Keseimbangan Hidup Debryna
Apa yang terjadi bila seorang dokter juga berprofesi pembuat roti? Debryna Dewi Lumanauw mendefinisikan roti sebagai pertemuan antara air, bakteri, tepung, dan waktu. Dan ternyata, semua kultur di Indonesia punya roti.
Kesibukan sebagai dokter tidak menyurutkan hasrat Debryna Dewi Lumanauw untuk menghidupi hobi membuat roti. Ia kerap membagikan ilmu di kelas-kelas memasak di Jakarta. Pernah pula ia hampir berbarengan mengajar di kelas tentang trauma lalu pindah ke kelas pembuatan roti.
Bukan sama sekali tak bersinggungan. Keahlian sebagai dokter ternyata bisa dimanfaatkan untuk memproses adonan menjadi roti yang sempurna. Mikroskop yang biasanya dipakai sebagai alat pengecek darah, misalnya, ia alihfungsikan untuk mengamati pertumbuhan bakteri ketika sedang memfermentasi adonan roti.
Ditemui di Jakarta, Selasa (12/11/2019), Debryna baru saja mendarat dari pelayanan dokter gratis sebagai sukarelawan doctorSHARE di Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara. Tak ada tanda-tanda lelah walau ia harus menolong pasien setiap hari selama 2-4 minggu tiap kali pergi ke Pulau Kei Besar.
Di Jakarta, ia sibuk merintis perbaikan di layanan kegawatdaruratan sebagai dokter di Ambulans 118 serta Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Di sela-sela kesibukan panggilan mendadak ke lapangan itulah, Debryna menyisakan waktu menghidupi hobi memasak.
Gemes ama fermentasi, dealing ama makhluk hidup. Mereka makhluk hidup yang punya otak dan tingkah lakunya sendiri. Bakteri dan ragi.
Tak berencana menjadikan hobi memasak sebagai profesi, Debryna memberi warna baru dalam ilmu membuat roti, terutama soal fermentasi.
”Gemes ama fermentasi, dealing ama makhluk hidup. Mereka makhluk hidup yang punya otak dan tingkah lakunya sendiri. Bakteri dan ragi,” kata Debryna. ”Seorang pembuat roti yang baik adalah seorang yang bisa kontrol fermentasi makhluk hidup yang jutaan jenis dan punya otaknya sendiri ini.”
Agar bisa lebih mengontrol jutaan bakteri ini, Debryna memanfaatkan mikroskop untuk melihat jenis dan kuantitas bakteri dalam adonan rotinya. ”Kalau ada jenis bakteri yang terlalu banyak, aku stop aku bikin lebih dingin. Atau air aku kurangin. Semakin banyak air, semakin cepat tumbuh bakterinya,” katanya.
Hidup seimbang
Menurut Debryna, lebih gampang melihat bakteri roti di mikroskop daripada mengecek darah. Bakteri berbentuk garis, misalnya, adalah bakteri Lactobacillus yang biasanya ada pada yogurt dan menimbulkan rasa asam. Bakteri berwujud bundar-bundar adalah bakteri yang disukai Debryna karena memberi rasa khas harum roti.
Proses fermentasi ini setidaknya membutuhkan waktu selama tiga hari. Menjelang tengah minggu, Debryna biasanya sudah akan mulai ”beternak” bakteri. Dalam kurun waktu tertentu, bakteri-bakteri ini harus diberi makan tepung selama 5-10 menit. Oleh karena itu, Debryna sering kali membawa si bakteri dalam wadah tertutup di sela-sela kesibukanya sebagai dokter.
”Paling ribet ngurusin jam makannya. Karena ragiku alami, harus dikasih makan. Awkward banget lagi ngafe harus kasih makan si ragi gue. Aku beli Tupperware yang lucu biar enggak terlalu awkward,” ujarnya.
Setiap pekan, ia rutin membuat roti agar keahlian tersebut tidak hilang. Ia merasa puas jika penampilan roti bagus dengan rasa sesuai yang dimauinya. Roti buatannya pun sudah dipasarkan pada kalangan terbatas. Pakar kuliner William Wongso juga rutin membeli roti buatan Debryna untuk memenuhi kebutuhan beragam kegiatan kuliner yang biasa digelarnya. ”Best sourdough you can get in here,” kata William Wongso dalam testimoninya.
Debryna mendefinisikan roti sebagai olahan tepung, air, dan fermentasi. Roti tradisional Indonesia antara lain adalah apem yang dibuat dari fermentasi air kelapa yang diinapkan semalaman. ”Jadi ketemu antara air, bakteri, tepung, dan waktu. Empat elemen itu jadi roti. Semua kultur di Indonesia punya roti,” katanya.
Ketika di Pulau Kei Besar, misalnya, Debryna tetap menyempatkan membuat roti dari olahan tepung singkong dan air fermentasi kelapa yang dipamerkannya di laman media sosialnya. Sejak setahun terakhir setelah pulang dari Los Angeles, Amerika Serikat, Debryna memang langsung mencemplungkan diri untuk terlibat sebagai sukarelawan klinik gratis di Pulau Kei Besar.
Di Pulau Kei Besar, ia antara lain harus beradaptasi dengan minimnya obat atau alat-alat pelayanan kesehatan. Pasiennya pun harus menunggu berjam-jam dalam kondisi kritis ketika ternyata tak ada kapal yang bisa mengangkut ke pulau lain.
