Perlombaan lari di Indonesia, beberapa tahun terakhir, berkembang pesat. Setiap minggu, hampir selalu ada lomba lari dengan berbagai jarak tempuh. Mulai dari lima kilometer (K), 10K, 15K, 21K atau Half Marathon, serta atau Full Marathon atau 42,195 kilometer. Hampir setiap ajang ini dibanjiri ribuan peserta dari berbagai latar belakang profesi dan usia.
Fenomena ini mendorong munculnya event organizer (EO) penyelenggara lomba lari di berbagai tempat di Indonesia. Ada EO yang menyasar perlombaan lari dengan target peserta yang baru menyukai berlari dengan jarak tempuh kurang dari 10K. Ada pula EO yang mengadakan lomba lari dengan jarak tempuh lari lebih dari 10K, 21K, hingga Full Marathon.
Selain itu, ada juga EO yang mengadakan trail run yang rutenya di area pegunungan dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Bahkan, ada juga yang mengadakan ultra-marathon dengan jarak tempuh hingga ratusan kilometer.
Uniknya, berbagai acara itu ada saja pesertanya. Bahkan, di beberapa acara, peserta harus diundi karena tingginya animo masyarakat yang ingin mengikuti. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi industri kreatif dalam merancang suatu perlombaan. Maraknya fenomena olahraga lari ini juga mengundang ketertarikan pihak swasta dan pemerintah. Kian banyak perusahaan dan institusi menyelenggarakan acara lari dengan menggandeng sejumlah EO.
Pada 2015-2019, jumlah perlombaan lari yang diadakan pihak swasta ataupun pemerintah terus bertambah. Menurut laman Ayolari.in, pada 2015 ada 193 lomba lari di Indonesia. Jumlah perlombaan ini bertambah kira-kira 55 acara setiap satu tahun sehingga pada 2019 jumlahnya mencapai 352 perlombaan. Kegiatan ini tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah peserta yang diperkirakan mencapai lebih dari satu juta orang pada 2019.
Dampak Global
Selain perlombaan lari yang berkembang pesat beberapa tahun terakhir, kini di sejumlah tempat juga semakin sering dijumpai orang yang beraktivitas fisik seperti jalan kaki, senam, hingga bersepeda. Fenomena ini terutama terlihat di daerah perkotaan yang memiliki area terbuka hijau, stadion, atau gelanggang olahraga.
Fenomena tersebut sedikit banyak berpengaruh pada citra berolahraga pada masa kini. Merek pakaian dan sepatu olahraga berharga relatif mahal bukan hal aneh lagi bagi sebagian masyarakat. Hampir setiap kota besar terdapat pusat pertokoan yang memiliki gerai pakaian dan sepatu olahraga impor yang menjadi rujukan dalam berbelanja perlengkapan olahraga.
Bahkan, apabila gerai tersebut tidak mampu memuaskan pilihan, konsumen dapat dengan mudah mencari penawaran produk lain di pasaran daring. Baik pasar dalam negeri ataupun luar negeri. Fenomena demikian mendorong perekonomian global bergerak dinamis mencari ceruk peluang pasar masing-masing.
Khusus di Indonesia, permintaan masyarakat terhadap produk olahraga kualitas impor terus beranjak naik. Pada 2010-2018, jumlah kiriman perlengkapan olahraga dari luar negeri seperti pakaian dan sepatu sport rata-rata mencapai kisaran 11.000 ton atau senilai 62 juta dollar AS setahun.
Besaran impor ini terus bertambah sekitar 1.000 ton atau senilai 10 juta dollar AS setiap tahun. Besarnya peningkatan ini menyebabkan impor pada 2018 menjadi yang terbesar untuk sementara ini. Jumlah pakaian dan sepatu olahraga yang didatangkan dari luar negeri mencapai kisaran 18.000 ton dengan nilai hampir mendekati 123 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,72 triliun.
Kondisi tersebut mengindikasikan permintaan konsumen Indonesia terhadap produk pakaian dan sepatu olahraga bermerek kian tinggi. Bisa juga diartikan olahraga saat ini tidak sekadar beraktivitas fisik semata, tetapi juga mempertimbangkan gaya berbusana.
