Rimbo Tolang, Rimbo Ubau, Nan Lestari
Leluhur Kerajaan Koto Besar dan orang bunian berjanji untuk saling melindungi dan tidak mengusik satu sama lain. Kearifan yang mewariskan dua hutan larangan: Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau.
Tiga abad lampau, leluhur Kerajaan Koto Besar dan orang bunian berucap sumpah di Bukik Simambang Biru Kalapo Timbul. Perwakilan dua pihak berbeda alam itu berjanji untuk saling melindungi dan tidak mengusik satu sama lain. Kearifan yang mewariskan dua hutan larangan: Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau.
Nyanyian tonggeret mengiringi langkah kaki saat mulai menjejak ke dalam Rimbo Tolang, Minggu (27/10/2019) sore. Semak-semak mendesau dan ranting-ranting berderik terinjak berpasang-pasang sepatu. Udara terasa sejuk di bawah pohon-pohon rimbun yang menyaring terik matahari.
”Hutan ini bukan sembarang hutan. Ada penghuninya. Selama di dalam, jaga kesopanan, jangan berkata-kata kotor, serta tidak boleh buang air dan buang sampah,” kata Wali Nagari Koto Besar Eko Noris (30) berpesan kepada serombongan pengunjung.
Rimbo Tolang adalah satu dari dua hutan larangan yang masih terjaga di Nagari Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Satu hutan lagi, Rimbo Ubau, berada di seberang, di bawah permukiman. Nagari Koto Besar berada di tengah dua hutan itu yang luas masing-masingnya 18 hektar dan 17 hektar.
Hutan ini bukan sembarang hutan. Ada penghuninya. Selama di dalam, jaga kesopanan, jangan berkata-kata kotor.
Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai hutan adat sejak Mei 2019. Lokasinya sekitar 60 kilometer sebelah tenggara Pulau Punjung, ibu kota Dharmasraya. Butuh satu setengah jam mengendarai mobil atau sepeda motor untuk mencapainya dari ibu kota.
Sebagaimana pesan Eko, Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau memang istimewa. Kedua rimbo atau rimba itu sudah ada sejak berabad-abad silam, bahkan sebelum nenek moyang Kerajaan Koto Besar membuka permukiman di sekitar sana. Masyarakat pun percaya orang bunian, makhluk halus mirip manusia, bermukim di sana. Tak ada yang berani masuk ke sana dengan sembrono, apalagi untuk menebang pohon.
Kesepakatan
Nenek moyang warga Koto Besar diyakini mulai menempati lokasi itu sekitar 300 tahun silam. Mereka bagian dari keluarga Kerajaan Pagaruyung di Luhak Tanah Datar yang merantau ke arah tenggara. Sebelum menjadi permukiman warga Koto Besar, wilayah yang dulunya bernama Bukik Simambang Biru Kalapo Timbul itu dihuni orang bunian.
Pimpinan Koto Besar kemudian membuat kesepakatan dengan Datuak Pangulu Mudo, pimpinan orang bunian di rimba itu. Mereka setuju untuk berbagi tempat tinggal. Warga Koto Besar tinggal di permukiman saat ini, sedangkan orang bunian menempati Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau.
”Kedua pihak berjanji saling melindungi dan tidak saling mengganggu satu sama lain,” kata juru kunci Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau, Dasril Tuanku Manaro (68). Bagi Koto Besar, Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau adalah tameng dari setiap marabahaya yang datang.
Janji sakral itu dipegang hingga saat ini. Tidak ada warga yang berani melanggar. Begitu pula dengan orang bunian. Siapa yang melanggar akan hidup melarat. Ibarat pohon, ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berurat, di tengah-tengah digirik (dilubangi) kumbang. Kedua pihak hidup harmonis, saling menghargai dan saling melindungi.
Bentuk keharmonisan itu tecermin dalam keseharian masyarakat. Saat mengadakan kenduri, warga Koto Besar selalu mengundang Datuak Pangulu Mudo dan warga orang bunian untuk datang. Sebagaimana mengundang manusia secara adat Minangkabau, orang bunian juga diundang dengan suguhan sirih-pinang.
Masyarakat percaya, jika tidak diundang, orang bunian akan tersinggung. Suatu waktu, kata Dasril, orang tua-tua terdahulu lupa mengundang. Pemilik hajatan pun dibuat kewalahan. ”Makanan hajatan tidak pernah cukup, habis dibawa (orang bunian),” ujar Dasril.
Menurut Dasril, pada masa lampau, nenek moyang mereka mampu melihat dan berkomunikasi langsung dengan orang bunian yang secara fisik mirip manusia. Itu dimungkinkan karena leluhur masih memiliki hati yang bersih. Sekarang, tak ada lagi yang bisa.
Di Riau, hutan terlalu cepat punah karena tidak dijaga mitos dan sistem masyarakat.
Selain Dasril, ada tiga orang yang bisa berkomunikasi dengan penunggu hutan untuk mengundang pada perhelatan di nagari, termasuk Raja Koto Besar, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, yang juga Bupati Dharmasraya.
Terjaga
Kesepakatan itu dipegang teguh warga Koto Besar. Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau terjaga baik. Tidak ada warga berani merusak hutan. Padahal, kedua hutan berbatasan langsung dengan permukiman dan kebun-kebun warga Koto Besar. Kedua rimbo tak tersentuh.
Di Rimbo Tolang, yang sedang disiapkan sebagai hutan edukasi, misalnya, masih ditemukan pohon-pohon berdiameter besar. Tidak tampak tunggul-tunggul pohon bekas pembalakan, setidaknya pada rentang 50 meter dari lokasi masuk. Pohon tua yang rebah dibiarkan lapuk.
