Cegah Radikalisme di Daerah dengan Penyejahteraan Masyarakat
›
Cegah Radikalisme di Daerah...
Iklan
Cegah Radikalisme di Daerah dengan Penyejahteraan Masyarakat
Penyebaran paham radikal yang memanfaatkan agama sebagai nilai perlawanan terhadap negara hampir di seluruh wilayah Indonesia menuntut pemerintah daerah untuk ikut serta berperan aktif mencegahnya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JEMBER, KOMPAS — Penyebaran paham radikal yang memanfaatkan agama sebagai nilai perlawanan terhadap negara hampir di seluruh wilayah Indonesia menuntut pemerintah daerah untuk ikut serta berperan aktif mencegahnya. Beragam inisiatif muncul, salah satunya dengan mengoptimalkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
Wali Kota Salatiga, Jawa Tengah, Yulianto dalam diskusi ”Peran Pemerintah Daerah dalam Pencegahan Radikalisme”, salah satu agenda dalam rangkaian Festival Hak Asasi Manusia (HAM) 2019 di Jember, Jawa Timur, Selasa (19/11/2019), berpendapat, paham radikal sulit untuk menyebar di kalangan masyarakat yang sudah sejahtera.
Rangkaian Festival HAM diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Komisi Nasional HAM, dan Pemerintah Kabupaten Jember.
Yulianto menambahkan, penjaminan kesejahteraan merupakan unsur terpenting dalam mencegah radikalisme di daerah. Sebab, salah satu pintu masuk paham untuk mengganti ideologi negara adalah ketidakpuasan atas kinerja pemerintah yang tak mampu memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat.
”Jika masyarakat sejahtera, tidak akan terjadi tindakan yang terkait dengan ekstremisme dan radikalisme,” ujar Yulianto.
Pandangan itu menjadi dasar pembangunan Salatiga. Selama hampir 10 tahun terakhir, pembangunan berfokus pada penjaminan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang berbasis pada kerakyatan.
Konsistensi pembangunan pada ketiga bidang itu pun mengantarkan Salatiga pada prestasi tinggi pada ragam ukuran kesejahteraan.
Misalnya, penurunan angka kemiskinan dari sekitar 10 persen pada periode 2011-2016 menjadi 4,83 persen pada semester pertama 2019. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2018 mencapai skor 82,41 naik dari 2017 (81,68) dan 2016 (81,14). Skor tersebut menempatkan Salatiga sebagai salah satu dari 10 kota dengan IPM tertinggi secara nasional.
Selain urusan kesejahteraan, Salatiga juga berusaha mempertahankan karakter masyarakat yang toleran dan demokratis. Contohnya dengan mengadakan pawai untuk peringatan hari raya setiap agama.
”Seluruh masyarakat diberikan ruang yang sama guna memanfaatkan fasilitas daerah untuk kegiatan keagamaan,” ujar Yulianto.
Penghargaan tinggi juga diberikan pemerintah kota terhadap para pemuka agama. Selain kesempatan untuk menyampaikan aspirasi langsung kepada wali kota secara rutin, pemerintah juga menyediakan insentif untuk mereka.
Hasilnya, Salatiga dinobatkan sebagai salah satu dari 10 kota toleran versi Setara Institute pada 2018. Penghargaan itu pun bukan pertama kalinya, melainkan sudah pernah diraih pada 2015 dan 2017.
”Kalau masyarakat itu sehat, kenyang, dan pintar, mereka pasti rukun dan tidak mudah diprovokasi melakukan hal-hal ekstrem,” kata Yulianto.
Kendala kewenangan
Menurut Bupati Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Soekirman, inisiatif serupa telah dilakukan pemerintah daerah, termasuk di wilayahnya. Namun, kewenangan untuk menangani berbagai persoalan untuk mencegah radikalisme juga terbatas.
”Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, soal agama bukan urusan daerah, melainkan pemerintah pusat. Akibatnya, akses pemerintah daerah sangat terbatas, hubungan kami dengan tokoh agama di masyarakat sebatas seremonial pada perayaan hari besar,” ujar Soekirman.
Padahal, ada hal-hal yang butuh kewenangan pemerintah daerah dalam waktu cepat. Ia mengatakan, di Sumatera Utara terdapat perguruan tinggi yang jelas-jelas mengajarkan paham radikal. Namun, pemerintah daerah tak bisa menindak karena mereka tak memiliki kewenangan terkait.
”Kerja sama antara pusat dan daerah itu perlu segera dilakukan. Salah satunya juga untuk menangani aktivitas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Sumatera Utara. Meski organisasinya sudah dilarang, aktivitasnya masih ada. Mereka berdalih bahwa gagasan tak bisa dibungkam,” katanya.
Mira Kusumarini, pegiat C-Save (Civil Society against Violent Extremism) mengatakan, belum semua pemerintah daerah memiliki perspektif yang sama dalam mencegah dan menanggulangi radikalisme.
Terutama yang terkait dengan keberadaan deportan atau returni, yaitu warga yang pergi atau kembali dari luar negeri untuk menjadi sukarelawan gerakan radikal.
Menurut Mira, sebagian besar pemerintah daerah belum memiliki mekanisme sistematis untuk merehabilitasi dan mengintegrasikan kembali para deportan dan returni ke dalam lingkungan masyarakat.
Padahal, itu amat dibutuhkan untuk membantu warga yang pernah terpapar radikalisme agar benar-benar meninggalkan paham tersebut.