Pembela Hak Asasi Manusia masih terus mendapatkan intimidasi. Di Kalimantan Tengah mereka rentan berurusan dengan penegak hukum karena keterbatasan akses, informasi, dan pengetahuan hukum.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pembela hak asasi manusia terus mendapatkan intimidasi. Di Kalimantan Tengah, mereka rentan berurusan dengan penegak hukum karena keterbatasan akses, informasi, dan pengetahuan hukum.
Hal itu terungkap dalam pelatihan bertema ”Advokasi, Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah”. Kegiatan yang berlangsung pada Senin-Selasa, 18-19 November 2019, itu diselenggarakan Yayasan Pusaka, Yayasan Petak Danum, dan didukung Yayasan Tifa.
Kegiatan tersebut dihadiri 25 orang dari Kabupaten Kapuas, yang menjadi lokasi pendampingan hukum yayasan tersebut. Para peserta terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh adat sampai petani, di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Jaya D Buhu (54), warga Desa Sei Pinang, yang juga Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Mandau Talawang, mengungkapkan, dirinya pernah ditahan hingga menjalani sidang meskipun tidak terbukti bersalah karena membuat portal di jalan yang dilalui alat-alat berat milik perusahaan sawit di sekitar desanya.
Tidak hanya preman perusahaan datang ke kemah di kebun kami dan langsung main tendang panci, beras kami dibuang, kemah juga dibongkar.
Ia melakukan hal itu karena, menurut dia, alat-alat berat tersebut bekerja di ladang milik masyarakat desa. Perbuatannya kemudian dilaporkan ke kepolisian, lalu ia pun diperiksa.
”Tidak hanya preman perusahaan datang ke kemah di kebun kami dan langsung main tendang panci, beras kami dibuang, kemah juga dibongkar,” ucap Buhu.
Ia mengungkapkan, ancaman dan intimidasi selalu dialaminya selama mendampingi warga untuk mempertahankan hak mereka. Padahal, menurut dia, persoalan mendasarnya adalah komunikasi.
”Mereka datang dengan membawa alat besar. Kami yang punya kebun tak tahu-menahu kenapa, kok, tiba-tiba kebun kami digarap begitu. Kalau saja permisi dulu, pasti ada jalan keluarnya,” tutur Buhu.
Sebagai pembela HAM di kampungnya, banyak upaya yang dilakukan Buhu, seperti mediasi dan audiensi dengan pihak perusahaan. Hal itu dilakukan agar perusahaan mau mendengar keluhan.
”Banyak janji yang diutarakan saat mediasi, tapi sampai saat ini enggak ada realisasinya. Tapi, mau bagaimana lagi, itu sudah nasib. Yang penting, kami tahu dulu duduk masalahnya, baru beraksi,” ujar Buhu.
Hal itu dipertegas Program Manager Yayasan Pusaka Ditta Wisnu. Menurut dia, saat ini penting agar pengetahuan terkait hukum dan akses hukum itu diberikan kepada pembela HAM.
”Mereka yang diintimidasi sebagian besar lalu jadi takut, padahal yang mereka lakukan benar. Nah, kegiatan ini untuk memberikan motivasi, juga pengetahuan terkait itu,” ucap Ditta.
Pembela HAM, menurut dia, memang muncul di desa-desa atas dasar kesadaran dan ketidakadilan yang dirasakan. ”Mereka kan trauma, itu jadi butuh proses panjang untuk memulihkan, lalu memotivasinya lagi,” kata Ditta.
Ketua Yayasan Petak Danum Muliadi mengungkapkan, dengan tingkat laju deforestasi yang tinggi di Kalteng, potensi konflik yang berkaitan dengan isu lingkungan menjadi lebih tinggi. Hal itu perlu diantisipasi dengan pengetahuan dan akses informasi.
”Kemampuan membuat laporan kejadian, kronologi, harus bisa diperoleh masyarakat sehingga mereka tidak diperlakukan semena-mena,” kata Muliadi.
Berdasarkan data Yayasan Pusaka, dari 15,3 juta hektar total luas wilayah administrasi Provinsi Kalteng, sebesar 78 persen atau 11,3 juta hektar wilayahnya sudah masuk kawasan konsesi, baik perkebunan maupun pertambangan. Rinciannya, 4,8 juta hektar untuk hak pengusahaan hutan (HPH), 2,9 juta hektar izin perkebunan, dan 3,6 juta hektar untuk pertambangan.
Dari situasi itu, cepatnya laju investasi mampu merampas lahan atau ruang hidup masyarakat, khususnya masyarakat adat. ”Tanpa kesadaran hukum, posisi tawar masyarakat jadi rendah sekali,” ucapnya.