Kasus Invictasauro menegaskan esensi pembinaan pemain sepak bola muda, di mana menghormati rekan, lawan, wasit, dan bahkan penonton, menjadi nilai-nilai dasar utama yang diajarkan.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·3 menit baca
TUSCANY, SENIN - Kabar mengejutkan datang dari liga yunior di Italia ketika Invictasauro memecat pelatihnya sendiri, Massimiliano Ricci, Sabtu (16/11/2019). Sepintas pemecatan itu seperti lelucon karena Invictasauro baru saja mengalahkan Marina Calcio dengan skor yang fantastis, 27-0. Namun, justru karena kemenangan besar itulah karier Ricci harus berakhir.
Kabar tersebut menjadi viral dan membuat banyak orang terkejut. Bagaimana bisa seorang pelatih yang sukses memberikan kemenangan besar kepada timnya justru malah dipecat? Bukankah pemecatan itu berlaku ketika pelatih berulang kali gagal mempersembahkan kemenangan untuk timnya?
Lawan seharusnya selalu dihormati dan itu tidak terjadi hari ini
Fakta pemecatan Ricci itu menjadi tidak masuk akal ketika perisitiwa ini dilihat melalui kaca mata liga profesional yang dimainkan oleh para pemain senior. Presiden Invictasauro, Paolo Brogelli, membuat keputusan pemecatan itu karena ia sadar posisinya sebagai pemimpin yang terlibat dalam pembinaan para pemain muda.
Dari kaca mata Brogelli, kemenangan telak klubnya itu menjadi sebuah penghinaan terhadap lawan. “Nilai utama dari sepak bola usia dini merupakan antitesis dari peristiwa tersebut. Lawan seharusnya selalu dihormati dan itu tidak terjadi hari ini,” ujarnya.
Brogelli menilai Invictasauro dan Marina Calcio berlaga dalam sebuah kompetisi yang diikuti para pemain berusia di bawah 18 tahun dan harus ditangani dengan pendekatan berbeda. Para pelatih yang menangani klub usia muda itu punya tugas utama untuk mendidik para pemain. Hal-hal teknis seperti bagaimana menggiring bola, mencetak gol, atau melakukan tendangan pojok memang diajarkan tetapi belum menjadi yang utama.
Dalam konteks pembinaan pemain muda, pendidikan mengenai bagaimana menghormati rekan, lawan, wasit, dan bahkan penonton, menjadi nilai-nilai dasar yang diajarkan. Klub-klub usia muda itu sedang berusaha membentuk karakter para pemainnya. Harapannya, para pemain muda itu kelak tidak hanya bisa bermain tetapi juga mengembalikan esensi sepak bola sebagai olahraga yang bisa menyatukan manusia.
Tanpa pembentukan karakter sejak dini itu, semua kampanye yang dilakukan FIFA selama ini bakal menjadi sia-sia. Di panggung internasional seperti Piala Dunia atau kompetisi antarklub seperti Liga Champions, kampanye tentang rasa hormat selalu dikumandangkan. Poster-poster bertuliskan “Respect” ada di mana-mana.
Kampanye mengenai penghentian sikap rasis di lapangan sepak bola selama ini juga tidak akan berjalan apabila para pemain, termasuk penonton, tidak memiliki rasa hormat. Sampai saat ini pun, kasus-kasus rasisme masih sering terjadi di Eropa.
Pendidikan nilai dan karakter pada para pemain muda pun sudah diadopsi di berbagai negara termasuk terjadi di Liga Kompas Kacang Garuda U-14 yang diadakan Harian Kompas. Kompetisi yang sudah berjalan selama satu dekade ini menganggap kemenangan bukan tujuan utama dan hanya sekadar bonus. Namun, proses pembelajaran yang dialami para pemain menjadi fokus utama.
Bukankah akan lebih memalukan apabila kami hanya mengoper-oper bola
Oleh karena itu, pengurus liga tidak segan-segan memberikan teguran kepada tim maupun penonton yang melupakan rasa hormat. Misalnya, surat teguran kepada tim yang memprotes wasit secara berlebihan. Teguran diberikan karena pemain muda harus mendapat pemahaman sejak dini untuk selalu menghormati apapun keputusan wasit di lapangan.
Membela diri
Ricci kemudian berusaha membela diri bahwa ia tidak bermaksud untuk menghina lawan. “Kami sudah unggul 6-0 dalam 10 menit pertama dan setelah babak kedua, saya bertanya kepada pelatih lawan apakah laga ini sebaiknya dihentikan. Dia meminta saya untuk terus melanjutkan laga,” katanya seperti dikutip Football-Italia, Senin (18/11/2019).
Dalam kondisi seperti itu, Ricci juga mengatakan bahwa seorang pelatih bakal menghadapi dilema. Ia mengaku paham mengenai apa yang harus diajarkan kepada para pemain. “Bukankah akan lebih memalukan apabila kami hanya mengoper-oper bola,” kata Ricci.
Bagaimanapun juga Invictasauro bakal kembali membahas masalah ini bersama para orang tua. Apapun hasilnya, kemenangan Invictasauro kembali mengingatkan bahwa kemenangan di sepak bola hanya bisa diraih apabila dilakukan dengan cara menghormati lawannya.