Di era revolusi industri 4.0, para guru dituntut sanggup menularkan sikap dan budaya kreatif kepada siswa. Hal itu membutuhkan kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di era revolusi industri 4.0, para guru dituntut sanggup menularkan sikap dan budaya kreatif kepada siswa. Selain itu, guru juga harus mengenal karakter siswa sebelum menyiapkan mereka terjun ke dunia kerja.
Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas para ahli bertema ”Catatan Akhir Tahun: Menyiapkan Guru Memasuki Era Revolusi Industri 4.0”, di Jakarta, Senin (18/11/2019). Diskusi itu diprakarsai Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ali Ghufron Mukti mengatakan, guru harus memiliki kemampuan responsif pada perkembangan teknologi, termasuk memiliki sikap dan budaya kreatif. ”Sikap dan budaya kreatif itu harus bisa ditularkan guru kepada para siswanya,” katanya.
Ali menambahkan, karakter lain yang perlu dimiliki guru dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah kemampuan berpikir logis dan kritis. Selain itu, kolaborasi antarguru juga mesti lebih masif demi mencetak siswa yang mumpuni. Selama ini guru cenderung saling berkompetisi untuk mencetak siswa yang paling unggul.
”Kompetisi penting dalam menumbuhkan semangat menjadi lebih baik, tetapi kalau kebablasan menjadi tidak bagus,” ujarnya.
Kompetisi penting dalam menumbuhkan semangat menjadi lebih baik, tetapi kalau kebablasan menjadi tidak bagus.
Menurut Ali, kemajuan teknologi idealnya bukan hanya dimaknai sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi guru. Dengan beradaptasi, kemajuan teknologi tersebut justru bisa mendukung proses pembangunan pemerataan pendidikan.
Perubahan pola pikir
Selama ini pemerataan pendidikan masih menjadi persoalan utama dunia pendidikan di Indonesia. Masalah lain yang masih menjadi pekerjaan rumah, antara lain, berkaitan dengan kualitas pendidikan dan belum selarasnya arah pembangunan.
Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, perbaikan mutu guru mesti diawali dengan perubahan pola pikir secara riil. Dalam era revolusi industri, guru bisa mengembangkan kemampuan membaca, menulis, menyimak, bertutur, dan menghitung demi literasi siswa.
”Guru harus membiasakan muridnya untuk membaca. Dari situ, mereka diminta untuk menulis kembali agar budaya menulis bisa terbentuk,” katanya.
Budaya menulis juga bisa dilakukan dengan cara meminta anak menyimak penjelasan guru, lalu menuliskan poin-poin penting. Siswa kemudian menyampaikan poin-poin penting tersebut di depan umum untuk melatih siswa bertutur dengan baik.
”Menghitung artinya mengajak siswa untuk belajar tentang numerasi. Dengan begitu, kemampuan mereka berpikir logis akan terasah. Hal ini penting untuk literasi data,” ujarnya.
Kompetensi dasar
Rektor Universitas Indo Global Mandiri, Palembang, Marzuki Alie, mengatakan, ada empat kompetensi dasar yang menjadi bekal bagi guru untuk melakukan literasi teknologi. Keempatnya adalah kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial.
Kompetensi pedagogis guru menjadi salah satu yang krusial. Dalam hal ini, guru dituntut untuk bisa membaca kemampuan dan kelemahan masing-masing siswa. Sebab, mereka akan mampu membina siswa dengan baik dan siswa juga tidak merasa terbebani.
”Guru saya dulu melarang saya untuk menjadi dokter. Setelah 20 tahun saya baru sadar, hal itu karena saya terlalu berani melakukan uji coba. Dalam dunia kedokteran, itu tidak boleh,” ungkap Marzuki.
Dalam diskusi terbatas tersebut, PGRI turut mengundang Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah guna memberikan gambaran kepada para ahli mengenai permasalahan di daerah. Arief mengatakan, Kota Tangerang tengah mengembangkan kelompok belajar. Setiap Sabtu, para guru membuat microteaching atau pemberdayaan guru inti.
”Pada forum tersebut, guru-guru senior memberikan pengalamannya kepada guru yang lebih muda. Namun, hal itu tidak cukup lantaran jumlah guru di Tangerang amat banyak,” katanya.
Arief menambahkan, Kota Tangerang rela mengeluarkan 23 – 25 persen anggarannya untuk bidang pendidikan. Nilainya tidak kurang dari Rp 1 triliun per tahun. Pemerintah Kota Tangerang juga memberikan insentif Rp 650.000 kepada sekitar 22.000 guru negeri dan swasta. ”Kami juga membangun kampung-kampung cerdas di 1.004 rukun warga untuk melakukan bimbingan belajar,” kata Arief.
Masalah pendidikan di Kota Tangerang juga cukup kompleks. Menurut Arief, setidaknya ada 2.412 anak putus sekolah di Kota Tangerang. Saat ini, mereka disekolahkan kembali melalui program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.