Perekonomian global semakin menekan kinerja APBN sepanjang Januari-Oktober 2019. Defisit anggaran terus melebar akibat pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gejolak perekonomian global semakin menekan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sepanjang Januari-Oktober 2019. Defisit anggaran terus melebar akibat pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak.
Kondisi ini direspons pemerintah dengan mengencangkan ikat pinggang. Penyerapan anggaran belanja dikelola untuk menyeimbangkan dengan kondisi penerimaan. Akibatnya, pertumbuhan realisasi belanja turut melambat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, gejolak ekonomi dan geopolitik global membayangi kinerja APBN sepanjang 2019. Tekanan global masih bersumber dari ketidakpastian perang dagang Amerika Serikat-China, pelemahan harga minyak dunia, ditambah fenomena suku bunga negatif.
”Risiko tekanan global terhadap perekonomian domestik untuk tahun ini masih akan dimonitor secara sangat ketat,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers kinerja APBN triwulan III-2019 di Jakarta, Senin (18/11/2019).
Tekanan global terhadap APBN terefleksi pada pelambatan penerimaan pajak. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak pada Oktober 2019 sebesar Rp 1.018,48 triliun atau 64,5 persen dari target APBN.
Realisasi penerimaan pajak pada Oktober 2019 hanya tumbuh 0,23 persen. Padahal, pada Oktober 2018, realisasi penerimaan pajak bisa tumbuh 14,2 persen.
Sri Mulyani mengatakan, harga minyak global yang cenderung rendah dan penguatan kurs rupiah menimbulkan kontraksi terhadap penerimaan pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh) migas dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di dalam negeri, produksi minyak dan gas yang tidak mencapai target semakin menekan realisasi pajak.
”Realisasi produksi minyak dan gas, kurs rupiah, serta harga minyak global lebih rendah dari asumsi makro APBN. Keempat faktor ini memengaruhi penerimaan pajak,” ujar Sri Mulyani.
Secara keseluruhan, realisasi pendapatan negara pada Oktober 2019 sebesar Rp 1.508,9 triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.173,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 333,3 triliun, dan hibah Rp 1,7 triliun. Pendapatan negara pada Oktober 2019 hanya tumbuh 1,2 persen.
Sri Mulyani menyebutkan, pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak menyebabkan defisit anggaran melebar. Pemerintah memproyeksikan defisit APBN 2019 melebar hingga 2,2 persen dari target 1,84 persen. Pelebaran defisit untuk menstimulasi sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Realisasi defisit APBN pada Oktober 2019 sebesar Rp 289,1 triliun atau 1,8 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit melebar dibandingkan dengan Oktober 2018 yang sebesar Rp 229,7 triliun atau 1,56 persen PDB.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, kinerja penerimaan pajak akan membaik pada triwulan IV-2019 kendati tidak akan mencapai target. Perbaikan kinerja pajak karena restitusi pajak kembali normal. Pemerintah juga akan mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan, transportasi, dan pergudangan.
Sebelumnya, pemerintah memperkirakan potensi penerimaan pajak tidak mencapai target (shortfall) bisa lebih dari Rp 140 triliun.
”Pengawasan pajak akan lebih diperkuat untuk memaksimalkan realisasi penerimaan pajak akhir tahun,” ujar Suryo.
Belanja pemerintah
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pelambatan penerimaan pajak turut memengaruhi realisasi belanja. Pemerintah harus mengelola penyerapan belanja sampai akhir tahun secara efisien dan hati-hati.
Hal itu tecermin dalam realisasi belanja pemerintah pada Oktober yang sebesar Rp 1.798 triliun atau 73,1 persen dari pagu APBN. Realisasi belanja pada Oktober 2019 hanya tumbuh 4,5 persen. Sementara pada Oktober 2018 pertumbuhan realisasi belanja tumbuh mencapai 11,9 persen.
Pelambatan pertumbuhan realisasi belanja pemerintah juga tecermin dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Konsumsi pemerintah tumbuh melambat dari 6,27 persen pada triwulan III-2018 menjadi 0,98 persen pada triwulan III-2019.
”Kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun tidak terlalu tinggi, maksimal hanya 2 persen,” kata Faisal.
Menurut Faisal, belanja pemerintah yang masih bisa digenjot untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah transfer ke daerah dan dana desa. Namun, efektivitas belanja tergantung dari kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelolanya. Penyaluran anggaran ke daerah juga harus diawasi dengan ketat.
Direktur Jenderal Anggaran Askolani menambahkan, pemerintah melakukan efisiensi di beberapa jenis belanja tanpa memotong anggaran, antara lain belanja subsidi dan belanja modal. Pada Oktober 2019, realisasi subsidi turun 8,8 persen menjadi Rp 146,2 triliun, sementara belanja modal turun 6,1 persen menjadi Rp 100,8 triliun.
”Potensi penghematan belanja modal dari lelang-lelang proyek. Namun, sampai akhir tahun, realisasi belanja modal diupayakan menyentuh 90 persen,” ujar Askolani.
Pemerintah juga merealokasi sejumlah belanja ke Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) dan kementerian/lembaga (BA K/L), antara lain untuk cadangan kurang bayar subsidi, kurang bayar transfer ke daerah dan dana desa, penanggulangan bencana, serta keperluan mendesak lainnya.
Pada akhir tahun 2019, lanjut Askolani, penyerapan anggaran belanja pemerintah diproyeksikan mencapai 98 persen. Serapan anggaran yang tinggi tetap dibutuhkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah penerimaan pajak yang tumbuh melambat.