Dalam festival ini, para komunitas tidak sekadar berkumpul. Mereka juga diajari mengenai tata kelola festival secara profesional.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
MOJOKERTO, KOMPAS — Festival Chaitra Majapahit 2019 di Mojokerto menjadi momentum mengobarkan kembali semangat kebersamaan era Kerajaan Majapahit. Semangat tersebut kini dibutuhkan dalam rangka menghidupkan kembali ekosistem kebudayaan di Mojokerto, Jawa Timur.
Festival Chaitra Majapahit 2019 adalah pergelaran kesenian dan kebudayaan yang diselenggarakan para pegiat budaya dan komunitas kesenian di Mojokerto. Acara ini didukung Pemerintah Kabupaten Mojokerto dan pemerintah pusat melalui Platform Kebudayaan Indonesiana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
”Ini menjadi momentum yang tepat dalam menghapus ego-sektoral masing-masing komunitas dan unsur dari pemerintah dalam memajukan kesenian Mojokerto,” kata pegiat budaya Mojokerto, Wibisono, di Mojokerto, Jumat (15/11/2019).
Acara yang berlangsung sejak 10 November 2019 ini resmi ditutup lewat Sendratari Maha Sradda Banawa Sekar di Kompleks Candi Brahu pada Sabtu (16/11/2019) malam.
Wibisono mengungkapkan, selama ini komunitas kesenian dan pemerintah daerah cenderung berjalan sendiri-sendiri. Tidak jarang, hal ini menjadi penghalang bagi upaya pelestarian kebudayaan di Mojokerto yang sangat potensial.
Semangat kebersamaan dalam memajukan kebersamaan menjadi bahan diskusi yang menarik selama Festival Chaitra Majapahit berlangsung. Para pegiat seni saling bertukar pikiran dan berkolaborasi secara apik.
Selama ini, Mojokerto sangat dikenal berkat Situs Trowulan peninggalan Majapahit. Lebih dari itu, banyak kearifan lokal Mojokerto yang belum tereksplorasi secara optimal. Misalnya, kesenian wayang beber dan motif batik kemajapahitan.
”Untuk seniman, silakan fokus membuat karya. Nanti akan ada teman yang menyiapkannya sebagai paket kunjungan dan paket edukasi,” kata Wibisono.
Pegiat kesenian wayang beber dari Komunitas Mahesa Sura, Arif Setiawan, mengatakan, kolaborasi menjadi strategi dalam mengenalkan wayang beber pada pagelaran wayang beber di Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Pagelaran tersebut amat menantang lantaran baru pertama kali diselenggarakan di daerah tersebut.
Untuk menggaet penonton, pergelaran wayang beber diawali dengan pertunjukan Bantengan yang sudah digandrungi warga sekitar. Selain itu, komunitas keroncong dan sinden juga turut memeriahkan acara tersebut agar penonton tidak merasa jenuh.
”Memang tidak mudah, perlu kesabaran dalam mengenalkan wayang beber yang terakhir digelar pada 1960-an. Gotong royong semacam ini amat diperlukan,” kata Arif.
Semangat Chaitra
Pemilihan diksi chaitra untuk penamaan festival bukan tanpa sebab. Chaitra adalah salah satu nama bulan pada kalender tahun Saka. Pada bulan tersebut, Raja Majapahit mengumpulkan semua utusan wilayah di istana.
Mereka menghadap dan menghaturkan sabha kepada Raja Majapahit. Acara tersebut diikuti rangkaian upacara, ritual, dan festival rakyat. Kebersamaan yang dirasakan pada bulan Chaitra tersebut ingin ditularkan pada masa kini.
Tim Manajemen Pengetahuan Festival Chaitra Majapahit Diah Mahmawati mengatakan, dalam festival ini, para komunitas tidak sekadar berkumpul. Mereka juga diajari mengenai tata kelola festival secara profesional.
”Event ini memunculkan pergelaran kesenian, lokakarya, dan diskusi yang dikemas dalam tema besar kemajapahitan,” katanya.
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud pada 2019 ini telah mendukung 19 festival kebudayaan di sejumlah daerah melalui Platform Kebudayaan Indonesiana. Program ini adalah realisasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Tim Ahli Indonesiana Bidang Komunikasi dan Kerjasama Fransisca Octavia Muljamin mengatakan, Indonesiana bertujuan memberi pendampingan agar terjalin kolaborasi antara pegiat seni, komunitas, swasta, dan pemerintah dalam memajukan kebudayaan daerahnya. Pendampingan akan diberikan hingga daerah tersebut bisa mandiri.
”Harus ada unsur yang terpenuhi, yakni transfer pengetahuan, publikasi, dan gotong royong. Pendampingan maksimal diberikan selama tiga tahun,” pungkasnya.