Perusahaan Swasta Belum Mewajibkan Sistem Antisuap
›
Perusahaan Swasta Belum...
Iklan
Perusahaan Swasta Belum Mewajibkan Sistem Antisuap
Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) di sektor swasta belum menjadi kewajiban. SNI yang menjadi salah satu sistem antisuap masih bersifat sukarela. Fakta ini yang membuka peluang terjadinya praktik suap.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian kalangan menilai penerapan Standar Nasional Indonesia sekitar satu tahun terakhir masih longgar. SNI sebagai salah satu sistem manajemen anti-penyuapan baru bersifat sukarela. Karenanya, pemberantasan praktik suap di sektor swasta pun lamban dilakukan.
Hal ini pula yang menyebabkan skor indeks penyuapan di Indonesia yang relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahala Nainggolan, menilai, kenyataan ini bukan berarti tidak ada kemajuan atau peningkatan pemberantasan praktik suap.
Namun, kondisi ini, menurut Pahala, terjadi karena penerapan SNI yang mengadopsi International Organization for Standardization (ISO) 37001 baru dimulai. ”Seharusnya ada regulasi yang mewajibkan (setiap perusahaan menerapkan SNI ISO 37001) atau setidaknya pasar didorong supaya menekan. Misalnya, yang boleh ikut tender pemerintah hanyalah perusahaan yang punya bukti bahwa dia melakukan manajemen antisuap,” kata Pahala kepada Kompas, Senin (18/11/2019).
Dengan adanya kewajiban dalam regulasi, pengusaha akan berbondong-bondong menerapkan SNI ISO 37001 sebagai sistem manajemen antisuap. Namun, hal tersebut saat ini baru bersifat sukarela sehingga suap di lingkungan swasta lamban untuk diberantas.
Data Badan Standardisasi Nasional, per Desember 2018, baru ada 72 organisasi yang menerapkan sistem manajemen antisuap. Beberapa di antaranya Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Badan Karantina Pertanian.
Data Anti-Corruption Clearing House, yang dikutip Kompas, Senin (18/11/2019), menunjukkan, pada periode 2004-2018, ada 238 pengusaha yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Pengusaha menjadi profesi atau jabatan kedua tertinggi yang melakukan korupsi sesudah anggota DPR dan DPRD, sebanyak 247 orang.
Di kurun waktu yang sama, penyuapan pun menjadi jenis perkara terbanyak dengan 564 perkara. Disusul perkara pengadaan barang atau jasa sebanyak 188 perkara dan perizinan 23 perkara.
Sejalan dengan itu, TRACE International, entitas asosiasi bisnis anti-penyuapan, memosisikan Indonesia pada peringkat ke-90 dari 200 negara dalam Indeks Risiko Penyuapan dalam berbisnis. Dalam lima tahun terakhir, skor indeks penyuapan Indonesia relatif stagnan di angka 50.
Sementara itu, dari pemerintah baik pusat maupun daerah belum semuanya terintegrasi dengan online single submission atau sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Pahala menekankan, sistem ini penting untuk mendukung transparansi dalam dunia usaha.
Adapun persoalan lain terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang malah membuka celah suap. Sebab, menurut Pahala, perpres ini membuat barang yang sudah masuk dalam katalog tetap dapat dilelang.
”Ini jadi konyol karena spesifikasi barang dari katalog diganti sedikit dan membuat modelnya menjadi lelang. Jadi, kami mau menyurati presiden untuk kembali merevisi perpres ini,” ujar Pahala.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani menyampaikan, suap terjadi karena ada banyak kepentingan dari para pihak. Suap bisa muncul baik dari pengusaha maupun pemerintah.
Kata kuncinya, kata Hariyadi, ada di regulasi. Kalau regulasinya dibuat dengan prosedur yang benar, yakni diukur juga dampak secara ekonomi dan sosial, peluang ”permainan” korupsi dapat dieliminasi.
”Misalnya, pembangunan hotel di Bali. Ada satu tempat yang sudah tidak mungkin lagi dibangun hotel karena sudah jenuh. Namun, karena aturan terlalu longgar, hotel tetap dibangun sehingga mengganggu tata ruang. Dampaknya, lari kepada sektor yang tidak bisa terdeteksi, yaitu vila dijadikan hotel jadi enggak bayar pajak,” ujar Haryadi.
Sebagai upaya membuat regulasi yang tidak berbelit-belit, menurut Haryadi, omnibus law dapat menjadi salah satu solusi untuk membuat regulasi menjadi jelas. Melalui aturan yang jelas, peluang suap pun menjadi tertutup.