Dari kedua hutan larangan itu, kata Eko, baru Rimbo Tolang yang pohonnya teridentifikasi. Di Rimbo Tolang, setidaknya ada 1.704 pohon berdiameter 60 sentimeter atau lebih sebanyak 127 jenis pohon. Sementara itu, total jumlah dan jenis pohon di kedua hutan diperkirakan 3.000 pohon dan 300 jenis.
”Pohon terbesar yang kami temukan adalah mersawa dengan ukuran keliling batangnya sekitar 6 meter. Ada pula pohon langka, seperti kelumpang dan meranti,” kata Eko.
Terjaganya Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau membuat Nagari Koto Besar terhindar dari berbagai bencana. Di saat wilayah lain di Dharmasraya dilanda kekeringan, Koto Besar tidak kekurangan. Sepengetahuan Eko, Koto Besar juga tidak pernah longsor ataupun banjir.
Di hutan itu juga terdapat Sungai Baye yang airnya bersih. Warga kerap memanfaatkan untuk mandi dan mencuci serta mencari ikan. Itu kontras dengan kondisi sebagian besar sungai. Sungai Batanghari, misalnya, yang tercemar dan rusak akibat tambang emas dan limbah pabrik atau rumah tangga.
Kearifan
Kearifan lokal hutan larangan di Koto Besar serta di tempat lainnya di Sumbar patut dipertahankan di tengah tren modernisasi. Konsep hutan larangan dinilai efektif menahan deforestasi.
”Cerita ternyata bisa membuat aturan yang sangat dibutuhkan saat ini,” kata budayawan S Metron Masdison. Ia mengaitkannya dengan status warisan dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera yang terancam dicabut karena sudah masuk daftar merah.
Metron menjelaskan, masyarakat Koto Besar memegang teguh kearifan lokal hutan larangan karena melekat dalam kehidupan mereka. Nagari Koto Besar dan Kabupaten Dharmasraya pada umumnya dikenal daerah dengan narasi cerita yang sangat kuat.
Dalam sejarah Kerajaan Koto Besar, orang bunian yang tinggal di hutan larangan sangat berjasa melindungi kerajaan. Orang bunian berulang kali menghalangi penyerbuan kerajaan lain ke Koto Besar dengan cara sangat mistis. Cerita itu tertanam kuat karena diceritakan turun temurun.
Menurut Metron, selain di Dharmasraya, hutan larangan juga terdapat di wilayah lain di Sumbar, antara lain Pasaman, Pasaman Barat, dan Tanah Datar. Meskipun tidak persis, secara umum punya cerita sama.
Dalam konteks kebudayaan, hutan larangan juga menjaga cadangan kayu. Hutan larangan menyimpan berbagai jenis kayu langka bahan pembuatan rumah gadang, rumah adat Minangkabau. Setiap bagiannya menggunakan jenis kayu beragam.
”Cerita itu dipelihara masyarakat untuk melindungi hutan mereka. Sebab itu, Sumbar termasuk daerah yang susah dimasuki investasi karena memiliki tanah ulayat dan hutan larangan. Sementara di Riau, hutan terlalu cepat punah karena tidak dijaga mitos dan sistem masyarakat,” ujarnya.
Efektif
Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rainal Daus mengatakan, banyak ditemukan praktik baik yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Mereka memiliki tata cara pengelolaan sumber daya alam yang mempertimbangkan pemanfaatan untuk kebutuhan sekarang dan masa depan.
Oleh karena itu, KKI Warsi mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) demi konservasi. Dalam konsep ini, masyarakat merupakan pelaku utama pengelolaan, seperti kelembagaan masyarakat, aturan pengelolaan berdasar kearifan lokal, dan sesuai kondisi lokalistiknya.
”Apa yang dilakukan masyarakat Koto Besar salah satu contohnya. Masyarakat memiliki ikatan dengan hutan sehingga hutan sudah menjadi bagian penting dalam hidup dan penghidupan mereka. Jika hutan hilang, mereka merasa bahwa ada bagian hidup yang ikut hilang,” kata Rainal.
Hampir semua wilayah Sumbar memiliki kearifan lokal pengelolaan sumber daya alam. Namun, hanya sebagian tersisa.
Jika hutan hilang, mereka merasa bahwa ada bagian hidup yang ikut hilang.
Banyak tempat menunjukkan, ketika kewenangan pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat, sesuai dengan nilai dan kearifan lokal, laju kehilangan hutan di lokasi itu jauh berkurang. Itu membuktikan bahwa kearifan lokal mampu dan memiliki daya menahan laju deforestasi.
Tahun 2016, KKI Warsi mengkaji 11 hutan nagari di Sumbar yang mendapat surat keputusan hak pengelolaan hutan dari KLHK periode 2011-2014. Sejak masyarakat memperoleh legalitas mengelola hutan negara melalui skema hutan nagari dan hutan kemasyarakatan, laju deforestasi berkurang hingga 99 persen di wilayah tersebut.
”Hasil kajian menunjukkan, laju deforestasi areal hutan yang dikelola masyarakat dapat ditahan,” ujar Rainal.
Sebagaimana dikatakan Dasril, sejatinya bukan masyarakat yang melindungi hutan. Justru hutan dan penghuninya yang melindungi dari segala bahaya. Jadi, tak ada alasan merusak yang telah melindungi masyarakat sejak berabad-abad lampau.
Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau adalah contoh, keberadaan koneksi historis warga dengan alam sekitar membuat hutan lestari.