Istiningrahayu dan Nur Widhi Wijayatma Penuh Kesabaran Mengasuh Siswa SLB
Anak-anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan penanganan dan perlakuan berbeda. Menyadari betul akan hal itu, pasangan suami-istri Istiningrahayu (47) dan Nur Widhi Wijayatma (55) kemudian mendirikan SLB Surya Bunda.
Anak-anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan penanganan dan perlakuan berbeda. Menyadari betul akan hal itu, pasangan suami-istri Istiningrahayu (47) dan Nur Widhi Wijayatma (55) kemudian mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Surya Bunda. Di sekolah itu, seburuk apa pun kondisi yang terjadi, mereka berupaya agar anak-anak tersebut tetap mendapatkan perlakuan istimewa sesuai dengan kebutuhannya.
Surya Bunda adalah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus yang terletak di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Istiningrahayu yang akrab disapa Isti berlaku sebagai Ketua Yayasan Swadaya Bunda yang menaungi sekolah Surya Bunda. Sedangkan Nur menjadi Kepala SLB Surya Bunda.
Sekolah Surya Bunda berdiri pada 2017 dengan dana sekitar Rp 1 miliar. Dana tersebut berasal dari dana pribadi milik Isti dan Nur, termasuk tabungan dari keuntungan penjualan di toko bangunan Surya Jaya milik mereka. Karena dibangun di kawasan wisata, sekolah tersebut sering kali dikira homestay.
Tidak seperti sekolah pada umumnya. Tidak ada mainan atau ruang-ruang kelas yang langsung terlihat saat pertama kali memasuki gerbang. SLB tersebut sengaja dibangun menyerupai rumah supaya anak-anak berkebutuhan khusus tidak merasa sekolah, tetapi merasa di rumah.
Di sekolah tersebut, pasangan suami-istri ini memberikan layanan pendidikan gratis bagi semua muridnya. Sekolah Surya Bunda kini memiliki 13 murid yang terdiri dari 1 anak autis dan 12 anak yang memiliki kelainan down syndrome.
Sekolah ini tidak menerapkan kurikulum pembelajaran yang ditetapkan pemerintah untuk sekolah luar biasa, tetapi menetapkan kurikulumnya sendiri. Di sekolah tersebut, anak-anak tidak hanya diajari membaca dan menulis, tetapi juga mengasah keterampilan.
”Kami membuat kurikulum sendiri yang lebih menekankan pada kegiatan pendidikan keterampilan. Karena saya dan suami tidak punya latar belakang ilmu pendidikan, kami meminta bantuan salah seorang teman yang merupakan guru di salah satu SLB lain,” ujar Isti saat ditemui di rumahnya, Selasa (17/10/2019) malam.
Bedasarkan pantauan Kompas, Rabu (16/10/2019) pagi, anak-anak luar biasa diajari untuk menggulung benang dan membuat begel. Begel adalah komponen terbuat dari besi yang berfungsi untuk menahan pergeseran dari balok cor atau kolom beton bertulang. Semua barang, karya dari anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, setiap bulan diambil untuk dijual ke empat toko bangunan milik Isti dan dua temannya yang lain.
Setiap anak dibayar, mendapatkan uang lelah untuk setiap produk yang telah dibuatnya tersebut. Bergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing, setiap anak mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Sebagian anak mampu menghasilkan hingga lebih dari Rp 100.000 per bulan. Uang tersebut biasanya langsung diserahkan oleh guru kepada orangtua masing-masing.
Tidak seperti sekolah pada umumnya. Tidak ada mainan atau ruang-ruang kelas yang langsung terlihat saat pertama kali memasuki gerbang. SLB tersebut sengaja dibangun menyerupai rumah supaya anak-anak berkebutuhan khusus tidak merasa sekolah, tetapi merasa di rumah.
Anak sendiri
Isti dan Nur terinspirasi untuk mendirikan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus dari anak mereka sendiri. Anak kedua Isti dan Nur, Afandi Herman Jaya (15), merupakan penyandang autisme.
