Mensos: Indonesia Emas 2045 Libatkan Penyandang Tunanetra
›
Mensos: Indonesia Emas 2045...
Iklan
Mensos: Indonesia Emas 2045 Libatkan Penyandang Tunanetra
Menteri Sosial Juliari Batubara berharap rehabilitasi sosial bagi warga di Sulut, terutama penyandang tunanetra, berjalan dengan baik demi mendukung tercapainya Indonesia Emas pada 2045.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Menteri Sosial Juliari Batubara berharap rehabilitasi sosial bagi warga di Sulut, terutama penyandang tunanetra, berjalan dengan baik demi mendukung tercapainya Indonesia Emas pada 2045. Ia mengingatkan, Indonesia Emas yang diimpikan Presiden Joko Widodo harus tercapai dalam 25 tahun ke depan ketika kemerdekaan genap 100 tahun.
Hal ini diungkapkan dalam kunjungan ke Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Tumou Tou, Manado. Pada tahun 2045, Indonesia diharapkan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan produk domestik bruto 7 triliun dollar AS.
”Ini tinggal 25 tahun lagi. Saya harap balai netra ini bisa dimanfaatkan secara maksimal bagi penerima manfaat di sini agar bisa hidup lebih sejahtera dan makmur. Saya, segenap Kemensos, serta Gubernur Sulut Pak Olly Dondokambey juga akan bekerja keras demi kemakmuran bersama,” kata Juliari, Senin (18/11/2019).
Juliari menjabat Menteri Sosial sejak 23 Oktober lalu setelah dilantik Presiden Jokowi menggantikan Agus Gumiwang Kartasasmita. Ia pun berusaha meyakinkan para penerima manfaat, Kemensos akan terus hadir memenuhi kebutuhan mereka.
”Kemensos dan Dinas Sosial Sulut akan terus berada di tengah-tengah masyarakat, ikut campur menciptakan kesejahteraan yang lebih baik lagi,” katanya.
Dalam kunjungan itu, Juliari yang didampingi Gubernur Sulut Olly dan tiga direktur jenderal Kemensos meninjau berbagai fasilitas dan kegiatan para klien BRSPDSN Tumou Tou. Juliari menyempatkan diri dipijat klien balai yang diberi keterampilan pijat. Ia juga melihat langsung kegiatan menyulam, pembuatan dan pengemasan abon cakalang, kegiatan belajar komputer, hingga penampilan musik.
Yoel, salah seorang peserta pelatihan menyulam asal Manado, mengatakan senang mendapat pengembangan keterampilan bekerja dari BRSPDSN Tumou Tou. Ia berharap bisa terus berkembang dan jadi mandiri setelah pelatihan selama enam bulan.
Juliari mengapresiasi kegiatan di BRSPDSN Tumou Tou. Menurut dia, kegiatan di balai didukung dengan baik oleh infrastrukturnya. Namun, ia memerintahkan penambahan pendingin ruangan demi meningkatkan kenyamanan.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto mengatakan, anggaran untuk penambahan fasilitas akan segera dicairkan pada 2020. Selain pendingin ruangan, fasilitas terapi para penyandang tunanetra juga akan ditingkatkan.
Sepanjang 2019, BRSPDSN Tumou Tou melayani 485 klien, baik yang tinggal di balai maupun peserta program di luar balai. Mereka berasal dari sejumlah daerah di Indonesia timur, mulai dari Sulawesi Selatan sampai Papua.
”Di luar balai, kami menjangkau penyandang disabilitas dengan program Social Care dan Family Support. Jadi, keluarga bisa langsung merehabilitasi, membimbing, dan mengembangkan kapasitas anggota keluarga mereka yang menyandang disabilitas,” kata Edi.
Edi menambahkan, BRSPSDN Tumou Tou telah mendapat akreditasi A yang berarti sangat baik. Ia yakin, balai ini bisa efektif meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas demi mendukung visi Indonesia Emas.
Terbatas
Kepala Tata Usaha BRSPSDN Tumou Tou Sutrisno mengatakan, saat ini hanya delapan penyandang tunanetra yang tinggal di balai. Dengan dana Rp 7 miliar per tahun, balai hanya mampu membimbing 50 orang dari setidaknya 10 provinsi di Indonesia timur. Untuk membimbing 435 orang di luar balai, pihaknya masih kesulitan karena terbatasnya jumlah pekerja sosial.
”Tahun ini saja yang keluar ada empat, sedangkan kami hanya menerima satu pekerja sosial. Tahun depan ada 117 orang yang direkrut Kemensos. Mungkin kami hanya kebagian satu atau dua,” kata Sutrisno.
Sebelumnya, BRSPSDN Tumou Tou adalah panti di bawah pengelolaan Pemprov Sulut. Klien bisa tinggal selama 2,5 tahun untuk menerima bimbingan. Namun, seiring perubahan statusnya menjadi balai awal 2019 lalu, masa tinggal klien dipotong menjadi enam bulan. Sutrisno pun mengakui, dampak yang diberikan balai belum tentu berkelanjutan.
”Masalahnya, pemprov di Indonesia timur, termasuk Sulut, tidak punya panti rehabilitasi sehingga tidak ada yang mendukung balai,” ujar Sutrisno.
Di lain pihak, Mensos Juliari yakin tidak ada pengaruh dari perubahan status itu. ”Kami tetap follow up setelah mereka keluar balai,” katanya.
Kenyataannya, di Manado saja masih banyak warga tunanetra yang memilih berjualan kacang atau tisu di jalanan ketimbang memanfaatkan keterampilan dari balai, misalnya sebagai juru pijat. Alasannya, pendapatan dari pekerjaan itu tidak sebesar berjualan kacang dan tisu. Warga kerap memberi mereka uang tanpa membeli kacang dan tisu mereka.