Merujuk negara-negara yang telah mapan, seperti Selandia Baru dan Australia, pemajuan dan pemenuhan HAM dapat—dan sejatinya—tumbuh bersama dalam iklim yang demokratis.
Oleh
B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Apakah dunia sedang bimbang? Bimbang dalam memilih mana yang lebih didahulukan antara stabilitas, perdamaian, pertumbuhan ekonomi, atau penghormatan pada hidup dan martabat manusia? Atau dunia tidak sedang memilih, tetapi hanya menjalani panggilan sejarahnya.
Dalam praktiknya, banyak negara di dunia mendaku bahwa pemerintah mereka masing-masing demokratis. Selain ada partai politik, setiap negara secara berkala menggelar pemilihan umum. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam pemilu itu.
Akan tetapi, pada saat yang sama, pemerintah negara-negara itu belum mengimplementasikan beberapa prinsip dasar demokrasi, yaitu kesetaraan di muka hukum, jaminan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, jaminan pada kebebasan pers, serta kebebasan berserikat dan berkumpul.
Di Irak, ratusan warga menjadi korban saat berunjuk rasa. Mereka ditembak mati saat memprotes maraknya praktik korupsi dan buruknya kinerja ekonomi pemerintah. Di Eropa dan Amerika, di mana HAM dihormati, para pengungsi yang mengalir dari wilayah-wilayah konflik, seperti Suriah dan Libya, serta beberapa negara Afrika, justru berhadapan dengan menguatnya xenofobia. Partai-partai kanan pun menguat dan melahirkan sejumlah kebijakan yang tidak ramah pada pengungsi—mereka yang sedang teraniaya dan tanpa harapan.
Di Asia, setali tiga uang. Di bawah Presiden Rodrigo Duterte, perintah melawan perdagangan narkoba di Filipina memicu praktik pembunuhan tanpa proses peradilan. Di Indonesia, menguatnya isu SARA dan politik identitas serta pembunuhan karakter lewat kabar bohong saat pilkada dan pemilu dinilai telah mencederai demokrasi.
Di Myanmar, pada paruh awal tahun ini, dua wartawan Reuters ditahan dan diadili karena dianggap melanggar Undang-Undang Rahasia Pejabat saat hendak memberitakan isu Rohingya. Sebagaimana Myanmar, Kamboja yang secara berkala juga menggelar pemilu ternyata belum memberi jaminan pada pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga. Pembubaran Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) oleh pemerintahan PM Hun Sen dan hambatan bagi tokoh-tokoh oposisi asal CNRP yang tinggal di luar negeri untuk kembali ke Kamboja jadi ”pembenar” atas buruknya situasi HAM di Kamboja.
Pembubaran CNRP oleh pemerintahan PM Hun Sen dan hambatan bagi tokoh-tokoh oposisi asal CNRP di luar negeri untuk kembali ke Kamboja jadi ”pembenar” atas buruknya situasi HAM di Kamboja.
Terkait dengan oposisi, sikap Phnom Penh sedikit berubah ketika Uni Eropa—salah satu mitra dagang utama Kamboja—mengancam akan menangguhkan preferensi perdagangan apabila Hun Sen terus memberi tekanan keras pada oposisi, media, dan kelompok masyarakat sipil lain. ”Kami sangat prihatin dengan situasi HAM di sana,” kata Komisioner Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom di Twitter. ”Rakyat Kamboja sekarang punya waktu satu bulan untuk merespons dan kami akan membuat keputusan akhir pada Februari tahun depan,” kata Malmstrom kepada Reuters, Selasa (12/11/2019).
Pada satu sisi, melunaknya sikap Kamboja seolah menunjukkan keberpihakan rezim Hun Sen pada isu hak-hak sipil warga. Namun, di sisi lain, tekanan Uni Eropa menunjukkan, di tengah melemahnya pertumbuhan global dan menguatnya ancaman resesi ekonomi, adalah lebih baik bagi Kamboja jika memberi ”ruang lebih” pada oposisi daripada kehilangan kemudahan ekspor ke Uni Eropa.
Pendek kata, lebih menguntungkan memprioritaskan isu ekonomi daripada isu HAM.
Kembali pada pertanyaan awal, apakah dunia sedang bimbang? Apakah yang terjadi di Kamboja juga jadi kecenderungan global? Isu ekonomi menjadi lebih penting ketimbang isu HAM? Apa yang menjadi prioritas pemerintah negara-negara di dunia: stabilitas pertumbuhan ekonomi, politik, kemajuan demokrasi, atau pemenuhan HAM?
Apabila merujuk negara-negara yang telah mapan, seperti Selandia Baru dan Australia, ketiga isu di atas sejatinya dapat berjalan seiring. Bahwa pemajuan dan pemenuhan HAM dapat—dan sejatinya—tumbuh bersama dalam iklim yang demokratis, di mana pemerintah negara-negara itu pun mampu secara terus-menerus meningkatkan inovasi dalam kinerja ekonomi mereka yang juga kompetitif.