Cegah Desa Fiktif, Mendagri Minta Kepala Daerah Verifikasi Semua Desa
›
Cegah Desa Fiktif, Mendagri...
Iklan
Cegah Desa Fiktif, Mendagri Minta Kepala Daerah Verifikasi Semua Desa
Jika memang ada daerah yang menerima dana desa, tetapi desanya ternyata fiktif, dana desa diminta dikembalikan ke negara. Kemudian, jika dana desa itu dikorupsi, siapa pun pelakunya bakal diproses secara hukum.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala daerah diminta untuk memverifikasi semua desa di wilayah masing-masing. Jika memang ditemukan desa fiktif yang menerima dana desa, Kementerian Dalam Negeri meminta agar dana desa tersebut dikembalikan ke negara. Kemudian, jika dana desa ternyata dikorupsi, yang mengorupsi harus ditindak oleh aparat penegak hukum.
”Kami membuat surat edaran agar kepala daerah bisa memverifikasi desanya masing-masing. Kalau sudah ada daerah yang menerima anggaran, tetapi ternyata desanya tidak ada, kami minta agar dananya dikembalikan,” kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Langkah ini diambil untuk memastikan dana desa tidak mengalir ke desa fiktif. Isu desa fiktif yang menerima dana desa pertama kali disuarakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan isu ini. Persoalan tersebut sedang diusut oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara dan KPK membantu kepolisian dalam mengusutnya.
Pada Jumat (8/11/2019), Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam menyampaikan, pihaknya fokus pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 yang mengatur pembentukan 56 desa di Konawe. Penyelidikan mendalam dilakukan terkait perencanaan, proses pembuatan, hingga pelaksanaan aturan tersebut.
Tito mendukung pengusutan oleh aparat penegak hukum tersebut. Jika kelak dari hasil investigasi ada yang menyelewengkan dana desa itu, siapa pun yang mengorupsi, sekalipun itu kepala daerah, akan diproses secara hukum.
Menurut dia, kemunculan desa fiktif disebabkan beberapa aspek, seperti hilangnya wilayah teritorial desa dan perpindahan masyarakat ke lokasi lain. Salah satunya terjadi di Konawe.
”Beberapa tempat di Konawe memang ada desanya, tetapi masyarakatnya banyak yang pindah. Ada juga desa yang kode pemerintahannya tidak ada karena masalah administrasi,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan mengatakan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe tidak sah.
”Kami sepakat bahwa perda yang ditetapkan oleh bupati itu cacat hukum. Berdasarkan keterangan yang kami terima, (perda) itu memang tidak melalui mekanisme DPRD,” kata Nata di Kemendagri, Jakarta.
Nata mengatakan, sejak 2017 sampai dengan 2019, ke-56 desa tersebut telah menerima dana desa dari pemerintah pusat sekitar Rp 113,3 miliar. Dengan ditemukannya desa-desa yang diduga bermasalah, perangkat desa dari 56 desa itu akan didalami keterangannya lebih lanjut oleh Polda Sulawesi Tenggara.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat, pembentukan perda yang tidak melibatkan DPRD dan memungkinkan pengucuran dana desa ke desa-desa yang pembentukannya tidak sah adalah bentuk korupsi kebijakan yang sangat serius.
Artinya, seharusnya segala implikasi yang muncul akibat perda tersebut seharusnya gugur, kata Robert, termasuk alokasi dana desa. ”Seharusnya dana desa itu dikembalikan,” lanjutnya.
Dengan temuan ini, Robert mengatakan, pemerintah pusat harus lebih kuat dalam hal supervisi perancangan perda dan verifikasi implementasi kebijakan, termasuk alokasi APBN untuk dana desa. ”Ini hanya puncak dari gunung esnya, saya kira. Bisa jadi daerah lain juga terjadi. Harus mulai disisir,” tuturnya.