Menyusur Jejak Penghuni Awal Nusantara di Misool, Raja Ampat
Peninggalan leluhur Nusantara tentunya sangat menarik untuk terus diamati. Salah satunya adalah jejak leluhur yang ada di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, berupa seni batu cadas dari era prasejarah.
Ini adalah ketiga kali saya mengunjungi situs-situs budaya yang ada di kawasan perairan Misool, Raja Ampat, Papua Barat. Di situs-situs itu terdapat gambar cadas atau seni cadas (rock art) dari era prasejarah.
Dibanding kunjungan pertama pada 2011, kondisi sekarang sudah banyak yang berubah. Dulu tidak ada penginapan, sekarang ada beberapa penginapan berbentuk homestay untuk turis yang datang ke Misool. Sedikitnya ada enam homestay di sana.
Misool adalah kawasan di selatan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, yang di perairannya terdapat ribuan pulau-pulau besar dan kecil yang terbentuk dari karst dan gamping. Letak pulau yang membujur memanjang dari timur ke barat menjadi celah-celah yang harus dilewati dalam pelayaran yang bergerak dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Maka, tak heran di pulau-pulau karst dan gamping itu banyak peninggalan penghuni awal Nusantara, dari era prasejarah. Peninggalan itu berupa gambar cadas di tebing-tebing karst dan di dalam goa-goanya.
Gambar cadas dari era prasejarah di tanah Papua mulai dikenal dunia saat arkeolog Universitas Indonesia, Karina Arifin, yang juga istri mendiang Norman Edwin (almarhum wartawan Kompas), bersama arkeolog Belgia, Philippe Delanghe, pada tahun 2004 memublikasi hasil penelitian mereka yang didukung UNESCO.
Namun, studi mereka tidak fokus hanya di Misool, tetapi Papua secara keseluruhan. Gambar cadas di Misool mulai populer pada tahun 2011, saat arkeolog Perancis, Jean-Michel Chazine, menerbitkan penelitian terbarunya tentang gambar cadas yang ada di sana.
Gambar-gambar atau seni cadas ini berumur ribuan tahun. Tidak seragam masa pembuatannya, ini terlihat dari warna-warna dan motif gambar yang ada di sana. Ada gambar berwarna merah, kecoklatan, bahkan putih.
Mereka menggunakan bahan pewarna dari batu oker (ocre), getah tumbuhan dan lemak hewan yang disebut pewarna hematit. Dr Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Desain Komunikasi Visual FSRD ITB, pernah meneliti tentang hal ini dan diujicobakan.
”Pernah kami coba bandingkan kekuatannya dengan pewarna pada celana jins. Satu celana menggunakan pewarna hematit, dan yang lainnya jins biasa. Setelah dicuci berulang kali, bahan pewarna yang dibuat dengan hematit itu tidak mudah pudar. Lebih kuat dan tahan lama,” ia menerangkan pada suatu pertemuan dengan saya.
Untuk warna putihnya, nenek moyang kita, para penghuni awal Nusantara, menggunakan dari kapur yang terbuat dari kulit kerang yang dibakar dan ditumbuk halus.
Motif seni cadas prasejarah di kawasan Misool terdiri dari motif cap tangan, motif binatang, motif geometris, motif bulat, motif antropomorfis, motif stensil beliung, dan motif stensil bumerang.
Bumerang? Ya, bumerang. Ini bisa menjelaskan bahwa nenek moyang orang Aborigin di Australia sebelum menghuni benua itu pernah menjadi penghuni Nusantara.
Juga di daerah lain Indonesia, yaitu Kisar di Maluku Barat Daya. Di pulau kecil tepat di atas Timor Leste itu pada tahun 2017 ditemukan gambar cadas dengan motif-motif yang mirip dengan gambar-gambar cadas yang ditemukan di Australia. Namun, usianya lebih tua dibanding yang ada di Australia. Ini menjelaskan pola migrasi manusia di Asia Tenggara sebelum akhirnya menjadi penghuni Benua Australia.
Motif gambar cadas di Misool yang terbanyak adalah gambar telapak tangan, yang kedua gambar binatang. Dua motif ini adalah motif-motif tertua dalam periodisasi gambar cadas. Memang belum ada penelitian pertanggalan absolut terhadap gambar cadas di kawasan Misool. Untuk mengetahui umur relatifnya, hanya dengan pengamatan terhadap motif-motif gambar cadasnya. Motif cap beliung menandakan periode yang lebih muda.
