Memeras Sampah Plastik, Menuai Minyak Solar
Bagi Daniel Wurangian, sampah bukanlah masalah, melainkan sumber daya. Ia melihat harapan pada teknologi yang bisa mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) bernilai jual.
Nilai nol bagi Manado dalam Adipura 2018 laksana gong peresmian: sampah dikukuhkan sebagai masalah akut yang harus dibasmi! Tempat Pembuangan Akhir Sumompo pun tak lagi mampu menampung 350-400 ton sampah yang dibuang warga setiap hari. Namun, bagi Daniel Wurangian, sampah bukanlah masalah, melainkan sumber daya.
Sebagai warga Manado yang gemar menyelam, Daniel Wurangian (38) selalu geregetan melihat sampah plastik yang mengambang di perairan Manado dan Bunaken. Apalagi ia sadar betul, sampah plastik butuh puluhan sampai ratusan tahun untuk terdekomposisi atau terurai.
Angan untuk mengatasi masalah sampah plastik tumbuh dalam benak Daniel. Ia melihat harapan pada teknologi yang bisa mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) bernilai jual. Akhirnya, mimpi itu mengembrio pada awal 2019.
”Di satu acara startup weekend, saya dan satu teman (Eko Suprianto) bertemu dengan tiga orang lain yang punya visi sama untuk mengatasi sampah plastik, sambil memanfaatkannya. Akhirnya, kami mendirikan Kamira pada April tahun ini,” kata Daniel, Jumat (8/11/2019).
Kamira merupakan perusahaan rintisan pertama di Manado yang ingin menghimpun semua sampah plastik, lalu mengubahnya menjadi solar sebagai bahan bakar mesin diesel. Daniel, sarjana ilmu perikanan dari Universitas Brawijaya Malang, menjabat chief executive officer (CEO) perusahaan.
Daniel mengatakan, Kamira masih dalam tahap pengembangan awal. Alih-alih bicara omzet dan keuntungan, para pendirinya tengah fokus penuh membangun ekosistem pengolahan sampah plastik dari hulu hingga ke hilir. Di hulu, ada masyarakat dan perusahaan sebagai penghasil sampah plastik. Diperkirakan setiap hari ada 409 ton sampah di Manado, sebanyak 15 persen atau 61 ton berupa sampah plastik yang berisiko terbuang ke laut.
”Keterlibatan warga dalam mengelola sampah sangat kurang. Kalaupun sampah plastik dijadikan kerajinan tangan, suatu saat akan jadi sampah juga,” kata Daniel. Berawal dari pemikiran itu, Daniel dan kawan-kawan terjun ke masyarakat.
Mereka mengajak warga memilah sampah plastik supaya bisa diolah menjadi sesuatu yang lebih berguna. Edukasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat sangat esensial, baik dalam menyelamatkan lingkungan maupun mengembangkan model bisnis Kamira. Oleh karena itu, Kamira menjadikan satu lingkungan beranggotakan 50 keluarga di Kelurahan Paal IV, Kecamatan Tikala, sebagai lokasi proyek percontohan.
Warga diberi bak khusus untuk diisi sampah-sampah plastik. Setelah penuh, mereka akan membawa sendiri ke bank sampah Kamira. Dalam seminggu, terkumpul 40-50 kilogram sampah plastik dari warga.
Proyek awal ini berbasis aplikasi telepon seluler pintar. Warga mengumpulkan poin dari sampah yang mereka setor. Nantinya, poin itu bisa ditukarkan pulsa dan bahan pokok. ”Ini untuk membiasakan warga memilah sampahnya. Basisnya juga harus digital karena akan susah kalau konvensional,” kata Daniel.
Tiga perusahaan juga telah menjadi klien Kamira, salah satunya agensi pengiriman barang JNE. Daniel mengambil sendiri sampah plastik sisa pembungkusan barang itu dengan mobil pikap. Sejumlah 10 kg plastik bisa terkumpul dalam satu kali pengambilan.
Hilir
Di hilir, Kamira telah memiliki sebuah mesin pirolisis untuk mengubah sampah-sampah plastik menjadi solar. Plastik yang dimasukkan ke alat ini akan dipanaskan hingga meleleh dan menguap. Proses pendinginan pada sistem akan menghasilkan minyak. Di tahap kedua, proses distilasi akan mengubah minyak itu menjadi solar.
Mesin dan teknologi pirolisis tidak baru. Mesin itu dibeli dari sebuah bengkel di Yogyakarta. Mesinnya tergolong sederhana, hanya bisa mengolah 2 kg plastik sebanyak dua kali dalam sehari. Artinya, kapasitas produksi hanya 4 kg per hari sehingga plastik yang dikumpulkan masih menumpuk.
Jenis plastik yang bisa diolah adalah polypropylene (PP), seperti kemasan gelas air mineral, high density polyethylene (HDPE) seperti botol sampo, dan low density polyethylene (LDPE), seperti kantong keresek. Jika jenis-jenis plastik ini diolah secara terpisah, dapat dicapai tingkat konversi 90 persen. ”Setiap kilogram plastik bisa jadi 0,9 liter solar. Tapi, kalau dicampur jadi satu, konversinya rendah, hanya 50 persen sampai 70 persen,” kata Daniel.
