Kiprah Para Relawan di Balik Penanganan Kebakaran Hutan di Australia
›
Kiprah Para Relawan di Balik...
Iklan
Kiprah Para Relawan di Balik Penanganan Kebakaran Hutan di Australia
Menjadi relawan dan ”mateship culture”, semacam gotong royong di Indonesia, adalah bagian dari budaya Australia.
Oleh
Harry Bhaskara, dari Brisbane, Australia
·4 menit baca
Malapetaka sering membuat manusia bersatu. Ketika kebakaran hutan mulai berkobar nyaris di seluruh Australia beberapa minggu lalu, ratusan relawan pemadam kebakaran turun ke lapangan.
Ketika seorang pilot helikopter pengebom air selamat dari kecelakaan dan tak mendapat hotel untuk menginap di Noosa, Sunshine Coast, Queensland, 100 orang menawarkan kamar untuk menginap. Tawaran datang melalui media sosial setelah perusahaan penerbangan helikopter itu mengumumkan di Facebook bahwa pilotnya tak berhasil mendapat kamar di hotel.
Dana 1 juta dollar Australia (sekitar Rp 9,5 miliar) terkumpul kurang dari seminggu melalui GoFundMe dari 17.000 penyumbang. Rumah Sakit Hewan Port Macquarie yang menolong koala yang terluka mendapat dana sebesar 480.000 dollar Australia dari target 25.000 dollar Australia. Banyak lagi lembaga lain mengusahakan hal yang sama.
Menjadi relawan dan mateship culture, semacam gotong royong di Indonesia, adalah bagian dari budaya Australia.
Sampai Jumat (15/11), tercatat empat orang tewas, 30 orang luka-luka, lebih dari setengahnya anggota pasukan pemadam kebakaran, termasuk relawan, dan 300 rumah musnah dalam kebakaran hutan terbesar dalam sejarah Australia.
Sebanyak 1.600 anggota pasukan pemadam kebakaran, termasuk relawan, mengabdi di New South Wales. Queensland malah memiliki kelompok relawan di atas umur 70 tahun yang dinamakan ”Dad’s Army (Pasukan Bapak-bapak)”.
Damon Rockliff, relawan dengan pengalaman 20 tahun, mengatakan, ia tak pernah melihat kebakaran sedahsyat ini. ”Kami semua lelah, tetapi harus terus bekerja karena api ada di mana-mana dan bertambah besar pula,” tutur Rockliff yang tinggal di Canungra di pedalaman Gold Coast, Queensland, seperti dikutip Australian Broadcasting Corporation (ABC).
Rockliff, yang ikut menangani kebakaran di pedalaman Gold Coast dan di sekitar kota kecil Boonah, meninggalkan semua kesibukannya sebagai pengusaha kecil.
Ia melakukan semua ini karena cinta, imbuhnya.
”Untuk komunitas, kami teramat sibuk dan kami menyukainya, saya punya teman-teman baik dalam satu grup. Kalau ada kebakaran, kami berkumpul,” kata Rockliff, seperti dikutip ABC.
”Banyak orang tidak tahu, pemadam kebakaran di pedalaman 100 persen adalah para relawan. Kami tidak dibayar, kami tinggalkan pekerjaan, memang sudah begitu,” ujarnya.
Banyak orang tidak tahu, pemadam kebakaran di pedalaman 100 persen adalah para relawan. Kami tidak dibayar, kami tinggalkan pekerjaan, memang sudah begitu.
Rockliff hanya satu dari ratusan relawan pria dan wanita di seluruh Australia yang setiap hari berjuang melawan api. Mereka berbagi tugas, sebagian menyiapkan makanan di base camp, yang lain berada di lapangan.
Relawan Else Stibbe dari Salvation Army bertugas di base camp. Setiap hari Else membuat 225 sarapan, 200 makan siang, 296 makan malam, dan 60 makanan kecil untuk tengah malam.
”Ini seperti tentara. Teman-teman di sini membungkus makanan kecil untuk dibawa para relawan pemadam kebakaran jika di lapangan mereka lapar. Ada 12 relawan di dapur yang sedang menyiapkan makan siang. Kami kompak,” tutur Else pada ABC.
Tenda-tenda yang memakai mesin berpendingin udara dipasang di lapangan Boonah bagi relawan untuk beristirahat dan makan. Di situ ada juga sebuah ruang komando. Seratus orang bekerja di tenda untuk seratus relawan di lapangan.
Annalisa Flechtner bekerja pada Dinas Pemadaman Kebakaran dan Kedaruratan (QFES), tetapi ia juga relawan di garis depan apabila diperlukan. Minggu ini, ia menjadi koordinator relawan di ruang komando di Boonah.
”Pekerjaan di sini makan waktu. Kami mengatur keluar masuknya relawan. Kami mengerjakan semuanya dari operasi, perencanaan, logistik, dan kami ada satu relawan di ruang komando. Kami memastikan kebutuhan relawan di lapangan, makanannya, tempat tidurnya dan tempat istirahatnya,” tuturnya.
Alan Gillespie menangani logistik bagi 3.500 relawan, di Queensland, Northern Territory, dan Tasmania. ”Ini pekerjaan raksasa dan perlu persiapan selama seminggu dan, ketika api membesar, permintaan logistik juga meningkat,” tutur relawan yang sehari-harinya bekerja sebagai manajer di RFS.
”Seperti biasa, semuanya gerak cepat. Kalau api berganti arah, semua hiruk pikuk, tetapi di sini semuanya tenang, semua orang sibuk sekali. Kelihatannya semua bekerja sendiri-sendiri, tetapi sebenarnya mereka bekerja dalam tim,” kata Gillespie pada ABC.
Ia menambahkan, dirinya belum pernah melihat kebakaran awal yang besarnya seperti ini, merujuk pada kebakaran yang biasanya terjadi pada musim panas, yaitu pada Desember, sedangkan saat ini masih musim semi.
”Menurut badan meteorologi, kebakaran ini akan terus berlangsung. Tampaknya, kami masih ada di sini sampai hari Natal,” ujar Gillespie.