Menurut Prof Harry Truman Simanjuntak, pakar arkeologi prasejarah, para penghuni pulau-pulau karst ini datang silih berganti.
”Periodisasi itu bisa dilihat dari motif atau figur yang digambarkan di tebing cadas itu. Ada gambar-gambar telapak tangan yang merupakan motif yang sudah berkembang sangat tua. Bahkan, kalau di Sulawesi dan di Kalimantan sudah digambarkan dari 40.000-an tahun yang lalu,” lanjutnya.
Ia juga menjelaskan, sangat mungkin kegiatan seni cadas itu terus berlanjut ke periode-periode kemudian. Hal ini dilihat dari gambar-gambar dari tipe yang lebih muda, contohnya ada gambar semacam perahu layar yang biasanya muncul dalam periode sejarah.
Ciri lainnya adalah gambar yang tumpang tindih. Gambar yang paling bawah beda warna dengan yang di atasnya. Ada gambar-gambar yang sudah kabur, ada gambar-gambar yang sangat baru.
”Ini contoh gambar cadas yang terus berlanjut oleh manusia-manusia yang berbeda, baik rasnya maupun kelompok atau komunitasnya,” ucap Prof Truman.
Di Misool, berdasarkan survei terakhir beberapa waktu lalu yang dilakukan arkeolog Yosua Pasaribu dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedikitnya tercatat ada sekitar 52 situs yang ada gambar cadas dan tradisi prasejarahnya. Survei ini dilakukan dalam rangka penetapan Misool sebagai kawasan cagar budaya nasional. Jumlah yang tidak sedikit, belum lagi dari era-era sesudahnya, misalnya kolonial Barat dan kesultanan Nusantara.
Akan banyak lagi situs era prasejarah dan periode lainnya yang akan ditemukan jika terus diteliti. Kawasan cagar budaya di Misool niscaya akan terus berkembang luasnya jika lebih banyak lagi ditemukan situs-situs prasejarah. Tentu ini baik bagi konservasi kawasan. Karena setelah ditetapkan, kawasan itu akan dilindungi oleh undang-undang yang berlaku.
Tidak hanya gambar cadas, tapi di Misool juga ditemukan tradisi penguburan orang mati. Banyak tengkorak ditemukan di goa-goa atau hamparan di antara tebing-tebing karst dan gamping. Manusia prasejarah di kawasan itu tidak mengubur orang mati, tapi meletakkannya di udara terbuka.
Tradisi ini masih dilaksanakan di Tanah Toraja, Desa Trunyan di Bali, dan Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.
Dari peninggalan ini, ilmuwan bisa mengetahui pola migrasi manusia penghuni Nusantara dari ribuan tahun yang lalu. Hasil penelitian para arkeolog ini akan semakin lengkap jika Prof Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti dari Lembaga Eijkman, berhasil menyelesaikan penelitiannya tentang DNA penduduk Misool.
”Ada suku di salah satu pulau yang ingin kami teliti untuk menjawab rute utara migrasi manusia out of Africa,” ucapnya.
Selama ini, orang lebih berfokus pada migrasi selatan, yaitu lewat Sumatera dan Jawa. Jalur utara melalui Kalimantan, Sulawesi Tengah, Maluku, Raja Ampat, serta wilayah ”Kepala Burung” Papua sering dilupakan.
Padahal, Prof Hera menemukan adanya migrasi awal pada suku Toraja. Ia juga menemukan, suku-suku di Ternate dan Halmahera berdasarkan DNA mitokondria memiliki marka Papua yang tidak terikat bahasa. Ia menduga, daerah Banggau dan Luwuk juga merupakan rute migrasi utara.
Bagi Prof Hera, Misool memiliki arti penting, ”Karena memiliki budaya gambar cadas yang memberikan tilasan purba. Kayak di Sangkulirang gitu lho,” ujarnya.
Sangkulirang adalah kawasan luas pegunungan karst di Kalimantan Timur yang memiliki banyak gambar cadas di goa-goa. Konon yang terbanyak di dunia. Saya pernah ke sana dan sedikit banyak merasakan atmosfer kepurbaan yang sama pada gambar cadas yang ada di Misool ini.
Jalur utara migrasi leluhur Nusantara ini tentunya sangat menarik untuk terus diamati. Pada akhirnya kita tahu bahwa ”tidak ada” pribumi di Nusantara. Semua leluhur kita pendatang, baik yang lewat jalur migrasi selatan di Sumatera dan Jawa maupun jalur utara lewat Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Itulah dasar kemajemukan kita.
(Feri Latief, Jurnalis, Tinggal di Cibubur)