Penetapan target pajak yang terlampau tinggi berpotensi merugikan masyarakat atau wajib pajak. Petugas pajak bisa menekan wajib pajak untuk membayar pajak lebih tinggi dari seharusnya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan target pajak yang terlampau tinggi berpotensi merugikan masyarakat atau wajib pajak. Petugas pajak bisa menekan wajib pajak untuk membayar pajak lebih tinggi dari seharusnya.
Lembaga swadaya masyarakat di bidang perpajakan, Indonesian Tax Care (Intac), bulan lalu, melaporkan sebuah kasus wajib pajak ke Komite Pengawas Perpajakan. Kasus itu terkait dengan penolakan atas permohonan pembatalan surat tagihan pajak (STP) oleh petugas pajak terhadap seorang wajib pajak yang ditangani Intac.
Direktur Intac Basuki Widodo, di Jakarta Timur, Senin (18/11/2019), mengatakan, kasus ini berawal dari penolakan pelaporan pajak kliennya oleh oknum petugas pajak tahun 2014, yang berujung pada dikeluarkannya STP.
Wajib pajak pun menolak STP karena sudah memenuhi aturan berlaku yang dipakai sebelumnya. Wajib pajak tersebut tergolong pedagang besar dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar, yang memproduksi barang untuk konsumen akhir.
”Perusahaan ini menerbitkan faktur pajak gabungan. Tetapi, petugas pajak ini enggak terima, padahal sudah sesuai arahannya bahwa pembeli atau konsumen akhir boleh menerbitkan faktur pajak gabungan. Beberapa tahun kemudian disalahkan dengan alasan harus faktur pajak standar. Akhirnya kena STP, padahal negara tidak dirugikan. Kemudian, wajib pajak mengajukan permohonan pembatalan STP,” tuturnya.
Permohonan pembatalan STP oleh wajib pajak itu ditolak pada tahun berikutnya sehingga Intac turun membantu. Pada September 2019, kantor pajak secara final memutuskan menolak surat permohonan pembatalan STP wajib pajak. Keputusan ini mengakibatkan wajib pajak harus membayar kekurangan yang tercantum dalam STP, yaitu sebesar 2 persen dari nilai transaksi selama tahun pajak 2014 sampai dengan 2016.
Dari masalah tersebut, Basuki menilai, penyimpangan oleh petugas pajak berpotensi terjadi seiring dengan tingginya target penerimaan pajak yang dibebankan kepada mereka. Penyimpangan dilakukan dengan kecenderungan untuk menekan dan mencari kesalahan pada wajib pajak agar dikenai pajak yang sebesar-besarnya.
”Saat ini, pajak hanya diartikan terbatas pada pencapaian target penerimaan. Kondisi ini terjadi karena arah pembangunan pajak Indonesia tidak jelas. Kita seharusnya memiliki acuan dan standar yang bisa dijadikan tolok ukur dalam pembangunan pajak,” ujarnya.
Acuan dan standar yang dimaksud Basuki harus sesuai dengan cita-cita pajak, antara lain mewujudkan kemandirian bangsa yang bersumber dari pajak, terwujudnya aparat pajak yang bersih, dan menghadirkan sistem sederhana sehingga menimbulkan kesadaran membayar pajak.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini terus berupaya meningkatkan target penerimaan pajak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, penerimaan perpajakan ditargetkan Rp 1.861,8 triliun atau meningkat 13,3 persen dibandingkan dengan proyeksi APBN 2019. Target perpajakan itu terdiri dari penerimaan pajak Rp 1.639,9 triliun dan kepabeanan Rp 221,9 triliun.
Peta jalan
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, penetapan target penerimaan pajak tahunan hanya merupakan langkah jangka pendek. Untuk jangka panjang, pemerintah harus memiliki peta jalan (road map).
”Selayaknya ada road map jangka panjang dengan grand design yang lebih holistik. Peningkatan kepatuhan pajak juga harus menjadi prioritas,” ujarnya kepada Kompas, Senin.
Peta jalan juga harus diikuti dengan penguatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dalam sistem perpajakan. Secara umum, ia menilai, aspek kompetensi teknis dan administrasi petugas saat ini sudah bagus dengan adanya pembinaan melalui pendidikan formal yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
”Tetapi kasuistis memang diakui masih terjadi penyimpangan di lapangan. Hal itu memungkinkan karena belum adanya pedoman yang dapat dijadikan pegangan jika timbul tafsir dan pemahaman berbeda di lapangan. Bisa juga karena tekanan target penerimaan yang kerap membebani dan memberatkan sehingga mendorong fiskus terlalu agresif,” ujarnya.
Terkait hal itu, peningkatan kompetensi SDM perpajakan bukan satu-satunya jalan. Ia menilai, perlu ada pelatihan untuk mematangkan mental, seperti penerapan hukuman dan pemberian penghargaan kepada petugas pajak.