Layaknya tren busana lainnya, outfit sporty ini juga memengaruhi pola busana orang yang akan berolahraga. Bahkan, kerap kali terdengar cerita tentang sejumlah orang yang sibuk mempersiapkan pakaian olahraga berikut sepatunya daripada persiapan aktivitas fisik. Seolah-olah gaya berpakaian lebih penting daripada olahraga tersebut.
Animo berolahraga
Fenomena semakin ramainya masyarakat beraktivitas fisik di ruang-ruang terbuka umum serta meningkatnya konsumsi produk-produk olahraga impor ternyata belum menggambarkan animo berolahraga secara nyata. Tingkat kesadaran olahraga penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Sport Development Indeks (SDI) yang disusun oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga menunjukkan jika keinginan berolahraga masyarakat Indonesia harus lebih ditingkatkan lagi.
Pada 2017, SDI nasional menunjukkan skor 0,30 dan pada tahun 2018 sebesar 0,34. Dengan skor pengukuran indeks yang berada pada rentang 0,0 hingga 1,0 tentu saja kisaran indeks sebesar 0,3 tersebut tentu tergolong kecil, meski ada sedikit peningkatan dari tahun 2017 ke 2018. Indeks SDI kisaran 0,3 itu diartikan dari 100 orang yang disurvei, hanya 30-an orang saja yang aktif berolahraga.
Kondisi ini digolongkan dalam kategori kurang. Kategori yang baik apabila indeksnya sudah di atas 0,75. Berdasarkan SDI tahun 2017, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 2 provinsi saja yang memiliki SDI dalam kategori cukup baik pada kisaran 0,50. Artinya, dari 100 orang yang disurvei, 50-an orang yang berolahraga. Daerah tersebut adalah Provinsi Jawa Tengah dengan SDI 0,55 dan Jawa Timur dengan SDI 0,50.
Tingginya SDI di kedua provinsi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, partisipasi masyarakat untuk berolahraga tergolong tinggi dengan besaran indeks lebih dari 0,60. Kedua, ketersediaan ruang terbuka yang tergolong cukup dengan nilai indeks lebih dari 0,55. Hal inilah yang menyebabkan kesadaran berolahraga di Jateng dan Jatim menjulang paling tinggi di seluruh Indonesia.
Kesadaran masyarakat berolahraga terfasilitasi dengan jumlah ruang terbuka yang tersedia. Selain itu, di ke-2 provinsi ini banyak tersedia sumber daya manusia (SDM) keolahragaan yang cukup banyak sehingga dapat menjadi patron dalam bergaya hidup sehat bagi masyarakat di sekitarnya.
Untuk 32 provinsi lainnya, indeks SDI-nya rata-rata lebih rendah, kurang dari 0,50. Bahkan, NTB dan Papua SDI-nya kurang dari 0,20. Artinya, hanya belasan orang saja yang berolahraga dari 100 orang yang disurvei. Kondisi ini berdasarkan pengukuran yang menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat untuk berolahraga relatif sangat rendah, seperti di Papua yang indeks partisipasinya hanya 0,07. Indeks partisipasi ini adalah yang terendah di Seluruh Indonesia.
Kondisi hampir serupa terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), hanya di wilayah ini indeks terlemahnya berada pada faktor ruang terbuka hijau. Artinya, tutupan hijau atau area terbuka hijau yang mengundang kehadiran masyarakat untuk berolahraga sangat minim. Indeks ruang hijau di NTB hanya 0,19 atau terendah di seluruh Indonesia.
Rendahnya partisipasi berolahraga di Indonesia itu sangat memprihatinkan. Ternyata maraknya olahraga di sejumlah kota-kota besar belum sepenuhnya menjalar ke seluruh pelosok Nusantara. Oleh sebab itu, masih panjang perjalanan para penggiat olahraga untuk terus menggaungkan semangat-semangat positif yang dapat memengaruhi masyarakat luas untuk memulai berolahraga.
Litbang Kompas