Karena mengisap air ketuban terlalu banyak, sejak lahir, Afandi sudah didiagnosis akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Isti yang menyadari hal berbeda terjadi pada anaknya kemudian berupaya mencari alternatif terapi dan berbagai ragam sekolah bagi Afandi. Mereka merasa kesulitan untuk menemukan sekolah yang tepat bagi Afandi. Padahal, upaya tersebut dilakukannya sejak Afandi masih berumur 1,5 tahun.
Pencarian sekolah tersebut dilakukan terus-menerus hingga Afandi berpindah lebih dari lima sekolah luar biasa (SLB). Sebagian sekolah bahkan berlokasi di luar kota, seperti Jakarta. Di banyak sekolah tersebut, Afandi merasakan beragam terapi dan untuk menjalaninya dia bahkan harus menjalankan kehidupan di lingkungan sekolah berasrama.
Namun, pada akhirnya, Isti dan Nur berkesimpulan bahwa penanganan di sekolah-sekolah tersebut tidak berguna karena tidak berdampak apa-apa pada Afandi. Mereka pun kemudian makin gelisah karena ternyata banyak warga, tetangga, dan orang-orang yang sering mereka temui memiliki masalah yang sama, bingung mencari sekolah yang tepat bagi anak-anaknya yang berkebutuhan khusus.
”Pada akhirnya, kami pun berkesimpulan bahwa cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah kami dan banyak orang lainnya adalah dengan mendirikan sekolah dan membuat kurikulum pendidikan sendiri,” ujarnya.
Tahun 2016, Isti dan Nur mulai meneguhkan tekad untuk membangun sekolah sendiri. Terbiasa puluhan tahun berbisnis dan melakukan penghitungan untung rugi, khusus untuk sekolah, hal tersebut dikesampingkan. Ketika itu, untuk mendapatkan modal guna membeli tanah dan membangun sekolah, mereka pun langsung menjual aset tanah seluas sekitar 300 meter persegi di Yogyakarta.
Ditambah dengan sebagian uang tabungan yang dimiliki, di tahun itu juga, mereka mulai membangun sekolah. Pasangan suami-istri ini membuat desain sendiri dan Isti selalu berupaya mengecek, memantau langsung untuk memastikan agar sekolah yang dibangun berkonsep senyaman rumah tinggal.
Dengan mempertimbangkan bahwa kondisi rata-rata keluarga dari anak-anak berkebutuhan khusus yang merupakan keluarga miskin, Isti dan Nur pun memutuskan bahwa pelayanan pendidikan di sekolah tersebut akan diberikan secara gratis.
Dari pengalamannya membawa Afandi berpindah sekolah, Isti memutuskan, dirinya harus membuat kurikulum sendiri. Kurikulum dari pemerintah yang banyak dipakai di SLB dinilainya terlalu memaksakan anak berkebutuhan khusus menjadi seperti anak ”normal”.
”Anak-anak tidak mungkin dipaksa. Mereka harus tetap dihargai dan dibimbing sesuai dengan kemampuannya,” ujarnya.
Terkait dengan penyusunan kurikulum ini, Isti banyak berdiskusi dengan salah seorang rekannya yang merupakan seorang guru di sekolah luar biasa (SLB). Dari hasil diskusi tersebut, maka dalam kurikulum tersebut akhirnya tersusun bahwa hal-hal yang harus diajarkan pada anak berkebutuhan khusus antara lain keterampilan serta latihan untuk mengurus dirinya sendiri, seperti toilet training, mandi, serta mencuci baju dan piring.
Setelah sekolah terbangun dan kurikulum selesai tersusun, Isti dan Nur pun langsung melakukan sosialisasi tentang pembukaan sekolah tersebut. Dari sosialisasi tersebut, mereka kemudian merekrut tenaga guru.
Agustus 2018, sekolah pun dibuka dengan tenaga sembilan guru, dengan murid sekolah yang diterima pertama kali hanya lima orang. Pada tahun pertama, kepala sekolah pun dijabat oleh pihak luar.
Seiring waktu, jumlah tenaga guru pun berkurang. Sekalipun waktu itu banyak guru berlatar belakang pendidikan SLB, ternyata tidak semuanya mampu bertahan mengajar dan mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus.
