ungkapnya.
Selain itu, Kelik kadang juga mendapat penghasilan dari kerjanya sebagai calo parkir dan hotel. Pada musim liburan, ia bisa memperoleh pendapatan Rp 500.000 sehari dari pekerjaan itu. Oleh karena itu, Kelik bisa menabung dan bahkan membiayai ibunya berangkat ibadah umrah.
Berkat tabungannya, Kelik juga bakal menjalankan ibadah umrah bulan ini. ”Semua ini enggak bisa saya lakukan kalau saya masih kerja di Semarang. Lha, wong penghasilan terakhir saya di sana itu hanya Rp 2 juta per bulan,” katanya.
Penginapan
Upaya mendapat ”manis gula” dari pariwisata itu juga dilakukan oleh warga Borobudur lain, Sulistian (24). Perempuan lulusan SMK itu pernah bekerja sebagai karyawan di salah satu guest house atau penginapan di kawasan itu.
Namun, kini, Sulistian menjalin kerja sama dengan temannya untuk mengembangkan homestay atau rumah inap milik sang teman. Homestay yang berlokasi di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, itu sebenarnya sudah buka sejak 2010. Namun, pemiliknya ingin melakukan perbaikan.
Oleh karena memiliki pengalaman bekerja di guest house, Sulistian diajak mengelola homestay tersebut. Sulistian pun menyanggupi, termasuk saat ia diminta menyiapkan modal Rp 5 juta untuk ikut membiayai perbaikan homestay.
”Kami berencana melengkapi homestay dengan fasilitas internet, membeli tambahan alat pemanas air, dan membeli perlengkapan masak untuk membuka restoran di bagian samping homestay,” ujar Sulistian.
Sulistian optimistis usahanya bakal berjalan lancar. ”Kalau dulu saya hanya bisa jadi pegawai suruhan orang, mudah-mudahkan ke depan saya bisa sukses menjadi pengelola homestay,” ujarnya.
Namun, di tengah upaya warga Borobudur untuk memperoleh berkah dari aktivitas wisata, para investor dari luar juga terus berdatangan menyerbu kawasan itu. Para investor membangun aneka jenis penginapan dengan beragam nama, seperti hotel, resor, guest house, vila, dan sebagainya.
Yang menarik, para investor itu melakukan beragam cara supaya bisa menguasai sepetak lahan di Borobudur. Salah seorang tokoh masyarakat Borobudur, Sucoro (68), menuturkan, ada pengusaha ternama asal Jakarta yang membeli bangunan toilet dan kamar mandi milik warga setempat.
Saat ini, toilet dan kamar mandi itu disewakan untuk dipakai para wisatawan. Sucoro menduga, ke depan, bangunan toilet dan kamar mandi itu bakal dialihfungsikan menjadi tempat usaha yang lebih menjanjikan. Sebab, lokasi bangunan itu sangat strategis karena hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempat parkir kompleks Candi Borobudur.
Persaingan
Makin banyaknya pihak yang tertarik ikut serta dalam aktivitas wisata di Borobudur tentu membuat persaingan kian ketat. Hal ini bukan hanya terjadi dalam bisnis penginapan, tetapi juga berlaku di bidang perdagangan.
Sucoro mengisahkan, pada tahun 1990, jumlah pedagang di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur hanya sebanyak 529 orang. ”Sekarang jumlahnya bisa sampai ribuan orang,” kata lelaki yang pernah menjadi wakil ketua paguyuban pedagang di Taman Wisata Candi Borobudur itu.
Salah seorang pedagang kaca mata di kompleks Candi Borobudur, Iftarin (40), mengatakan, beberapa tahun lalu, jumlah pedagang kaca mata di kompleks Candi Borobudur hanya 66 orang. Kini jumlahnya lebih dari 100 orang. Pendapatannya pun menyurut.
Salah seorang warga Borobudur, Mura Aristina (37), mengatakan, pada pertengahan 1990-an, para pedagang di kompleks Candi Borobudur mengalami masa kejayaan. Jumlah wisatawan yang datang ke Borobudur saat itu amat banyak. Waktu itu, surat izin berjualan di kompleks candi bahkan diperjualbelikan dengan harga tinggi.
”Bahkan, lisensi (izin) berdagang kartu pos saat itu bisa dijualbelikan dengan harga Rp 20 juta sampai Rp 25 juta,” ujar Mura.
Namun, kondisi itu berubah beberapa tahun terakhir. Mura menyebutkan, beberapa waktu belakangan, sejumlah pedagang di kompleks Borobudur bahkan memutuskan berganti pekerjaan karena persaingan makin ketat. ”Banyak pedagang sudah banting setir, misalnya jadi makelar motor atau petani tembakau,” katanya.
Persaingan menjadi salah satu risiko ketika makin banyak orang yang mengejar ”manis gula” Borobudur. Pada saat yang sama, banyak warga kembali pulang, karena melihat hidup di kampung sendiri di Borobudur jauh lebih menyejahterakan ketimbang di kampung orang. Borobudur menjanjikan gula-gula, tetapi pada akhirnya hanya pihak yang ulet, gigih, taktis, dan beruntung yang bisa menikmatinya.
Perlu dihitung juga investasi orang luar di sekeliling Borobudur. Jangan sampai pula orang luar yang sejahtera sementara warga sekitar sengsara karena tidak kebagian ”manis gula” Borobudur.