Penyintas Bencana Alam Sulawesi Tengah Inginkan Relokasi Mandiri
›
Penyintas Bencana Alam...
Iklan
Penyintas Bencana Alam Sulawesi Tengah Inginkan Relokasi Mandiri
Sebagian penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah menginginkan relokasi mandiri. Alasannya, lahan relokasi yang kini ada dinilai jauh dari lokasi atau tempat mereka bekerja.
Oleh
videlis jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Sebagian penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah menginginkan relokasi mandiri. Alasannya, lahan relokasi yang kini ada dinilai jauh dari lokasi atau tempat mereka bekerja.
Hal itu menjadi salah satu poin yang diangkat para penyintas dalam dialog bertajuk ”Bersama Pulihkan Sulteng” di Palu, Sulteng, Senin (18/11/2019). Dalam acara yang digelar konsorsium relawan Sulteng Bergerak ini, hadir pula Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rivai dan Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate.
Gempa bumi disusul tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, Parigi Moutong, Sulteng, pada 28 September 2018, atau 14 bulan lalu. Bencana itu mengakibatkan 3.124 orang meninggal, 705 orang hilang, dan korban dikubur massal (tanpa identitas) 1.016 orang.
Tak kurang 100.000 jiwa masih tinggal di hunian sementara dan tenda darurat. Gempa, tsunami, dan likuefaksi merusak 110.214 rumah. Total nilai kerusakan Rp 24,96 triliun.
Wiratno (47), penyintas likuefaksi asal Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, mengatakan berat hati direlokasi ke Kelurahan Tondo yang berjarak sekitar 7 kilometer dari tempatnya bekerja.
”Saya dan 30 rumah tangga lainnya yang terdampak tsunami kerja di Kayumalue Pajeko. Pendapatan kami bakal habis hanya untuk biaya transportasi saja bila pindah ke sana,” katanya.
Saya dan 30 rumah tangga lainnya terdampak tsunami kerja di Kayumalue Pajeko. Pendapatan kami bakal habis hanya untuk biaya transportasi saja. (Wiratno)
Ia mengatakan, pemerintah mestinya menyiapkan kebijakan khusus dengan melihat kondisi di lapangan. Salah satu solusinya yakni dengan relokasi mandiri. Penyintas yang memiliki lahan di sekitar lokasi rumahnya dan tidak masuk zona merah (terlarang untuk pembangunan hunian) diberi dana stimulan membangun rumah.
Wiwin (24), penyintas tsunami Desa Loli Tasiburi, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, juga ingin hal serupa. Bersama 34 rumah tangga lainnya, ia akan direlokasi ke Kelurahan Ganti yang berjarak sekitar 20 km dari tempat tinggal lama.
”Kami semua berprofesi sebagai nelayan. Relokasi itu tak membantu kami, malah menyulitkan kami untuk membangun ekonomi,” ucapnya.
Merujuk bencana lalu, pemerintah menetapkan zona merah untuk titik-titik yang dilanda tsunami, likuefaksi, dan sekitar jalur sesar. Penyintas yang rumahnya rusak di titik tersebut direlokasi ke lahan yang lebih aman. Rumah atau hunian tetap (huntap) disediakan pemerintah.
Saat ini, huntap mulai dibangun. Untuk Kota Palu, misalnya, lokasi huntap berada di Kelurahan Tondo, Duyu, Balaroa, dan Kelurahan Petobo. Tondo dan Duyu menggunakan skema relokasi komunal karena jumlah huntap banyak. Sementara Balaroa dan Petobo berskema satelit karena huntapnya relatif lebih sedikit.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Hidayat Lamakarate menyatakan, pemerintah menyiapkan skema huntap satelit untuk sejumlah tempat. Skema tersebut secara umum berlaku di Donggala agar warga tak terlalu jauh dari sumber mata pencariannya sebagai nelayan.
Masalah lain yang juga disoroti adalah belum rampungnya proses pendataan penyintas bencana. Banyak penyintas yang sudah mendaftar kerusakan rumah, tetapi begitu diumumkan, datanya tak lagi muncul.
Hidayat menyatakan, data bencana memang dinamis, tetapi jumlahnya tak banyak. Pemerintah terus memvalidasi data tersebut. Pihaknya memastikan semua penyintas mendapatkan hak-haknya.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Hukum Sekda Kota Palu Singgih Prasetyo menyatakan, untuk menyelesaikan masalah data dilakukan validasi per kecamatan. Dalam delapan hari ke depan, data yang dihasilkan diharapkan sudah valid.
Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rivai menyatakan, data dan informasi yang akurat menjadi dasar kebijakan dalam penanganan bencana. Ia setuju pemerintah daerah harus membuka posko atau organ khusus untuk menangani data yang terdiri dari berbagai unsur. Organ itu juga menampung keluhan dari masyarakat dalam penanganan bencana.