Saat ini, sekolah Surya Bunda melanjutkan kegiatan belajar-mengajar hanya dengan tiga guru yang terdiri dari guru pendidikan anak usia dini (PAUD), seorang tenaga kesehatan, dan seorang pekerja bangunan yang mengajari anak-anak membuat begel. Agar kegiatan belajar-mengajar berjalan sesuai dengan visi misi Isti dan Nur, jabatan kepala sekolah yang semula dijalankan orang lain kemudian beralih dijabat oleh Nur.
Saat ini, sekolah Surya Bunda melanjutkan kegiatan belajar-mengajar hanya dengan tiga guru yang terdiri dari guru pendidikan anak usia dini (PAUD), seorang tenaga kesehatan, dan seorang pekerja bangunan yang mengajari anak-anak membuat begel.
Proses pendaftaran dan seleksi murid dijalankan sendiri oleh Isti. Tidak pernah secara resmi membuka pendaftaran, para orangtua yang ingin menyekolahkan putra-putrinya ke Surya Bunda biasanya akan langsung datang membawa buah hatinya ke toko bangunan Surya Jaya. Di sana, Isti akan melakukan seleksi dengan cara memperhatikan bagaimana anak tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk caranya mengambil atau menggunakan benda-benda yang ada di toko bangunan.
”Dari perilakunya, saya mengamati dan meneliti, apakah kira-kira anak tersebut bisa kami tangani atau tidak,” ujarnya.
Terkait dengan penerimaan siswa di Surya Bunda, Isti mengatakan, dia dan suami sebenarnya tidak menerapkan syarat yang terlalu detail. Namun, karena keterbatasan tenaga guru yang ada di sekolah, pihaknya pun sebenarnya menginginkan anak yang diterima setidaknya sudah bisa mengurus hal-hal pribadinya sendiri, seperti bisa mandi dan makan sendiri.
Dalam perjalanannya, sebagian murid juga tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah karena berbagai hal. Satu siswa, misalnya, diminta untuk menjalankan terapi terlebih dahulu karena mengalami gangguan psikis.
Namun, berdasarkan pengakuan dari para orangtua murid, sebagian besar anak mengalami perkembangan dan perubahan dalam perilaku. Jika sebelumnya sulit berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, maka kini, sebagian besar anak sudah bisa membuka diri serta menjalin relasi dengan teman-teman dan gurunya.
Tidak mudah
Memiliki dan mengasuh anak berkebutuhan khusus tidaklah mudah. Tidak semua orangtua pun bisa dengan mudah menerima bahwa anaknya ”berbeda”. Hal itu pun sempat dialami oleh Nur.
”Dari perilakunya sejak bayi, istri saya (Isti) sudah mengenali bahwa Afandi adalah anak yang ’berbeda’. Saya sempat tidak percaya dan baru mengakui Afandi adalah anak berkebutuhan khusus ketika dia sudah berumur tiga tahun,” ujarnya.
Isti dan Nur pun kemudian sepakat untuk melakukan pertemuan dengan para orangtua murid sebulan sekali. Dalam kegiatan itu, mereka biasa saling berbagi cerita tentang pola pengasuhan anak.
”Pertemuan itu sebenarnya adalah sesi bagi kami untuk saling menguatkan satu sama lain. Hal itu perlu dilakukan karena kami semua, para orangtua, adalah rekan senasib,” ujarnya.
Untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak lain yang perlu diasuh, setiap anak hanya diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan selama tiga tahun. Namun, ke depan, Isti dan Nur tetap ingin memberikan tempat bagi anak-anak yang telah menuntaskan pendidikan selama tiga tahun.
”Meski sudah tidak sekolah di sini, anak-anak tetap diperbolehkan membuat begel atau kerajinan lainnya. Karya-karyanya akan kami terima dan kami jualkan,” ucap Nur.
Istiningrahayu
Lahir: 1 April 1972
Pendidikan: D-3 Akademi Pariwisata Yogyakarta
Jabatan: Ketua Yayasan Swadaya Bunda
Nur Widhi Wijayatma
Lahir: Klaten, 4 Januari 1964
Pendidikan: S-1 Universitas Diponegoro, Semarang
Jabatan: Kepala Sekolah Surya Bunda
Anak: 3