Pertemuan Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit di Kuala Lumpur
›
Pertemuan Tingkat Menteri...
Iklan
Pertemuan Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit di Kuala Lumpur
Pertemuan Kedua Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit, Senin (18/11/2019), digelar di Kuala Lumpur, Malaysia.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
KUALA LUMPUR, KOMPAS — Pertemuan Kedua Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit atau 2nd MMPOPC, Senin (18/11/2019), digelar di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan dihadiri Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil utama minyak sawit di dunia dan sejumlah negara produsen lain, yaitu Kolombia, Thailand, Nigeria, Papua Niugini, Ghana, Honduras, serta Brasil.
Pertemuan di Hotel Pullman tersebut diagendakan berlangsung selama 3,5 jam secara tertutup bagi media. Diperkirakan pertemuan itu masih membahas seputar upaya bersama negara-negara penghasil minyak sawit untuk menghadapi berbagai tantangan global terkait pasar sawit.
Permasalahan tersebut antara lain berupa tudingan diskriminasi sawit di Uni Eropa, kampanye sawit sebagai perusak hutan dan lingkungan, dan upaya pemanfaatan minyak sawit sebagai campuran bahan bakar minyak solar/diesel; bahkan untuk mencapai 100 persen minyak diesel dari minyak sawit.
Dalam pertemuan itu, Indonesia menghadirkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Deputinya, Musdalifah Mahmud, serta sejumlah pejabat lintas kementerian. Adapun pihak Malaysia menghadirkan Menteri Industri Utama (Primary Industries) Teresa Kok yang sekaligus membuka acara tersebut.
Pada pokok-pokok isi pertemuan yang didapatkan di lokasi kegiatan, Menteri Teresa Kok menekankan pentingnya penguatan kolaborasi di antara penghasil miyak sawit untuk mengatasi isu dalam industri minyak sawit. Ia menunjukkan perhatiannya pada kebijakan dan peraturan yang dinilai diskriminatif pada sejumlah negara yang menargetkan pada industri minyak sawit.
Meski tak menyebutkan negara-negara itu, saat ini negara-negara di Uni Eropa dan India menunjukkan kebijakan tersebut. Uni Eropa dengan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED II) menargetkan pada 2021 mulai mengurangi impor minyak sawit untuk campuran bahan bakar dan secara total tak lagi memasukkannya pada 2030. Ini karena tudingan minyak sawit dihasilkan dari pembukaan lahan yang berisiko tinggi bagi lingkungan dan perubahan iklim. India memiliki kebijakan menaikkan tarif impor minyak sawit dari Malaysia.
Teresa Kok mengajak negara penghasil minyak sawit untuk bergandeng tangan melindungi industri minyak sawit tanpa berkompromi dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Ia meyakini industri sawit berkontribusi pada pencapaian SDGs 2030 terutama pada pengentasan warga dari kemiskinan, keamanan pangan, kesehatan, peningkatan jender, dan energi terbarukan.
Sementara Menteri Airlangga Hartarto dalam pertemuan itu akan memaparkan upaya Indonesia mengimplementasikan B30 atau campuran 30 persen minyak sawit dalam bahan bakar solar/diesel yang dimulai pada Januari 2020. Sebagai informasi, Malaysia baru memulai B20 tahun 2020 atau tertinggal dari Indonesia.
Selain itu, ia menekankan pentingnya dukungan terhadap pekebun sawit kecil yang memproduksi 40 persen minyak dunia. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo sangat menitikberatkan keberpihakan pada pekebun sawit kecil tersebut melalui program peremajaan tanaman sawit.
Meski demikian, data Kementerian Pertanian menunjukkan target peremajaan sawit pada 2019 yang ditargetkan mencapai 200.000 hektar baru terlaksana 33.671 ha atau 18,2 persen. Padahal, total target lahan kebun sawit yang harus diremajakan mencapai 2,4 juta ha.