Ia juga harus belajar memahami kultur budaya setempat. Pasiennya bahkan ada yang tetap harus ikut upacara adat ketika sedang pendarahan.
”Alat jauh dari standar. Kalau obat bisa diakalin. Kalau sarung tangan saja enggak ada, lalu gimana?” ujar Debryna.
Hidup harus balance!
Tinggal di wisma tepat di belakang klinik, hari-harinya di pulau tak melulu diisi dengan kerja melayani pasien. Setiap sore, ia pasti meluangkan waktu untuk menyelam bebas. ”Hidup harus balance! Orang di sana tahu aku kalau sore pasti nyelam,” kata Debryna yang kemudian praktik hingga larut malam.
Hobi menyelam bebas sebenarnya baru dijalani dalam lima tahun terakhir. Sempat trauma akibat tenggelam pada masa kanak-kanak, berenang baru dipelajarinya pada usia 22 tahun. Begitu terjun ke air, pesona dunia bawah laut Indonesia segera menghipnotis. Sunyi tanpa suara, suasana kala menyelam diibaratkan sama persis seperti kedamaian saat masih bayi di kandungan.
Di dalam rahim ibu, bayi hidup nyaman tanpa gravitasi. Beberapa detik ketika di air, ketika oksigen masih banyak dan aliran darah masih lancar, tubuh seolah kembali tanpa gravitasi, yang terdengar hanyalah degup jantung kita. ”Penting untuk bisa agar tahu bahayanya,” kata Debryna.
Gawat darurat
Selain rutin memberi pelayanan kesehatan di Pulau Kei Besar, hari-harinya diisi dengan kesibukan sebagai dokter gawat darurat yang melayani pasien di Ambulans 118 serta sebagai dokter di Basarnas. Di dua lembaga itu, Debryna merintis mimpi tentang pembangunan sistem pelayanan kesehatan darurat yang mumpuni di Indonesia.
Perbaikan dalam pelayanan kegawatdaruratan harus meliputi ambulan yang datang tepat waktu. Bekal pertolongan pertama juga harus sudah menjadi kesadaran untuk dipelajari. Pada perjalanan menuju rumah sakit, pasien harus memperoleh layanan prahospital.
Jangan sampai, stabilisasi baru dilakukan ketika sudah tiba di rumah sakit. ”Supaya pasien bisa bertahan hidup selama perjalanan di ambulans. Ini spesialisasi baru di bidang kedokteran emergency. Konsep masih baru. Di luar negeri sudah ada 911. Kita belum terbiasa dengan konsep itu,” kata Debryna.
Sempat bekerja sebagai koordinator program di LA Biomedical Research Institute, Torrance, California, yang antara lain bersinggungan dengan kegawatdaruratan, Debryna lantas memutuskan bergabung dengan Ambulans 118 dan Basarnas begitu pulang ke Indonesia. Tiga hari dalam sepekan, ia bekerja di Ambulans 118 dan dua hari lainnya di Basarnas.
Lahir dan besar di Magelang, Jawa Tengah, sampai umur 11 tahun, orangtuanya sempat melarangnya menjalani pendidikan dokter. Bapaknya yang Manado dan ibu berdarah China Arab lebih menyukai jika ia menekuni bisnis. Ketika sang bapak sakit dan berobat ke Jerman, Debryna yang sudah lulus sebagai dokter lantas menemani dan sempat bekerja di sebuah rumah sakit di Jerman.
Ketika akan mengambil pendidikan spesialisasi kedokteran di Jerman, tawaran pekerjaan di Los Angeles justru datang dan dilakoninya selama dua tahun. Di kedokteran ataupun di dunia masak memasak, Debryna cenderung menjalani hidupnya seperti air yang mengalir.
Mengalir dengan muara untuk meraih keseimbangan dalam hidup.
Debryna Dewi Lumanauw
Pendidikan:
- Beasiswa Penelitian dalam Pengobatan Darurat di Harbor-UCLA Medical Center, Torrance, California (2017-2018)
- Pendidikan profesi dokter di Universitas Maranatha, Bandung (2014)
- Sarjana Kedokteran di Universitas Maranatha, Bandung (2012)
Pengalaman kerja, antara lain:
- Direktur Medis, Departemen Operasional, Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 Jakarta (Juni 2019-sekarang)
- Dokter Medis dan Advisor di Kedokteran Emergency dan Manajemen Bencana di Basarnas Jakarta (Desember 2018-sekarang)
- Dokter Medis INA-SAR untuk Badan Penasihat Internasional bagi Pencarian dan Penyelamatan (INSARAG) (Januari 2019-sekarang)
- Koordinator Program di Lembaga Penelitian Biomedik Los Angeles, Torrance, California (2017-2018)
- Departemen Bedah, Gemeinschaftskrankenhaus Havelhohe, Berlin, Jerman (Desember 2015-Mei 2016)
Kegiatan sosial:
- Pendiri Clination (Clinic on Vacation) (November 2015-sekarang)
- Direktur Medis SAR Goes to School (SGTS 2019) (Januari 2019-sekarang)
- Dokter sukarelawan di DoctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) (Agustus 2016-sekarang)