Solar yang dihasilkan pun, diklaim berkualitas industri dengan harga Rp 12.000 per liter. Namun, solar yang dihasilkan hanya bisa dijual secara tertutup, yaitu kepada anggota Koperasi Celebes Energi Lestari (Cells) bikinan Kamira. Anggotanya baru enam, meliputi pengelola bank sampah dan pengusaha limbah kayu.
Investasi
Menurut desain besar Kamira, butuh Rp 7.000 untuk bisa menghasilkan 1 liter solar. Namun, itu baru bisa dihitung setelah semua komponen dalam ekosistem yang diimpikan Kamira terbentuk. Keuntungan tipis perusahaan pun baru bisa didapat saat mesin yang dimiliki bisa memproses 100 kg plastik sehari. Namun, target yang ingin dicapai Kamira adalah 6 ton.
”Sebagai startup, kami butuh scale up untuk bisa memperbesar skala produksi. Butuh investasi sekitar Rp 6 miliar untuk bisa mencapai kemampuan produksi enam ton per hari,” kata Daniel.
Penghitungan enam ton sampah itu diproyeksikan berasal dari 90.000 keluarga serta berbagai perusahaan di Manado. Para pengguna jasa akan terhubung dengan Kamira via aplikasi. Sampah akan diangkut oleh para mitra pengemudi yang siap mengambil sampah sesuai dengan keinginan pengguna jasa. Pabrik pengolahan dan skala penjualan pun akan jauh lebih besar.
”Tugas kami untuk meyakinkan investor adalah memastikan supply plastik akan tetap ada. Itu mengapa kami gencar melakukan edukasi dan engagement ke masyarakat. Soalnya, percuma ada pabrik besar, tetapi enggak ada sampah untuk diolah,” kata Daniel.
Pada gelaran 1.000 Startup di Manado, 30 Oktober lalu, Daniel berkesempatan bertemu dengan para calon investor. Ia mengatakan, Program Pembangunan PBB (UNDP) tertarik untuk menjadi investor.
Peluang kerja sama
Aqua yang diproduksi Danone Indonesia tertera di laman Kamira sebagai rekan pemasok plastik. Namun, Corporate Communications Danone Indonesia Regional III Ronny Rusdiansyah mengatakan, belum ada kerja sama yang terlaksana dengan Kamira.
Eko Suprianto sebagai chief operational officer Kamira sudah menawarkan kerja sama dan mempresentasikan skemanya kepada Danone. ”Tapi, sampai sekarang belum ada bentuk konkretnya. Meski begitu, visi kami tentang sampah plastik sama,” kata Ronny.
Menurut Ronny, pihaknya terbuka pada kemungkinan kerja sama pengolahan sampah plastik. ”Kami mengapresiasi semua pihak yang inovatif dalam mencari penyelesaian masalah sampah, terutama di Manado,” tambah Ronny.
Kepala Subdirektorat Restorasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sapta Putra Ginting memperkirakan, Indonesia akan menghasilkan 67 juta ton sampah sepanjang 2019. Sekitar 10 persen atau 6,7 juta ton adalah sampah plastik.
Sebanyak 1 juta ton plastik bisa diolah badan usaha, serta 1 juta ton lagi diolah masyarakat, pemulung, dan usaha kecil. Namun, 1,3 juta ton diperkirakan terbuang ke laut. Masih ada 3,3 juta ton plastik yang tak terkelola dengan baik dan harus dicegah berakhir di laut.
Pemerintah telah memiliki program. Namun, kata Sapta, masyarakat sipil pun tak ketinggalan ambil andil. ”Peran civil society sangat besar. Banyak kampanye yang digaungkan organisasi nonpemerintah juga,” katanya.
Kamira pun demikian. Selagi belum bisa berdiri sendiri dari proses produksi, Daniel dan kawan-kawannya masih bertahan dari menjual kaus, tumbler, dan cendera mata lainnya sebagai bagian dari kampanye soal pengolahan sampah plastik.
Di sisi lain, bukan berarti tak ada yang menentang upaya konversi plastik menjadi BBM. Larry O’Loughlin, Direktur Eksekutif ACT Conservation Council di Australia, menentang ide ini. Sebab, upaya ini malah akan memperlambat upaya mengurangi emisi karbon.
”Saat kami ingin mengurangi emisi karbon, mereka (perusahaan) malah memperkenalkan sumber baru bahan bakar fosil. Australia saja ingin menekan emisi ke titik nol pada 2050. Bagaimana mungkin ini dicapai kalau pusat pemurnian bahan bakar dibuat di mana-mana?” kata O’Loughlin kepada The Guardian.
Mengatasi masalah sampah tanpa menimbulkan masalah baru memang tidak mudah. Inovasi yang dikembangkan Daniel dan kawan-kawannya di Kamira, bisa menjadi langkah awal. Efektivitas usaha itu bisa jadi akan terus diuji dan disempurnakan, seiring dengan bergulirnya waktu.